Putraindonews.com, Serang – Desa Budaya Cibaliung bersama Ekosistem Boeatan Tjibalioeng akan mengadakan Festival Aren Musang bertajuk “Menari Nira; Tuntung Pucuk, Tuntung Akar, Talaga Ngembeng” di Kampung Gula, Babakan Sabrang, Desa Cibaliung Pandeglang.
Acara yang akan berlangsung pada 22—23 November ini didiukung oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, Direktorat Bina Sumber Daya Manusia, Lembaga, dan Pranata Kebudayaan; Direktorat Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan melalui program Pemajuan Kebudayaan Desa.
Melalui pendekatan artistik dan partisipatif, Festival Aren Musang berupaya mengembalikan nilai-nilai ekologis dan kultural masyarakat yang mulai tergerus oleh modernisasi. Ia menegaskan kembali bahwa kebudayaan tidak hanya dipelihara melalui ingatan, tetapi juga melalui praktik hidup yang terus bergerak bersama alam.
Pendamping Kebudayaan Desa sekaligus Inisiator Festival Rizal Mahfud mengatakan, Festival Aren Musang hadir di tengah-tengah keresahan masyarakat sekitar. “Dalam konteks ekologis masyarakat Cibaliung, pohon aren dan musang menjadi simbol kehidupan sekaligus bagian dari sistem pengetahuan yang saling menopang,” tuturnya.
Rizal menyebut, di alam liar musang berperan sebagai penjaga keseimbangan alam. Ia menanam kembali buah terbaik yang dimakannya, memastikan regenerasi pohon aren terus berlangsung.
Dari proses alamiah itulah, manusia dapat belajar tentang keberlanjutan, bahwa kelestarian tidak lahir dari dominasi, tetapi dari hubungan yang setara dan saling menghidupi.
Akan tetapi, Rizal menuturkan harmonisasi alam tersebut kini menghadapi tantangan nyata. “Di beberapa wilayah masih terjadi perburuan musang, sehingga keseimbangan regenerasi pohon aren di hutan menjadi terganggu,” jelasnya.
Selain itu, masyarakat juga mulai jarang menanam pohon kawao, tanaman penting yang digunakan dalam proses pengolahan nira. Padahal, Rizal menyebut pohon kawao dibutuhkan oleh masyarakat Cibaliung hampir setiap hari.
Tidak hanya tantangan ekologis, dalam hal budaya Rizal menambahkan kebiasaan melantunkan tradisi lisan seperti kidung ngayun aren juga mulai jarang dilakukan. Dahulu, kidung tersebut biasa bergema di atas pohon-pohon aren, membawa pengetahuan tradisional serta filosofi pembuatan gula aren.
Melalui keresahan itu, Festival Aren Musang tidak sekadar hadir sebagai bentuk perayaan, tetapi juga sebagai respon terhadap krisis ekologi dan pengetahuan yang sedang berlangsung. Festival ini menawarkan alternatif cara pandang bahwa keberlanjutan kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari keberlanjutan ekosistem yang melahirkannya.
Kebudayaan menjadi ruang hidup bersama tempat masyarakat, seniman, dan peneliti berkolaborasi membangun pengetahuan baru yang berpijak pada kearifan lokal.
Festival ini akan menampilkan serangkaian kegiatan yang merekam denyut kebudayaan dari hulu hingga hilir, seperti jelajah budaya jejak aren musang, studi sudut desa membahas sastra lisan aren, serta kreasi kuliner berbahan gula aren.
Pengunjung nantinya juga dapat menikmati penampilan kebudayaan seperti pertunjukan wayang daun aren, menari nira, konser suara desa, dan pameran karya hasil seniman yang sebelumnya telah melakukan residensi di Cibaliung.
Rizal berharap agar festival ini dapat menjadi ruang perenungan dan tindakan, tempat di mana manusia, hewan, dan pohon saling menyapa dalam kesadaran yang sama: menjaga bumi berarti menjaga kehidupan.
Ia juga berharap agar festival ini bisa menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk bersama menjaga kelestarian ekologi musang di Desa Cibaliung. “Festival ini juga menjadi ruang promosi yang lebih luas bagi produk unggulan baru Aren Musang Cibaliung yang mendukung pengembangan komoditas hasil bumi di Kabupaten Pandeglang,” tuturnya.
Ayo datang ke Festival Aren Musang di Kampung Gula, Babakan Sabrang, Desa Cibaliung, Kabupaten Pandeglang tanggal 22—23 November 2025. Informasi kegiatan dapat dilihat melalui akun Instagram @desabudaya_cibaliung.