Kapolda Sulselbar, Irjen Pol Pudji Hartanto Iskandar dan Buku “Kenapa Makassar?”

Oleh: Rusdin Tompo

“Lagi tunggu siapa?”

“Saya diminta Pak Kapolda untuk ke sini, Pak.”
“Siapa namamu?”
“Rusdin Tompo.”

Lelaki dengan pangkat 2 bunga melati emas di pundaknya itu, seketika melihat layar smartphone-nya. Sepertinya, ia memeriksa catatannya, dan tidak menemukan nama saya di sana. Kepada saya, lelaki berseragam coklat itu menegaskan bahwa semua agenda Kapolda Sulselbar, pasti dia tahu.

Dengan sopan saya sampaikan, bahwa yang meminta saya ke Mapolda, adalah AKBP Adex Yudiswan, Kapolres Luwu. Untuk urusan apa, saya belum tahu persis. Namun, sepertinya untuk penulisan buku.

“Bang, ini ada orang, namanya Rusdin Tompo, katanya disuruh Kapolda datang menghadap ya?”

Lelaki di depanku ini mengetik pesan di smartphone sambil mengejanya. Sehingga saya tahu apa yang dikomunikasikannya. Tampaknya dia mengkonfirmasi keberadaan saya kepada Adex Yudiswan. Karena setelah itu, dia mempersilakan saya menunggu. Kapolda masih ada kegiatan.

Ini peristiwa tahun 2016. Dialog yang saya tulis sebagai pembuka cerita, terjadi antara saya dengan AKBP Pria Budi, Koorspripim Polda Sulselbar, kala itu. AKBP Pria Budi antara lain, pernah jadi Kapolres Parepare dan Kapolresta Pekanbaru.

Saya berada di ruang tunggu Kapolda Sulselbar, saat itu, hampir 3 jam. Saya diminta datang pukul 10.00, tapi satu jam sebelumnya saya sudah ada di situ. Satu cangkir kopi susu yang disuguhi sudah tandas, plus dua macam minuman kemasan sudah saya habiskan. Di ruang tunggu ini memang terdapat showcase yang boleh diambil sendiri (self service).

Menjelang pukul 12.00, Irjen Pol Drs Pudji Hartanto Iskandar, MM, Kapolda Sulselbar (masih begitu penyebutannya), berjalan menuju ruangannya. Begitu saya melihat beliau, saya langsung berdiri, dan oleh AKBP Pria Budi, saya diminta menyusul beliau. Masih di depan pintu, saya sudah disapa duluan.

“Pak Tompo sudah lama menunggu? Maaf ya, ada tamu dari Komnas HAM dan KPK,” terang Kapolda, yang menyebut nama saya dengan Pak Tompo hehehe.

Saya dipersilakan duduk. Ada Polwan yang terlihat masuk membawa dokumen. Pak Kapolda menyampaikan, bahwa beliau membaca tulisan saya di harian Fajar. Temannya menyampaikan bahwa ada opini bagus di koran tapi nanti di rumahnya baru beliau sempat membacanya.

Beliau tahu nama saya, karena sebelumnya saya membuat surat permohonan memberikan kata sambutan untuk buku “4, 5, 6: Spiritualitas Pengabdian Adex Yudiswan”. Buku ini berkisah tentang pencarian pesawat Aviastar yang hilang kontak dalam penerbangan Masamba ke Makassar, 2 Oktober 2015. Personel Polres Luwu dan warga akhirnya menemukan bangkai pesawat dan semua korban yang sudah jadi abu di Gunung Bajaja, Desa Ulusallu, Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu, pada 5 Oktober 2015.

Beliau lalu menyampaikan akan membuat buku dan visi misi. Diungkapkan, pernah ada seorang wartawan yang buatkan buku, tapi tidak sesuai harapannya. Namun, sebelum bikin buku, beliau meminta saya membantu merapikan dan memperkaya visi-misinya. Rupanya, dokumen yang tadi dibawa Polwan, merupakan konsep visi misi yang akan saya rapikan. Sebab, dalam waktu dekat beliau akan mengikuti fit and propert tes calon Dirjen Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan, di DPR RI, Senayan, Jakarta.

BACA JUGA :   Tegakan Aturan Lalu Lintas, Publik Dukung Ditlantas PMJ Menindak Plat Nomor Sakti Yang Melanggar

Saya diberi gambaran dan penjelasan apa yang menjadi visi-misinya. Saya lebih banyak menyimak, sambil sesekali melihat tangan beliau membuat catatan-catatan pada kertas di depannya. Beliau mewanti-wanti saya, jangan membocorkan informasi bahwa beliau akan maju ikut uji kepatutan dan kelayakan sebagai calon Dirjen.

“Kalau saya tidak lulus, nanti bisa jadi headline di koran. Bisa-bisa judulnya, Kapolda Sulselbar gagal jadi Dirjen hehehe,” terang Kapolda dengan gaya bercanda.

