Putraindonews.com – Jakarta | Rapat Paripurna DPR ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022 mengesahkan Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (RUU HKPD) menjadi undang-undang (UU).
“Selanjutnya kami menanyakan kepada setiap fraksi-fraksi lain apakah RUU tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dapat disetujui untuk menjadi undang-undang?” tanya Pimpinan Rapat Paripurna sekaligus Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Selasa 7/12/21.
“Setuju,” jawab anggota legislatif.
Masih ditempat yang sama menteri Keuangan Sri Mulyani selaku perwakilan pemerintah menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas persetujuan Rapat Paripurna DPR agar RUU HKPD bisa menjadi UU.
Dirinya menyampaikan di sidang paripurna disaksikan 45 anggota DPR RI yang hadir, kekurangan lain terlihat dari belanja daerah yang belum fokus dan belum efisien, di mana terdapat 29.623 jenis program dan 263.135 jenis kegiatan. Begitu juga dengan pola eksekusi APBD yang selalu tertumpuk di kuartal IV sehingga mendorong munculnya dana mengendap di daerah
Lebih lanjut, pemerintah selalu meningkatkan aliran TKDD ke daerah. Tercatat, alokasi TKDD sebesar Rp528 triliun pada 2013, lalu meningkat menjadi Rp795 trilun pada 2021.
“Tapi ini belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal oleh daerah,” kata Ani dalam kesempatannya berimasukan saat paripurna
Kemudian sambungnya, pemerintah mengeluarkan RUU HKPD agar pengelolaan keuangan daerah bisa lebih optimal dan efisiensi. Namun, hal ini bukan bermaksud resentralisasi pengelolaan di pusat.
Ditempat terpisah pengesahan RUU HKPD tetap mendapat penolakan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Angota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS Ahmad Junaidi Auly menyatakan penolakan muncul karena sejumlah kepala daerah sejatinya turut menolak RUU
“Fraksi PKS menyampaikan terjadi banyak penolakan dari kepala daerah atau pemda baik pemerintah provinsi, kabupaten, maupun kota atas RUU HKPD ini,” ujar Ahmad.
PKS menilai semangat otonomi daerah tidak terlihat dalam RUU HKPD karena cenderung memperkuat resentralisasi oleh pemerintah pusat.
Sebab, pemerintah kerap memaksa daerah untuk menjalankan proyek strategis nasional (PSN) ke daerah.
“Inovasi pengelolaan fiskal dalam rangka pembangunan keuangan daerah dikebiri dengan banyaknya program pembangunan yang harus disetir atas nama program strategis nasional.
Padahal faktanya, tidak semua program strategis nasional sejalan dengan kebutuhan daerah,” pungkasnya. Red/Ben