Putraindonews.com, Makassar – Perahu lengkap dengan baling-baling, dayung, jaring, alat tangkap kepiting, tali, kerang, dan benda-benda yang biasa dipakai nelayan jadi seting panggung Pertunjukan Muara Sungai, Laut, dan Tallo Bersejarah, yang berlangsung sejak Minggu pagi, 21 Juli 2024.
Pertunjukan dengan latar tulisan ikon Pantai Marbo itu, langsung berbatasan dengan laut luas, tempat nelayan di pesisir Pantai Mangarabombang mencari ikan dan tude (kerang).
Ferdhiyadi N, penerima Program Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX Kemendikbudristek RI, mengatakan ada tiga alasan Pertunjukan Muara Sungai, Laut, dan Tallo Bersejarah diadakan di Tallo.
Pertama, jaringan maritim yang terbangun sejak Kerajaan Tallo di mana saat itu sudah ada pelabuhan yang berada di Kaluku Bodoa. Kedua, peran krusial Tallo dalam islamisasi di Sulawesi Selatan. Ketiga, semangat literasi dari Karaeng Pattingalloang, Raja Tallo ke-9, Mangkubumi Kerajaan Gowa, yang ingin diwariskan kepada generasi selanjutnya.
“Dalam konteks pemajuan kebudayaan, ada dua aspek yang penting, yakni partisipasi masyarakat dan kolaborasi dengan pemangku kepentingan terkait. Kolaborasi dan partisipasi itu bisa kita lihat pada kegiatan ini,” terang pengajar sejarah dan pegiat kebudayaan itu.
Andi Irfan Syam, Verifikator Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX Sulawesi Selatan, menilai kegiatan ini sebagai momentum untuk mengaktualisasikan budaya dan sejarah Tallo yang terkenal sejak lama. Tallo, kata dia, merupakan embrio dari sejarah Kota Makassar. Kegiatan pertunjukan ini juga mampu mempertemukan kolaborasi cagar budaya dan objek pemajuan kebudayaan.
“Ada interaksi, kolaborasi dan ruang ekspresi yang ditampilkan oleh para seniman, pekerja kebudayaan dari berbagai komunitas dalam kegiatan ini,” puji Andi Irfan Syam.
Acara ini dimulai sejak pagi. Peserta tur jappa-jappa ri Tallo, mengunjungi 9 situs bersejarah di wilayah Kelurahan Tallo, di antaranya Timungang Lompoa dan Kompleks Makam Raja-Raja Tallo. Mereka dipandu empat orang yang menjelaskan setiap situs sejarah yang dikunjungi.
Keempat pemandu itu, yakni Sudirman, pegiat kebudayaan di Tallo, Adil Akbar, guru sejarah dan penulis buku tentang Kerajaan Gowa, Rahmatul Yushar, guru sejarah dengan fokus kajian sejarah islam, dan Bu Saenab, warga Marbo.
Peserta tur terlihat antusias ingin mengetahui sejarah lokasi-lokasi yang didatangi. Apalagi ada yang baru pertama melihat situs-situs itu, terutama sisa-sisa Benteng Tallo.
Di lolasi acara, terdapat pameran gambar hasil karya anak-anak Marbo. Mereka menggambar sesuai lingkungan sosialnya. Ada kapal penangkap ikan, perahu, rumah panggung, lautan, ikan, ikon Pantai Marbo. Komunitas Indonesia’s Sketcher (IS) Makassar menemani anak-anak selama menggambar.
Salwa dan Sahwa, saudara kembar berusia 8 tahun, yang masih duduk di kelas 3, senang karena gambarnya dipajang. Keduanya menggambar laut, ikan, dan kapal. Ada juga karya seni instalasi dari sampah plastik yang dipungut anak-anak dari pesisir Pantai Marbo.
Dinding warga juga ikut digambar, bagian dari pertunjukan. Lukisan mural dibuat Aldy, mahasiawa UMI Makassar dan Fadlan dari Universitas Dipanegara. Keduanya berasal dari Majene. Mereka ikut karena diajak dan senang bisa berkolaborasi dalam kegiatan seni budaya seperti ini. Mereka membuat mural berupa laut dengan prasasti bertuliskan beraksara Lontaraq. Setelah mural jadi, anak-anak antre untuk memberi cap telapak tangan mereka di sekeliling mural.
Sementara itu, Kaharuddin dkk menampilkan Paraga. Ada pula remaja-remaja putri asal Tallo yang tampil membawakan tari Padupa, tari Tulolonna Sulawesi dan lagu qasidah. Selain itu ditampilkan pula seni beladiri pamanca sipakatau.
Lapak baca yang menyediakan bacaan bagi anak-anak juga ada. Buku-buku dengan tema budaya dan sejarah Sulawesi Selatan dijual selama gelaran acara.
Anak-anak senang permainan tradisional, seperti longga-longga dan dende-dende. Bu Mia (43 tahun) dan Bu Ati (56 tahun), mengaku terkenang pada masa kecilnya. Saat masih kecil, katanya, mereka sering bermain lompat tali, congklak, petak umpet, longga-longga, dan jangang-jangang.
Aneka jajanan tradisional juga dijual warga. Gade-gade warga yang menyediakan aneka minuman dan makanan ringan kemasan terlihat laris manis. Cuaca cerah seharian sangat mendukung kerlancaran acara.
Pada sesi sore, tenggelam bersama puisi, tampil membacakan puisi dari UKM Seni Pancoran UKI Paulus, dan seorang murid SMP. Sofyan Basri dari Ruang Abstrak Literasi, juga tampil membaca puisi Karaeng Pattingalloang Galileo dari Timur karya Rusdin Tompo. Pada malam hari, masih ada beragam penampilan.
Dongeng kebudayaan dengan pesan pentingnya menjaga ekosistem laut, yang ditampilkan Kak Mangga dkk, sangat menghibur anak-anak. Anak-anak dan warga diajak tidak membuang sampah ke laut, yang jadi bagian dari cerita. Pasinrilik Arif Daeng Rate, tampil memainkan cerita sejarah Kerajaan Tallo, di era keemasan kekuasaan Karaeng Matoaya.
Pertunjukan seni budaya yang disebut-sebut warga sebagai pesta rakyat ini, saat pembukaan dihadiri Sekcam Tallo, Lurah Tallo, dan RT/RW se-Kelurahan Tallo. Dinas Kebudayaan Kota Makassar, dan beberapa staf Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX juga hadir.
Saat prosesi panaik-panaung, yang diadakan menjelang Magrib, panca dengan seserahan dilarungkan ke laut. Begitu panca yang berisi ayam goreng 2 ekor, songkolo empat warna, telur, pisang, burasa, dan aneka buah diturunkan, anak-anak langsung berebutan. Ada yang mengaku merinding saat mengikuti prosesi itu menuju ke laut.
Alghifari Jasin melakukan performance art di tanggul Marbo, dengan membawa setumpuk buku. Ia mengenakan baju dan sarung putih. Saat berada di atas perahu, dia mengatakan, Tallo punya sejarah yang panjang. Banyak arsip dan ilmu pengetahuan yang dimiliki tapi entah di mana semua itu.
“Karena itu kita perlu menulis. Dengan menulis kita membuat sejarah sendiri, yang akan diarsipkan menjadi buku-buku,” imbuhnya. Red/RT