Mengenal Wulla Paddu Laboya, Bulan Perenungan Masyarakat Adat

Putraindonews.com – NTT | Wulla Paddu ada bulan suci bagi masyarakat adat Laboya, bulan sakral ini diyakini sebagai kesempatan bagi manusia untuk membersihkan diri dosa-dosa satu tahun terakhir.

Ditemui Putraindonews.com, Rato Ubui Bawe menuturkan bahwa dalam bulan suci yang diyakini masyarakat adat Lamboya, hal ini diawali dengan Pajurra (Tinju Adat), Bakar Padang, Kalola (Buruh Babi Hutan) dan Magowo (Cari Ikan)

“Magowo itu sendiri merupakan simbol bagi masyarakat untuk membersihkan diri dari dosa-dosa masa lalunya. Jika mendapatkan ikan banyak maka pertanda berkat akan melimpah. Sedangkan Kalola (Buruh Babi Hutan) itu sebagai penunjuk apakah curah hujan membaik kedepannya atau tidak, sekaligus sebagai penanda apakah masyarakat petani dapat memanen hasil pertaniannya dengan melimpah atau justru gagal,” ungkap Rato, Jumat (22/9/23).

“Jika hasil pemburuan mendapatkan babi bunting, maka mengandung makna bahwa setelah padi itu bunting hujan pasti tidak ada lagi dan petani dipastikan gagal panen,” tambahnya lagi.

Ketua Komunitas Lakawa Huba (KLH) Yonathan Bero Aguate juga menegaskan bahwa Wulla Paddu Laboya adalah Local Wisdom yang perlu dirawat sehingga kedepannya manusia dapat menyatu dengan Tuhan dan juga Alam.

BACA JUGA :   Istri Bupati Halteng, Generasi Mudah Foguguru Desak Polda Malut Segera Menahannya

Lanjut Yonathan, Wulla Paddu adalah hari dimana manusia merenungkan diri, karena manusia berada pada masa perenungan maka bunyi-bunyian tidak diperbolehkan seperti pukul gong dan bentuk lainnya.

“Selain yang disampaikan Rato tadi, di Hodana ada banyak ritual, mulai dari Pogo bole nauta, boleh nauta sampai pada pembersihan mata air wetodo untuk prediksi ini hujan bagus atau tidak, Dimata air wetodo ada belutnya dan ada 2 Rato yang Sorong tangan, jika belut itu menjemput tangan Rato tersebut maka artinya hujan pertanda baik,” jelas pimpinan KLH itu .

Dalam bulan perenungan yang begitu sakral ini, Ketua KLH menguraikan kekesalannya atas tindakan beberapa masyarakat yang melanggar ketentuan bulan suci.

“Saya amati telah terjadi pelanggaran meskipun pelanggaran itu ada sangsinya, seperti Tau Karawa Rato tapi sudah menghilangkan makna dari Wulla Paddu sekalipun dia denda. Contoh seperti kemarin saat pergelaran Kesenian dan budaya Sumba Barat, pemerintah desa pukul gong dan tau kalau sekarang Wulla Paddu dan itu melanggar adat, semestinya kita saling menghargai seperti saat lewat wilayah Laboya baru pukul gong,” tandasnya.

BACA JUGA :   Atasi Persoalan Sampah, Pemprov Babel Ajak Masyarakat Galakkan 3 R

Hal ini menjadi Fokus Komunitas Lakawa Huba (KLH) untuk kembali menggali dan mempelajari nilai-nilai budaya.

“Budaya yang seringkali dimaknai secara simbol sudah banyak ditemukan di masyarakat umum, contoh sederhana adalah banyak yang memakai Kalabo (Pakai Kain) namun tidak tau makna dari Kalabo. Kedepannya kita harus mendidik anak-anak kita agar bisa memahami makna budaya. Caranya lewat pendidikan, kita buat kurikulumnya soal kearifan lokal dan pengetahuan budaya Sumba,” pungkas Yonathan yang kini fokus pada pendampingan masyarakat adat.

Ketua KLH berharap kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Barat bisa bersinergi untuk memikirkan masa depan budaya Sumba Barat. Red/Nov

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!