RADEN TEDY ; Perspektif Naik Kelas Dalam Dunia Usaha

PUTRAINDONEWS.COM

JAKARTA | “Naik Kelas,” sering kita ucapkan atau dengar saat masih sekolah SD, SMP dan SMU. Kata Naik Kelas mulai tidak lazim lagi saat kuliah. Saat kerja, yang ada naik pangkat/jabatan, kehidupan sosial, terdengar istilah naik status sosialnya dan lain-lain.

Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa Naik Kelas berarti berganti kelas dari kelas yang lebih rendah ke kelas yang lebih tinggi (sesuai dengan urutan angka) setelah memenuhi persyaratan nilai yang ditentukan. Ujar Ketua Umum Komunitas UMKM Naik Kelas Raden Tedy kepada awak media, selasa 04/08/20 di Jakarta.

Raden Tedy mengartikan bahwa ada penilaian secara Kuantitatif (angka) atas “Naik Kelas.”

UMKM adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, dengan kriteria sesuai UU No 20 tahun 2008 dimana Usaha Mikro dengan Penjualan (Omzet) maksimal Rp 300 juta pertahun dan Asset Maksimal Rp 50 juta, Usaha kecil dengan Omzet antara Rp 300 juta – Rp 2,5 milyar pertahun, dan Asset maksimal Rp 500 juta, sedangkan Usaha Menengah, dengan Omzet antara Rp 2,5 milyar – Rp 50 milyar dan Asset Maksimal Rp 10 milyar.

Ada berbagai definisi dan syarat/ kriteria UMKM Naik Kelas, dari berbagai kalangan, namun saya belum menemukan syarat secara Kuantitatif, dominan bahasan secara Kualitatif, antara lain mengacu pada teknologi, SDM, ekspor, dan lain-lain. Hal ini sangatlah sulit menjadi acuan dan bahkan akan dapat mengaburkan hirarki dari program itu sendiri.

Pelaku UMKM butuh Bahasa yang sederhana, yang gampang mereka pahami, bukan bahasa-bahasa ceremonial, yang hanya dipahami kalangan tertentu dengan tujuan tertentu juga. Jelas Raden Tedy yang juga menjabat Ketua Lembaga Pengembangan Usaha Kadin Indonesia.

Ia juga menuturkan bahwa sebagian besar pelaku UMKM Indonesia berjuang untuk memenuhi kebutuhan pokok, bukan menumpuk kekayaan (Asset). Mereka bersaing dengan pelaku usaha Korporasi, yang juga bermain dipasar UMKM, berkedok kemitraan dan waralaba, namun tidak lebih pelaku UMKM menjadi bagian dari karyawan mereka, dengan pemenuhan gaji secara mandiri, dimana mereka (Pelaku Korporasi) tanpa harus mengeluarkan modal.

Sebagai contoh, begitu banyak UMKM bidang peternak ayam potong, dimana telah mengeluarkan modal untuk membangun kendang ayam, pola kemitraan dengan pelaku usaha Korporasi, yang semaunya dalam penetapan harga dan waktu panen ayam. Juga beberapa sektor usaha lainnya.

Kembali ke definisi UMKM Naik Kelas, yang menurut saya masih sangat kabur, tanpa Batasan secara Kuantitatif. Seperti data dari BPS bahwa 99,99% pelaku usaha di Indonesia adalam UMKM, dan 98,7% nya adalah Usaha Mikro.

Salah satu karateristik usaha Mikro, sering berganti produk dalam usahanya, karena tuntutan terbesar mereka pemenuhan kebutuhan pokok. Bila dalam 1 minggu, produk mereka tidak menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan pokok, maka mereka akan mencari produk lain yang bisa membantu dengan cepat pemenuhan kebutuhan itu.

BACA JUGA :   DEWAN PENGUPAHAN SE-BANTEN PLENO UMK, DPP Apindo Minta Agar Pemda Untuk Mengikuti Kebijakan Nasional

Pemenuhan kebutuhan pokok sesuai penetapan garis kemiskinan oleh BPS adalah sebesar Rp 401.220 per jiwa setiap bulannya. Kalau dibawah itu, maka masuk katagori miskin.

Dari beberapa hal diatas, Dirinya mencoba mengkerucutkan kriteria UMKM berdasarkan beberapa hal antara lain : 1. Penjualan (Omzet), 2. Asset (Kekayaan), 3. Pemenuhan kebutuhan pokok, 4. Pemenuhan faktor pendukung usaha.

Dari kriteria tersebut, bahwa point 1, 2 dan 3, masuk karagori penilaian Kuantitatif (angka), sementara katagori 4 dengan penilaian Kualitatif (Kualitas). Raden Tedy
menyimpulan bahwa kriteria UMKM Naik Kelas adalah 75% berdasarkan penilaian angka dan 25% berdasarkan kualitas pendukungnya.

Masih banyak pelaku UMKM dalam garis kemiskinan atau dengan kata lain, pendapatannya dibawah Rp 401.220 per jiwa setiap bulannya. Dominan pelaku UMKM tidak dapat mengembangkan usahanya, karena tingkat kebutuhan dan keinginan yang kurang berimbang, sehingga laba yang didapat, tidak menambah ke asset usahanya.

Sementara dilain pihak, persaingan usaha dalam era kemajuan teknologi, cukup tinggi. Hal-hal tersbut menjadi suatu komponen kelas UMKM.

Maka dari hal tersebut, Raden Tedy mencoba mengkaji 2 faktor yaitu Kriteri/ syarat UMKM Naik Kelas, dan Kriteria Kelasnya itu sendiri.

