Putraindonews.com – Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf mengatakan, mahalnya biaya kuliah di Indonesia membuat banyak calon mahasiswa terpaksa mengurungkan niat melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Bahkan biaya awal untuk menempuh pendidikan, seperti di kedokteran disebut-sebut setara dengan harga mobil kelas premium terbaru.
“Saya sudah dapat datanya. Masya Allah, itu biaya institusinya bisa beli Alphard satu, hanya untuk membayar biaya gedung. Itu belum Uang Kuliah Tunggal (UKT)-nya, mungkin ratusan juta,” ujar Dede dalam rapat dengan Panitia Kerja (Panja) Pembiayaan Pendidikan bersama Kemendikbudristek dan Kemendagri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (19/6/2024).
Dede menegaskan, mahalnya biaya pendidikan di fakultas kedokteran merupakan persoalan penting yang harus diselesaikan. Menteri Kesehatan (Menkes), ungkap dia, sering mengatakan Indonesia kekurangan dokter, tapi biaya untuk menjadikan anak-anak bangsa sebagai dokter sangat mahal.
“Ini dilematis,” cetus Dede seraya menambahkan bahwa mahalnya biaya pendidikan merupakan salah satu masalah yang tidak kunjung selesai.
Masyarakat, sambung Kang Dede demikian mantan Wakil Gubernur Jawa Barat (Jabar) itu, terus mempertanyakan komitmen pemerintah untuk mengalokasikan 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke sektor pendidikan.
“Kami meminta Kemendikbudristek membedah prioritas anggaran terkait masalah pembiayaan pendidikan tinggi. Kami berharap, biaya pendidikan tinggi tidak membebani peserta didik dan orang tuanya,” tandas Angota Legislatif dari Partai Demokrat tersebut.
Menanggapi itu, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Abdul Haris mengatakan bahwa pada 2025 kebutuhan pembiayaan pendidikan oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akan meningkat, dan ada kekurangan dana sebesar Rp 41 triliun.
Anggaran Kemendikbudristek pada 2025 dikurangi, sementara biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) batal dinaikkan. Pagu indikatif Kementerian Pendidikan tahun depan ditetapkan sebesar Rp83,2 Triliun, turun dibandingkan pagu berjalan 2024 sebesar Rp101,3 Triliun.
“Dengan penurunan anggaran dan kenaikan biaya, dana operasional PTN di APBN 2025 hanya sekitar 16 persen dari sebelumnya 31 persen. Jadi, kami mendorong PTN memberikan strategi pembiayaan yang terbaik,” ujarnya.
Abdul Haris memaparkan bahwa tahun ini biaya operasional yang dibutuhkan PTN sebesar Rp37,3 Triliun. Sementara anggaran untuk PTN dari pagu indikatif APBN 2024 hanya Rp6,6 Triliun. Dana dari UKT, tuition fee, dan pendapatan lain hanya Rp16,2 Triliun, sehingga masih terdapat kekurangan Rp21,1 Triliun.
“Tahun depan, biaya operasional diperkirakan membengkak dengan penambahan sekitar 2 juta mahasiswa, dibutuhkan dana Rp56,7 Triliun. Penerimaan dari UKT dan biaya lain tidak bertambah, sementara pagu dikurangi,” jelasnya. Red/HS