Putraindonews.com, Tangsel – Lembaga Swadaya Masyarakat Pelangi Garuda Indonesia (Pegarindo) kembali mengingatkan pemerintah dan aparat hukum soal bocornya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Tangerang Selatan. Sorotan utama ada pada dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan parkir dan penggelapan lahan fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos-fasum).
Ketua DPD II Pegarindo Tangsel, Mulyadi atau biasa disapa Bang Mul menyebut kebocoran PAD tidak hanya persoalan teknis. Di balik praktik itu terdapat persoalan tata kelola pemerintahan yang rapuh dan minim akuntabilitas. “Parkir dan fasos-fasum adalah hak publik. Jika dikuasai segelintir orang, rakyatlah yang paling rugi,” ujarnya.
Menurut Pegarindo, kebocoran PAD menciptakan lingkaran masalah. Dana pembangunan yang seharusnya digunakan untuk layanan dasar—seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan—justru berkurang drastis. Akibatnya, kualitas pelayanan publik stagnan, sementara ketimpangan sosial makin terasa.
Di sisi lain, pengelolaan lahan fasos-fasum yang diduga digelapkan menggerus ruang publik warga. Lahan yang seharusnya untuk fasilitas umum malah berubah jadi kepentingan bisnis. Jika praktik ini dibiarkan, risiko jangka panjangnya adalah hilangnya hak masyarakat atas ruang terbuka dan fasilitas bersama.
Pegarindo menilai lemahnya pengawasan menjadi akar masalah. Ketika kontrol internal pemerintah daerah tidak berjalan, peluang penyalahgunaan wewenang semakin besar. Hal ini diperparah dengan lambannya respons aparat hukum terhadap laporan yang sudah masuk sejak tiga bulan lalu.
Tenggat waktu 14 September 2025 yang ditetapkan Pegarindo menjadi ujian serius bagi Kejaksaan Agung. Jika tidak ada langkah nyata, publik akan meragukan komitmen negara dalam melawan korupsi di tingkat daerah. “Kami tidak ingin rakyat kehilangan haknya karena permainan busuk segelintir orang,” kata Bang Mul menegaskan.
Sebagai Ketua DPD LSM Pegarindo, saya sangat prihatin dengan dugaan kasus ini di Tangsel, ini seharusnya jadi pelajaran penting. PAD yang bocor adalah sinyal bahwa mekanisme kontrol fiskal di daerah belum berjalan optimal. Dengan demikian, perbaikan sistem pengawasan dan transparansi mutlak dilakukan agar keuangan daerah benar-benar berpihak pada masyarakat.
Tantangan terbesar adalah mengubah budaya birokrasi dari permisif menjadi tegas terhadap praktik penyimpangan. Tanpa itu, Tangsel akan sulit berbenah. Di satu sisi, tekanan publik seperti yang dilakukan Pegarindo menjadi energi positif. Di sisi lain, tanpa keberanian aparat hukum, suara masyarakat berisiko tenggelam di tengah praktik lama yang masih bercokol.
“Perubahan tidak lahir dari diam. Tangsel butuh keberanian hukum sejalan dengan tuntutan rakyat. Hak publik harus kembali ke rakyat,” pungkas Bang Mul. Red/TK