Putraindonews.com, Makassar, – “Ragam hias Makassar itu masih kurang dikenal orang, baik di kalangan warga lokal apalagi di kalangan nasional dan internasional. Selama ini, mereka kenal sebagai ragam hias budaya Makassar itu adalah ragam hias Toraja. Padahal, Makassar punya ragam hias sendiri.” Dr Sitti Suryani, S,Pd, M,Pd, melihat kenyataan itu sebagai motivasi baginya, sehingga itu yang jadi latar belakang, mengapa ia menjadikan ragam hias Makassar sebagai objek penelitian dalam disertasinya.
Menurut guru SMP Negeri 3 Pattalassang, Kabupaten Gowa itu, bahkan belum ada buku khusus tentang ragam hias budaya Makassar yang dapat dijadikan referensi. Padahal ini penting sebagai materi untuk memperkenalkan motif-motif ragam hias Makassar kepada siswa yang notabene merupakan generasi penerus. Maka, guru kelahiran Ujung Pandang, 21 Juli 1974 itu menyusun disertasi berhudul “Pengembangan Model Pembelajaran Seni Budaya Melalui Google Sites untuk Meningkatkan Kreativitas Menggambar Ragam Hias Budaya Makassar pada Siswa Sekolah Menengah Pertama”.
Sitti Suryani mengungkapkan pengalamannya itu, via WhatsApp kepada Rusdin Tompo, seorang pegiat literasi, Sabtu, 15 Juni 2024. Perhatian dan kepedulian perempuan yang hobi belajar ini terhadap kekayaan budaya Makassar selaras dengan pendidikan akademiknya. Ia meraih gelar Sarjana (S1) dari IKIP Ujung Pandang (sekarang UNM), pada Jurusan Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan (1993-1998), lalu gelar Magister (S2) dari Program Pascasarjana UNM konsentrasi Pendidikan Seni Rupa (2015-2017), kemudian gelar Doktor (S3), juga Program Pascasarjana UNM, Ilmu Pendidikan (2019-2022).
“Saya ingat betul waktu pelaksanaan ujian promosiku karena bertepatan dengan momen peringatan Hari Ibu, yakni hari Kamis, 22 Desember 2022,” kisah guru yang beralamat di JL Muhajirin II No. 25, Kelurahan Mangasa, KecamatanTamalate, Kota Makassar ini.
Disertasinya itu sudah disunting jadi buku Menggambar Ragam Hias Budaya Makassar, Pembelajaran Seni Budaya Melalui Google Sites dengan Pendekatan Project Based Learning. Ditambahkan, buku tersebut dibuat sebagai media pendukung mata pelajaran Seni Budaya cabang Seni Rupa pada siswa SMP dengan memaksimalkan penggunaan aplikasi yang ada di Google Sites. Ini merupakan ikhtiarnya. Sebagai penulis, dia mempertemukan dua aspek sekaligus. Di satu sisi, sebagai upaya mewariskan dan melestarikan kearifan lokal serta budaya Makassar, dan pada sisi lain, juga memanfaatkan kemajuan teknologi sebagai media pembelajaran.
Dijelaskan, ragam hias Makassar itu bisa dijumpai di sejumlah tempat dan bentuknya macam-macam. Motif ragam hias itu terdapat pada benda pakai yang ada di Makassar. Ada motif ragam hias dari sarung sutera, seperti motif curak labba, motif caddi, lobang, dll. Ada pula motif badik, aksara lontarak, rumah adat balla lompoa, motif nenas di jendela, dan timba sila. Juga motif sulapa appa. Ragam hias budaya Makassar ini, kata Bu Suryani, sapaan akrabnya, bisa dijumpai pada situs-situs bersejarah, antara lain di Masjid Tua Katangka dan kompleks makam raja-raja Gowa.
Ketika ditanya, mengapa ragam hias Makassar kurang mendapat perhatian dibanding misalnya ragam hias Toraja? Suryani menjawab, karena budaya daerah Makassar berbeda dengan budaya Toraja. Ragam hias Toraja itu terkait pula untuk kebutuhan religi, sementara ragam hias Makassar hanya berdasarkan kebutuhan sehari-hari. Walai diakui, ragam hias Makassar kini sudah mulai diperkenalkan dalam bentuk batik aksara Lontarak, tapi tetap lebih pada fungsi estetik.
Diakui, ada beberapa kendala dan tantangan dalam mengembangkan ragam hias Makassar. Antara lain, kendala dalam managemen waktu untuk mengembangkan motif, alat dan bahan terbatas bahkan ada yang sudah tidak tersedia, serta referensi yang juga masih terbatas. Selain itu, tantangan kurangnya daya tarik, karena tidak difungsikan sebagi bentuk keindahan dan kebudayaan religi. Contohnya, fungsi gentong, masyarakat sudah beralih ke yang modern. Belum lagi, masyarakat cenderung lebih tertarik pada produk luar.
Tentu kondisi ini disayangkan. Karena, menurutnya, ragam hias Makassar penting diajarkan di sekolah. Hal itu supaya siswa mengenal dan tahu motif lokal ragam hias Makassar dan mencintai budaya kita. Pengenalan budaya Makassar, lewat ragam hias ini penting diperkenalkan sejak anak-anak duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK). Misalnya, melalui kegiatan mewarnai gambar ragam hias Makassar. Sedangkan untuk anak-anak SD, mereka diajak untuk menggambar dan mewarnai ragam hias Makassar, lalu untuk tingkat SMP dan SMA bisa dengan kegiatan menggambar dan menerapkan gambar tersebut pada bahan tekstil dan kayu.
“Kalau untuk model pembelajarannya, dilakukan secara berdeferensiasi dengan mengelompokkan siswa yang bisa menggambar, siswa yang kurang bisa dan yang belum bisa menggambar,” kata guru yang sudah mengabdi di SMP Negeri 3 Pattallasang selama 12 tahun itu.
Sebelum mengajar di sekolah yang sekarang, Suryani pernah mengajar di SMP Negeri 2 Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dari pengalaman mengajar itu, dia menemukan formula pembelajaran menggambar ragam hias. Ditambahkan, berdasarkan pengelompokan siswa yang bisa, kurang, dan belum, maka metode pembelajaran yang dilakukan menggunakan tutor sebaya. Katanya, agar pembelajaran menyenangkan siswa diajar belajar di alam untuk menggambar dan mengamati lingkungan sebagai sumber belajar.
Suryani mengapresiasi perhatian pemerintah terhadap ragam hias Makassar yang sudah mulai terlihat pada industri fesyen. Paling tampak pada seragam batik dengan motif Sultan Hasanuddin, Syech Yusuf, dan batik dengan motif aksara Lontarak. Publikasi motif-motif ini bisa ditemui di internet. Namun, pengenalan motif-motif ragam hias Makassar dalam bentuk buku masih sangat langka. Perupa Makassar, terutama di Kabupaten Gowa, juga sangat terbatas mengangkat dan mempromosikan ragam hias budaya Makassar ini.
“Kita masih sangat butuh modul dan buku ragam hias Makassar sebagai bahan referensi untuk pengembangan desain model pembelajaran Seni budaya, baik dalam bentuk produk media elektronik maupun produk media cetak,” tandas Suryani. Red/RT