A. Kriteria Kelas UMKM
Sesuai UU No 20 tahun 2008, ada 3 kelas UMKM yaitu Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Pemenuhan kebutuhan pokok dan peningkatan asset menjadi suatu faktor penjabaran kembali Kelas UMKM dengan asumsi laba UMKM sebesar 15% dari penjualan, maka saya mengusulkan pembagian kelas UMKM sebagai berikut :

I. Usaha Mikro
1) Kelas Mikro Tunas
Adalah Usaha Mikro dengan penghasilan (laba) dibawah Rp 401.220 per jiwa setip bulannya, dengan asumsi dalam 1 keluarga maksimal 4 jiwa, berarti penghasilan nya dibawah Rp 1.604.880 per bulan. Berarti omzet usahanya maksimal sebesar Rp 10.699.200/bulan atau Rp 128.390.400/tahun, digenapkan menjadi Rp 130 juta pertahun.

Dengan asumsi perputaran aktiva lancer selama 7 hari, maka kriteria asset digenapkan sebesar Rp 10 juta.
Kesimpulan usulan Kelas Mikro Tunas dengan Omzet maksimal Rp 130 juta per tahun dan Asset Maksimal Rp 10 juta.

2) Kelas Mikro Berkembang
Merupakan usaha Mikro diatas garis kemiskinan, atau dapat memenuhi kebutuhan pokok secara baik, namun belum optimal dalam pemenuhan kebutuhan keamanan, dengan asumsi kebutuhan tempat tinggal (sewa) dan lainnya diasumsikan sebesar Rp 10 juta pertahun, maka peningkatan penjualan (omzet) dari kelas Mikro Tunas sebesar Rp 70 juta, menjadi Rp 200 juta/tahun.

Dengan asumsi perputaran aktiva lancer mencapai 10 hari, maka asset digenapkan menjadi maksimal Rp 25 juta.

Kesimpulan usulan Kelas Mikro Berkembang dengan Omzet maksimal Rp 200 juta/tahun dan asset maksimal Rp 25 juta.

3) Kelas Mikro Mekar
Sesuai UU No 20 tahun 2008, maka kelas Mikro Mekar dapat dikatagorikan dengan Omzet maksimal Rp 300 juta/tahun dan asset maksimal Rp 50 juta.

BACA JUGA :   MAKSIMAL 1.500CC, Pemerintah Berikan Potongan PPnBM untuk Kendaraan Bermotor 

II. Usaha Kecil
Sesuai UU No 20 tahun 2008, Usaha kecil adalah dengan Omzet antara Rp 300 juta sampai dengan Rp 2,5 milyar. Dengan perhitungan proposional dari hasil usaha Mikro, maka usulan yang dapat disampaikan sebagai berikut :

1) Usaha Kecil Tunas ; dengan Omzet antara Rp 300 juta – Rp 1 milyar, dan asset maksimal Rp 100 juta.

2) Usaha Kecil Berkembang ; dengan omzet antara Rp 1 milar – Rp 1,75 milyar dan asset maksimal Rp 250 juta.

3) Usaha Kecil Mekar ; dengan omzet antara Rp 1,75 milyar – Rp 2,5 milyar, dan asset maksimal Rp 500 juta.

III. Usaha Menengah
Sesuai UU No 20 tahun 2008, Usahan menengah dengan Omzet maksimal Rp 50 milyar dan asset maksimal Rp 10 milyar. Dengan perhitunhan proporsional yang sama didapat usulan sebagai berikut :

1) Menengah Tunas ; dengan omzet Rp 2,5 milyar – Rp 20 milyar, dan asset maksimal Rp 2 milyar.

2) Menengah Berkembang ; dengan Omzet antara Rp 20 milyar – Rp 35 milyar, dan asset maksimal Rp 5 milyar.

3) Menengah Mekar ; dengan omzet antara Rp 35 milyar – Rp 50 milyar dan asset maksimal Rp 50 milyar.

Dari usulan tersebut, dapat dipetakan kondisi Kelas pelaku UMKM saat ini, dengan perkembangannya didalam Naik kelas

B. Kriteria Naik Kelas
Penjelasan syarat secara kualitatif, sesuai Kriteria kelas UMKM, dimana apabila berkembang dari sisi Omzet dan Asser (salah satunya), maka kelasnya menyesuaikan. Misalkan pelaku UMKM Mikro Tunas, dengan Omzet Rp 130 juta/tahun, berkembang menjadi Rp 150 juta/tahun, maka telah memenuhi salah satu kriteria, maka UMKM tersebut naik ke kelas Mikro Berkembang.

Sementara penilaian Kualitatif (Kualitas) lebih pada pemberian gelar atau lambing, dimana terdiri dari : Penjualan dengan Online (Lambang Bintang 1), Membuat Laporan keuangan (Lambang Bintang 2), Membayar Pajak (Lambang Bintang 3), Memiliki tenaga kerja/karyawan (Lambang Bintang 4) serta Penjualan Ekspor (Lambang Bintang 5)

Misalkan Usaha Mikro Tunas, telah melakukan penjualan secara Online, maka termasuk Usaha Mikro Tunas*) atau bintang 1.
Karena pada dasarnya Kriteria penunjang yang kualitatif, guna mendukung peningkatan Omzet dan Asset.

Bila menggunakan faktor penunjang, namun omzet dan asset tidak berkembang, maka sulit masuk dalam syarat Naik Kelas.

Tentu semua hal diatas, harus dibantu dengan kebijakan regulasi yang membela pelaku UMKM, serta bantuan promosi melalui Digitalisai dan menciptakan system kemitraan yang benar-benar menguntungkan pelaku UMKM. Tutup ketua lembaga pengembangan Kadin Indonesia Raden Tedy seraya mengucap Salam UMKM Naik kelas – Saling Bantu, Saling Menguatkan. RED/YFI

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!