***
Putraindonews.com – Jakarta | Satgas Agraria DPP Himpunan Keurukunan Tani Indonesia (HKTI) kembali menyelanggarakan Webinar dengan Tema Penyelesaian Konflik Agraria Antara Petani dan Perkebunan di Jakarta, Jumat 30 September 2022.
Nara sumber Ir. Doddy Imron Cholid selaku Ketua Satgas Agraria HKTI, Rudi Rubijaya,SP,MSc Kepala Kanwil BPN/ATR Banten, Dr Muhamad Rifqinizamy Karsayuda,SH,LLM anggota Komisi II DPR RI yang juga Ketua DPD HKTI Kalimantan Selatan. Dihadiri oleh DPD dan DPC HKTI serta beberapa Kanwil dan Kantor BPN Indonesia.
Dalam paparannya, Ir. Doddy Imron Cholid mengatakan bahwa salah satu dampak ketimpangan struktur penguasaan tanah adalah konflik Agraria. Seperti kita ketahui luas Indonesia 190 juta hektar, sekitar 70 persen atau 120 juta hektar adalah kawasan hutan dan sisanya 30 persen merupakan Areal Penggunaan Lainnya (APL).
Setiap tahun manusia terus bertambah sementara tanah relatif tidak bertambah, akibatnya kebutuhan tanah setiap tahun meningkat karena pertumbuhan penduduk sehingga tanah menjadi barang yang langka karena ketersediaan tanah terbatas. Kalau luas kawan hutan masih terus dipertahankan sebesar 70 persen maka kita khawatir ke depan akan terjadi konflik konflik pertanahan seperti yang dirasakan saat ini.
“Peserta sepakat sebaiknya kawasan hutan ini dikurangi karena ada penggunaan non hutan seperti kampung, sawah, kebun, tambang dan usaha-usaha pertanian lainnya yang sebaiknya dikeluarkan saja dari kawasan hutan agar ketimpangan struktur penguasaan tanah ini terselesaikan dan semua petani punya tanah dan sejahtera,” ujar Doddy.
Dalam Webinar diuraikan, penyebab konflik masyarakat petani dan perkebunan, yang pertama, karena klaim masyarakat bahwa tanahnya tidak pernah dibebaskan sejak zaman Belanda ketika diterbitkannya UU Agraria tahun 1850 yang membuat hak atas tanah tanpa pembebasan tanah petani. Ketika memasuki zaman kemerdekaan dengan diterbitkannya HGU maka petani protes kenapa tanahnya dimasukan di dalam HGU. Akibatnya terjadi konflik.
“Penyelesain konflik seperti ini harus dibarengi dengan kekompakan para petani dan data datanya harus jelas dan peta yuridis. Dengan musyawarah dan mediasi konflik bisa diselesaikan dan tidak lagi diselesaikan melalui pengadilan. Kita sepakat penyelesaian konflik pertanahan melalui jalur mediasi,” jelas Doddy.
Penyebab konflik agraria yang kedua, karena Hak Guna Usaha ditelantarkan akibatnya tanah yang terlantar itu diduduki oleh masyarakat petani. Perusahaan dan masyarakat berkonflik . Solusinya banyak dilakukan dengan menetapkan tanah terlantar menjadi tanah negara yang kemudian didistribusikan kepada rakyat dengan jalan mediasi antara perusahaan dan masyarakat.
Ketiga, konflik terjadi karena keberadaan tanah-tanah adat , biasanya tanah ada tidak ada batas yang jelas, sehingga antara perusahaan dan masyarakat adat terjadi konflik, maka harus diselesaikan melalui mediasi dengan mengikutsertakan sebagai peserta Plasma.
Keempat, konflik yang terjadi dalam kegiatan inti dan plasma, padahal sesuai Permentan dan Peraturan Presiden No. 86 /tahun 2018 bahwa setiap permohonan hak, perpanjangan hak dan pembaruan hak maka perusahaan harus wajib memberikan 20 persen kepada petani dan hanya diberikan sebesar 2 persen atau 3 persen saja. Kalau perusahaan keberatan maka harus dicarikan tanah yang baru di lokasi yang lain. Harus disepakati antara petani dan perusahaan. “Yang penting masyarakat diberikan plasma sebesar 20 persen dari luas arealnya,” tegas Doddy.
Yang terakhir, untuk mempermudah penyelesaian konflik agraria disarankan agar BPN diberikan kewenangan artibutif untuk penyelesaian Pro Justicia. Sehingga ada penegakan hukum oleh BPN kalau terjadi pelanggaran hukum. Sehingga ada penegakan hukum yang langsung dilakukan oleh Kementerian Agraria/BPN.
“Kita harapkan semua saran dan tanggapan dalam webinar ini terutama masukan-masukan dari dari daerah terkait konflik agraria antara petani dan perkebunan akan kita tindaklanjuti dengan mengirimkan data teknis dan yuridisnya untuk dipelajari dan kemudian akan kita bantu penyelesaiannya ,“ pungkasnya. Red/HS
***