Pembina AWI ; Tradisi Ruwahan Jawa Menjelang Ramadhan Melambangkan Kesucian dan Sukacita

***

Putraindonews.com – Malang | Ruwahan berasal dari kata “Ruwah” merupakan bulan urutan ke tujuh, dan berbarengan dengan bulan Sya’ban tahun Hijriyyah.

“Kata Ruwah sendiri memiliki akar kata “arwah”, atau roh para leluhur dan nenek moyang.

Konon dari arti kata arwah inilah bulan dijadikan sebagai bulan untuk mengenang para leluhur.

Ruwahan dilakukan sepuluh hari sebelum bulan Puasa (Ramadhan). Pada tradisi ini sejumlah ritus digelar menurut tradisi dan adat di tiap masing-masing daerah atau pedukuhan,” ujar Kanjeng Pangeran Norman Hadinegoro selaku Pembina Aliansi Wartawati Indonesia (AWI), Sabtu (19/03/2022).

Acara dimulai dari acara nisfu syaban, arak-arakan keliling kota, besrik (bersih desa) yang diiringi selamatan kecil lalu kenduren di malam hari.

BACA JUGA :   Isu Reshufle Menguat, Pembina IMO-Indonesia ; Direktur Utama PT. Dinamika Utama Pangan Layak Masuk Kabinet

Keesokan paginya dilakukan nyadran, hingga berakhir pada acara padusan tepat di penghujung hari menjelang Puasa, ungkapnya.

“Tradisi ini pada intinya melambangkan kesucian dan rasa sukacita memasuki ibadah puasa yang merupakan bentuk iman kesalehan individual dan kolektif,” imbuhnya.

Tradisi megengan biasanya berlangsung seminggu sebelum Puasa. Tradisi ini dilaksanakan dengan cara mengirim makanan kepada keluarga dan tetangga. Jenis makanannya bisa beraneka ragam seperti :

Nasi tumpeng, iwak ingkung, keper, thontho, gereh pethek, tempe, ada tiga jenis makanan yang tidak boleh ditinggalkan yaitu ketan, kolak, dan apem.

Masing-masing jenis makanan ini mempunyai arti dan makna tertentu:

Ketan, makanan ini merupakan simbol eratnya tali silaturahmi.

Kolak, makanan yang diolah dengan menggunakan santan yang manis, melambangkan hubungan kekeluargaan yang selalu harmonis dan bahagia.

BACA JUGA :   Flashback Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri

Apem, makanan yang mempunyai arti kesediaan untuk saling memaafkan.

“Tradisi megengan ini ternyata tidak hanya menjaga hubungan sosial tetapi juga turut memutar roda perekonomian. Kebutuhan masyarakat akan bahan makanan untuk megengan ini memunculkan pasar kaget ruwahan dikota-kota santri di Jawa.

Karena banyaknya orang berkumpul, serta suasana yang meriah membuat pasar kaget ini menjadi satu acara yang menarik, seperti halnya Dugderan di Semarang atau Dhandangan di Kudus.

Tak heran tradisi ruwahan ini membuat orang yang tinggal di luar daerah, selalu rindu untuk pulang atau biasa disebut mudik ruwahan,” pungkasnya. Red/Lina
***

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!