Putraindonews.com – Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) membeberkan dua pendekatan utama yang harus dikerjakan untuk mengatasi persoalan NEET (Not in Education, Employment, or Training) dari penduduk usia muda di Indonesia.
Pendekatan pertama adalah pembangunan karakter pekerja dengan etos kerja dan berbagai keterampilan hidup (life skills) yang tepat, sehingga dapat diterima secara positif di dunia industri.
“Tentunya, lifeskills ini harus diajarkan sejak dini, yaitu melalui pendidikan oleh orang tuanya sebelum sekolah, (lalu) sekolah resmi dari SD (Sekolah Dasar) sampai lulus siap kerja,” ujar Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian PPN/Bappenas Maliki ketika ditanya Antara di Jakarta, Sabtu (18/5).
Dengan adanya kesinambungan sistem pengajaran, lanjut dia, maka dapat menghasilkan pekerja yang mempunyai aspirasi untuk maju. Artinya, saat sudah lulus dari sekolah, penduduk usia muda sudah tahu pasti akan kemana dan mau mengerjakan apa.
Menurut dia, pendekatan tersebut perlu dilakukan karena ada tantangan fundamental yang perlu diselesaikan, yakni memperbaiki budaya produktif, budaya disiplin, dan etos kerja yang baik.
Selama ini, terdapat keluhan dari pihak industri bahwa tenaga kerja Indonesia belum mempunyai perilaku, disiplin, dan etos kerja yang tepat. “Aspirasi yang tepat di antara bakalan pekerja kita belum terasah dengan baik. Jadi, tidak ada keinginan untuk maju,” ucapnya.
Pendekatan kedua adalah memperbaiki kesesuaian kurikulum teknis yang diajarkan di persekolahan atau tempat pelatihan dengan keinginan pihak industri guna mengatasi mismatch yang menjadi permasalahan utama dalam isu ketenagakerjaan. Dalam arti, terdapat ketidaksesuaian antara pendidikan dan pekerjaan yang diinginkan dengan yang diciptakan.
Mismatch berkepanjangan dinilai akan menyebabkan anak muda yang lulus sekolah malas untuk mencari pekerjaan.
Karena itu, diharapkan dengan memperkecil atau mempersingkat periode pencarian pekerjaan, dapat memperkecil keputusasaan para pemuda yang “kehilangan arah” dan menjaga kemampuan kognitif mereka, sehingga tetap mampu bekerja dengan baik.
“Kesesuaian kurikulum dapat diciptakan dengan kolaborasi yang kuat antara institusi pendidikan dan industri, informasi yang terbuka terkait kesempatan kerja yang disediakan melalui sistem informasi pasar kerja yang merakyat dan mudah dijangkau, dan tentunya jajaran pengajar atau trainer yang up-to-date dengan perkembangan teknologi yang ada,” ungkap Maliki.
Selain dua pendekatan tersebut, beberapa kebijakan juga harus diterapkan dengan disiplin, yaitu pemenuhan hak pendidikan setidaknya hingga tamat tingkat sekolah menengah (12 tahun wajib belajar atau setara), fasilitasi pergerakan di pasar kerja (pelatihan reskilling dan upskilling, termasuk magang sesuai kebutuhan pasar, informasi pasar kerja, dan kewirausahaan) serta fasilitasi kehidupan yang berkualitas tinggi (work-life balance).
Seperti diketahui, data ILOSTAT mengemukakan angka NEET di Indonesia mencapai 23 persen pada tahun 2012. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 22,5 persen atau 9,9 juta pemuda usia produktif di Indonesia yang mengalami NEET sepanjang tahun 2023.
“Dari sini kita sudah lihat bahwa NEET dari dulu tetap persisten dan membutuhkan penyelesaian yang sistematis. Usia 9,9 juta adalah jumlah yang cukup besar, dan apabila kita pertimbangkan penduduk kita semakin banyak, terutama penduduk usia muda akan mencapai puncak sesuai dengan periode bonus demografi kita, tentunya akan semakin tinggi juga NEET,” kata dia. Red/HS