Putraindonews.com, Jakarta – Mencuatnya dugaan tindak pidana korupsi yang dikeluarkan Kejari Bengkulu Tengah terhadap direktur PT. ACP berinisial ‘AP’ akibat adanya kredit macet menimbulkan tanda tanya dan terkesan dipaksakan.
Hal tersebut mendapat tanggapan serius dari penasehat hukum PT. ACP, Dr. Ali Yusran Gea dan meminta Jaksa Agung RI untuk mengingatkan Kejari Bengkulu Tengah dalam menangani dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian fasilitas Kredit Yasa Griya agar lebih melihat penyebabnya terlebih dahulu.
Ali mengatakan seharusnya dalam pemberian fasilitas Kredit Yasa Griya (KYG) dan Kredit Pembelian Lahan (KPL) kepada PT.ACP dari bank BTN dilakukan secara proporsional terutama kepada PT. ACP sebagai pengembang agar ada kepastian hukum dan jauh dari pelanggaran hak azasi manusia yang dapat menimbulkan kerugian hukum bagi PT. ACP itu sendiri.
Pasalnya, Ali menilai bahwa terjadinya kredit macet tersebut disebabkan oleh adanya bencana alam banjir dan bertetapan dengan terganggunya perekonomian nasional akibat adanya pandemi covid 19.
“Kemacetan pembayaran itu diakibatkan tenggelamnya perumahan Cempaka Bentiring Permai karena bencana alam berupa pasang air laut dan bertetapan pada saat itu juga timbul pandemi covid 19 pada tahun 2019, sehingga segala kegiatan yang bergerak di bidang ekonomi dan lain lain sangat terbatas”, jelas Ali saat konferensi pers kepada media, Jumat (11/10/24) di Hotel Balairung, Jakarta Timur.
Ia juga menilai apakah ‘AP’ dari kasus diatas telah melakukan dugaan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 2, pasal 3, pasal 11 dan pasal 55 undang undang nomor 20 tahun 2001 Jo undang undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terkait Kredit Yasa Griya (KYG) dan Kredit Pembelian Lahan (KPL) yang mengalami kemacetan.
“Selanjutnya, apakah setiap kredit macet pada Bank konvensional atau Bank swasta termasuk dugaan tindak pidana korupsi,” jelasnya.
Dirinya melanjutkan bahwa dengan perbuatan pemberian fasilitas Kredit Yasa Griya (KYG) dan Kredit Pembelian Lahan (KPL) antara PT. ACP selaku debitur dengan Bank BTN (kreditur) yang diawali dengan perjanjian kredit dan pemberian agunan disertai pembayaran cicilan bunga adalah merupakan kategori hukum perdata yang tunduk kepada hukum perjanjian sebagaimana yang sebagaimana diatur dalam pasal 1313 KUHperdata.
“Fungsi agunan dalam setiap perjanjian kredit di bank konvensional adalah untuk mencegah debitur lepas dari tanggung jawab dalam membayar, angsuran, memberikan motivasi kepada debitur untuk melunasi hutangnya dan membayar angsuran dengan tepat waktu, jaminan kepastian berlandaskan hukum yang berlaku dan adanya hak untuk kreditur mendapatkan kepemilikan aset yang dijadikan jaminan oleh debitur jika suatu saat terjadi wanprestasi,” beber Ali.
Selanjutnya, Ali selaku penasehat hukum dari klien AP PT. ACP berharap kepada agar kejaksaan agung RI untuk agar menegur Kejari bengkulu tengah dan melihat permasalahan ini bukanlah sebagai dugaan tindak pidana korupsi yang terkesan dipaksakan melainkan perdata.
“Bagaimana mungkin aparat kejaksaan mentersangkakan seseorang tanpa didukung bukti bukti primer yaitu temuan dari BPK dan BPKP,” kata Ali.
Dalam hal ini juga, Ali menegaskan bahwa tidak ada ditemukan PT. ACP terkait dengan adanya issu peristiwa hukum yang berkaitan dengan pemalsuan data-data administratif, mark up harga pemilihan tanah, nilai rencana anggaran biaya bangunan unit perumahan, dan pembukuan PT ACP.
“Kita juga telah menyurati BPKP Provinsi Bengkulu perihal tindak lanjut pengaduan dan pendapat hukum, Jamwas Kejagung RI dan Komisi Kejaksaan Agung RI perihal pengaduan, namun hingga kini belum mendapat jawaban kongkrit,” ujarnya.
“Terkait dugaan tindak pidana korupsi ini, sampai sekarang belum ada hasil audit adanya kerugian negara dari BPKP Provinsi Bengkulu,” lanjutnya memungkasi. Red/HS