Putraindonews.com – SETARA Institute mendorong agar DPR RI menunda pembahasan Revisi Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). SETARA berpesan agar terlebih dahulu memperluas partisipasi bermakna publik, para pakar, akademisi, dan masyarakat sipil.
Demikian disampaikan peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie dalam keterangannya, Senin (15/7/2024) terkait rencana pembahasan Revisi UU TNI oleh DPR RI.
Dalam pandangan SETARA, lanjut Ikhsan, kepercayaan publik dan citra institusi TNI yang tinggi di mata publik harus terus dijaga dengan merawat dan melakukan penguatan agenda-agenda Reformasi TNI, sehingga TNI menjadi tentara yang kuat dan profesional di bidang pertahanan negara.
Dorongan SETARA agar DPR RI menunda pembahasan Revisi UU TNI ini didasari sejumlah catatan atas muatan-muatan usulan perubahan dalam Revisi UU TNI. Pertama, SETARA Institute mendapati usulan penghapusan larangan kegiatan bisnis bagi prajurit TNI dapat menebalkan keterlibatan prajurit TNI pada bidang-bidang di luar pertahanan negara.
“Jika sebelumnya hanya pada bidang sosial-politik, melalui usulan ini bertambah pada bidang ekonomi. Usulan ini dapat menjadi pintu masuk bagi kemunduran (regresi) profesionalitas militer, sebab memberi legitimasi aktivitas komersil bagi prajurit TNI dan potensi pemanfaatan aspek keprajuritan untuk hal-hal di luar pertahanan negara,” katanya lagi.
Kedua, SETARA menemukan argumentasi keniscayaan keterlibatan prajurit TNI berbisnis apabila anggota keluarganya berbisnis, seperti membuka warung, memperlihatkan ketidaksesuaian antara norma yang ingin dihapus dengan konteks yang diberikan. Menurut Ikhsan, keterlibatan prajurit dalam membantu anggota keluarga dalam konteks demikian tentu tidak berdampak terhadap penggunaan atribut dan/atau aspek keprajuritan lainnya, seperti kewenangan komando.
“Hal itu berbeda konteks dengan norma Pasal 39. Mencabut norma larangan berbisnis bagi anggota TNI sebagai dalam Pasal 39 justru dapat berdampak terhadap keterlibatan dalam aktivitas bisnis yang lebih besar, menjauhkan TNI dari profesionalitas, dan potensial menjerumuskan TNI ke dalam praktik-praktik buruk kegiatan bisnis, seperti menjadi beking sebuah entitas bisnis,” ujarnya.
Ketiga, terkait penambahan ketentuan dalam Pasal 47 ayat (2) yang dikhawatirkan bisa meruntuhkan pembatasan Kementerian/Lembaga (K/L) yang sebelumnya disebutkan secara spesifik. Perubahan yang diusulkan berupa penambahan ketentuan prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada K/L lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden.
“Selain itu, tidak terdapat jaminan bahwa ketentuan ini hanya untuk K/L lainnya yang berkaitan dengan pertahanan negara, mengingat tidak terdapat diksi ‘…berkaitan dengan pertahanan negara’ dalam ketentuan tersebut,” ujar Ikhsan.
Keempat, SETARA menyoroti naskah Akademik (NA) yang disusun memperlihatkan kemunduran paradigma mengenai Dwifungsi TNI berkaitan usulan perubahan Pasal 47. Dalam NA disebutkan bahwa penempatan TNI pada K/L dalam praktiknya tidak sebatas yang tercantum pada K/L di Pasal 47 ayat (2) UU TNI saja.
Sebab, menurut Ikhsan, terdapat perkembangan kebutuhan SDM pada bidang-bidang tertentu, sehingga prajurit TNI dapat diperbantukan pada K/L yang memerlukan keahliannya.
“Dampak jangka panjangnya menimbulkan hutang budi politik karena semua ruang-ruang K/L tersebut dibuka berdasarkan kebijakan Presiden, yang notabene merupakan produk politik hasil kontestasi dalam Pemilihan Umum,” pungkas Ikhsan. Red/HS