Putraindonews.com – Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasto Wardoyo mengungkapkan bahwa jumlah keluarga berisiko stunting di tahun 2023 sudah berkurang, meski penurunan prevalensi stunting masih belum sesuai harapan.
“Meski penurunan angka stunting belum sesuai dengan yang kita harapkan, tetapi keluarga berisiko stunting mengalami penurunan yang signifikan. Jadi, keluarga yang tidak punya air bersih, jambannya tidak standar, rumah kumuh mengalami penurunan yang signifikan,” kata dr Hasto dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Bangga Kencana dan Percepatan Penurunan Stunting tahun 2024 di Jakarta, Kamis (25/4/24).
Berdasarkan pemutakhiran pendataan keluarga (PK) tahun 2023, jumlah keluarga berisiko stunting adalah 11.896.367 keluarga, menurun dari tahun 2022 sebanyak 13.123.418 keluarga.
Hasto menegaskan bahwa BKKBN memiliki tugas penting untuk menciptakan keluarga yang berkualitas, karena keluarga adalah fondasi utama pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas.
“Di tahun 2024, kita harus bergerak lebih cepat, maka ada program Sidak, di mana kita akan melakukan seleksi, dampingi dan beraksi. Tim pendamping keluarga di lapangan akan siap mendampingi keluarga berisiko stunting,” katanya.
Hasto juga menyinggung soal keluarga berkualitas, di mana BKKBN menggunakan ukuran kualitas indeks pembangunan keluarga (iBangga).
Indeks pembangunan keluarga secara nasional berdasarkan angka yang ditunjukkan oleh BKKBN, berasal dari indeks ketenteraman (nilanya 59,44), kemandirian (53,58), dan kebahagiaan (71,26). Namun, jika dilihat berdasarkan provinsi, ketiga indeks tersebut bervariasi antar satu provinsi dengan provinsi lainnya.
“Di beberapa daerah, walaupun belum mandiri secara ekonomi, tetapi bahagia juga banyak, seperti Aceh dan Kalimantan Utara, meskipun masif sebagian miskin, tetapi kebahagiannya tinggi,” katanya.
Ia juga mengingatkan terkait peningkatan kualitas sumber daya manusia yang mesti terus dilakukan apabila ingin mencapai bonus demografi, mengingat persentase populasi menua atau aging population yang terus terjadi.
“Aging population akan otomatis terjadi karena angka harapan hidup penduduk Indonesia meningkat. Yang pasti, tidak ada program pemerintah untuk mengurangi populasi lanjut usia -lansia-, kecuali pengendalian kelahiran bayi melalui kontrasepsi,” katanya.
Karena itu, Hasto menegaskan meski angka keluarga berisiko stunting menurun, masyarakat mesti tetap memperhatikan fenomena populasi menua tersebut.
“Kita harus berhati-hati menghadapi aging population, di mana generasi sandwich -orang dewasa yang harus menanggung hidup tiga generasi, yaitu orang tuanya, diri sendiri, dan anaknya- harus menanggung beban. Kalau generasi sandwich tidak berkualitas, memang cukup berat bagi bangsa ini untuk maju,” katanya. Red/HS