Pemakzulan Presiden Korea Selatan, Peringatan Bagi Indonesia

Puutraindonews.com – Pemerintah Indonesia diharapkan dapat mengambil hikmah dari krisis politik di Korea Selatan (Korsel), yang memuncak pada pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol setelah ia memberlakukan darurat militer pada Sabtu (7/12/24) baru-baru ini. Langkah tersebut menuai kritik keras karena dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan.

Ketua DPP Bidang Hubungan Luar Negeri Partai Gelora Indonesia, Henwira Halim dalam diskusi Gelora Talks bertajuk “Gejolak Politik di Negeri K-Pop, Ada Apa?”, dikutip Kamis (19/12/24) menyampaikan bahwa tindakan Presiden Yoon Suk Yeol adalah contoh nyata bagaimana seorang pemimpin gagal memahami batas-batas kekuasaannya.

“Seorang presiden memang memiliki otoritas untuk mengumumkan keadaan darurat sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata. Namun, kekuatan rakyat tidak boleh disepelekan atau diabaikan,” ujar Henwira.

BACA JUGA :   Tiongkok Tolak Putusan Mahkamah Arbitrase Internasional Soal Laut China Selatan

Menurutnya, keputusan Yoon untuk memberlakukan darurat militer tidak didasarkan pada ancaman nyata, seperti yang ia klaim terkait potensi serangan dari Korea Utara. Sebaliknya, situasi itu hanya persoalan politik yang dipicu oleh skandal korupsi istrinya, Kim Keon-hee, dan perseteruannya dengan parlemen.

“Penggunaan kekuasaan darurat harus memiliki syarat yang ketat. Tidak boleh ada kesewenang-wenangan tanpa urgensi yang jelas,” tegas Henwira.

Henwira juga menyoroti pentingnya transparansi dan keberanian dalam menyampaikan kebenaran kepada pemimpin. Ia mengingatkan bahwa para pembantu presiden harus berani mencegah kebijakan yang keliru.

BACA JUGA :   Pengalaman Mitigasi COVID-19 Indonesia di Forum UNWTO

Selain itu, ia menyoroti peran penting masyarakat dalam aksi unjuk rasa di Korsel, di mana sebagian besar peserta adalah generasi muda yang memiliki wawasan demokrasi yang baik, terutama penggemar budaya K-Pop.

“Mereka menggunakan media sosial secara efektif untuk memobilisasi massa. Ini berbeda dengan di Indonesia, di mana literasi digital dan pendidikan masih belum merata, sehingga media sosial justru sering menjadi alat untuk memecah belah,” tambahnya.

Henwira mengingatkan bahwa pemerintah Indonesia perlu belajar dari kejadian ini, khususnya dalam membangun mekanisme demokrasi yang kuat, menghargai suara rakyat, serta menciptakan masyarakat yang terdidik dan kritis. Red/HS

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!