Putraindonews.com-Jakarta | Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam menilai tambahan utang pemerintah pusat semakin memperburuk kondisi anggaran negara. Ia menilik bagaimana utang yang diterbitkan hanya digunakan untuk menambal beban utang lainnya. Di sisi lain, Ecky juga berpendapat bahwa tumpukan utang yang selama ini diterbitkan pemerintah belum mampu memberikan daya ungkit bagi pertumbuhan ekonomi. Karena itu, ia menegaskan tingginya tumpukan utang itu menjadi lampu kuning bagi utang pemerintah.
“Utang pemerintah pusat sudah berada pada angka yang sangat tinggi. Per Desember 2023, angkanya mencapai angka sekitar Rp8.100 triliun. Lampu kuning bagi pemerintah. Saya memantau, utang pemerintah meningkat signifikan sejak 10 tahun terakhir. Peningkatan utang pemerintah bahkan mencapai lebih dari Rp5.000 triliun sejak 2014,” ungkap Ecky dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Kamis (29/2/24).
Di sisi lain, ia menilai kondisi tambal sulam yang digunakan beban bunga itu tercermin dari defisit keseimbangan primer. Defisit ini melebar pada tahun 2015 dan semakin melebar setelah 2019. Di sisi lain, tumpukan utang yang diterbitkan belum mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi stagnan di kisaran 5 persen sejak 10 tahun terakhir,” ungkapnya.
Klaim pemerintah bahwa utang pemerintah berada pada kondisi yang aman sebenarnya juga tidak tepat. Terlebih klaim tersebut didasarkan pada rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).
Politisi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini kemudian menambahkan bahwa kondisi utang saat ini tidak berada pada situasi yang aman. Klaim pemerintah bahwa utang pemerintah berada pada kondisi yang aman sebenarnya juga tidak tepat. Terlebih klaim tersebut didasarkan pada rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).
Anggota Badan Anggaran DPR RI ini juga menyatakan bahwa PDB tidak menggambarkan kondisi penerimaan negara yang digunakan untuk membayar utang. Sebab, PDB merupakan besaran nilai tambah perekonomian secara nasional.
“Mestinya profil risiko utang dapat dilihat dengan rasio lain yang lebih ideal. Misalnya, Debt to Service Ratio (DSR). Ukuran ini menggambarkan bagaimana utang dibandingkan dengan kemampuan devisa untuk membayar utang tersebut,” tegasnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, jika utang meningkat tanpa diikuti oleh peningkatan ekspor dan penerimaan devisa lain, kata Ecky, maka ketersediaan dolar untuk membayar utang semakin terbatas. Transmisi akhirnya adalah pada nilai tukar.
“Rasio amannya adalah berada pada angka 20 persen. Sejak 2015, rasio DSR kita konsisten di atas 24 persen. Memang menurun saat terjadi boom komoditas pada 2020 hingga 2022, namun kondisi ini tidaklah berkelanjutan. Ini alarm yang nyata bagi fiskal dan perekonomian kita,” jelas Ecky
Menutup keterangan resminya, Ecky berharap agar persoalan utang ini dapat dilihat secara lebih serius. Peningkatan utang saat ini berada pada situasi yang cukup berisiko.Red/HS