Pesan itu saya pegang. Setelah mendapat penjelasan lengkap, saya pamit dan langsung menuju Gramedia Mal Panakkukang. Saya butuh referensi. Di toko buku itu, saya membeli 3 judul buku yang berkaitan dengan kajian sosiologi jalan raya, sejarah jalan raya pos Anyer-Panarukan yang dibangun Daendels, dan salah satu buku karya Ignasius Jonan.

Selang dua hari, saya dihubungi AKBP Pria Budi, menanyakan perkembangan visi misi Kapolda. Kepada beliau saya sampaikan, masih membaca buku-buku yang relevan. Saya masih mengkaji, belum merumuskannya dalam visi misi. Sekira empat hari, baru visi misi itu saya rampungkan, yang dikirim melalui e-mail.

Tak sampai sebulan, ada telepon masuk dari Polda. Kali ini, yang menghubungi saya Polwan, salah seorang Sespripim. Ketika bertemu kembali dengan Kapolda Pudji Hartanto, beliau menyampaikan terima kasih atas bantuan saya. Beliau bersyukur karena lulus dalam uji kepatutan dan kelayakan sebagai Dirjen Perhubungan Darat.

Beliau memperlihatkan aneka produk turunan dari visi misinya. Saya kagum dan tak menyangka, kalau beliau begitu kreatif. Visi misi itu diterjemahkan dalam bentuk stiker, brosur, notebook, pulpen, hiasan kulkas, dan pin yang bertuliskan “Insya Allah Bersama Kita BISA”. BISA ini singkatan dari briliant, inovative, speed, dan accountable. Cara ini membuat visi misinya lebih mudah tersosialisasikan.

Hari itu juga beliau memberikan honor kepada saya, yang sudah membantunya mengemas visi misinya sebagai calon Dirjen. Honor itu ditaruh dalam amplop khusus warna coklat silver dengan gambar 2 bintang di depannya. Amplop dari jenderal bintang 2 itu masih saya simpan sebagai kenang-kenangan.

Setelah urusan visi misi selesai, beliau melanjutkan dengan rencana pembuatan buku. Beliau sendiri yang memberi judul: “Kenapa Makassar?” Menurut beliau, buku ini perlu karena akan memberi gambaran mengapa berita tentang Makassar di stasiun televisi nasional lebih dominan tentang aksi-aksi demonstrasi, terutama dilakukan mahasiswa. Padahal, ada banyak aspek menarik dari daerah ini yang patut diangkat.

Ide beliau ini sejalan dengan apa yang selalu dilontarkan secara kritis oleh banyak orang di Makassar. Pemberitaan yang dominan meliput demonstrasi, bentrok, dan rusuh, hanya akan meninggalkan stigma dan tentu tidak menguntungkan Makassar dalam banyak aspek. Ketika saya masih di KPID Sulawesi Selatan, model liputan dan pemberitaan TV-TV Jakarta seperti itu selalu jadi sasaran kritik.

Menarik dari Irjen Pol Pudji Hartanto Iskandar, Kapolda Sulselbar yang menjabat sejak September 2015 sampai April 2016, karena beliau bukan saja seorang yang paham soal tugas dan fungsi kepolisian tapi juga menggunakan pendekatan marketing dalam membangun citra Polri. Konsep dan strategi programnya banyak bertalian dengan gagasan-gagasan Hermawan Kertajaya. Beruntung, saya sudah membaca buku-buku Seri 9 Elemen Marketing, antara lain yang membahas Positioning, Segmentation, Differentiation, Brand, dan Targeting.

BACA JUGA :   Wali Kota Surakarta Pengganti Gibran Diharapkan Mampu Bangun Kota

Jadi boleh dikata, kami satu frekuensi yang ikut mempermudah pengerjaan bukunya. Itu mungkin karena S2 beliau adalah Magister Manajemen. Saya juga bisa masuk ke kerja-kerja kepolisian, terutama aspek penegakan hukumnya (fungsi represif) karena saya berlatar Sarjana Hukum. Sementara fungsi preemtif dan preventif, bisa saya pahami bermodalkan aktivitas saya di dunia LSM. Kalau terkait citra yang hendak diubah Kapolda, ya sangat berhubungan dengan pekerjaan saya dulu sebagai jurnalis dan broadcaster.

Buku “Kenapa Makassar?” dikerjakan lebih sebulan. Draf terakhir buku itu saya bawa langsung ke Irjen Pol Pudji Hartanto. Selepas Magrib, dan diterima di Rujab Kapolda Sulawesi Selatan, Jl Letjend Andi Mappaodang No 50 Bongaya, Kecamatan Tamalate. Saya meminta izin mengabadikan momen pertemuan hari itu. Anak saya, San Valentino Mahatma Gandhi, yang menemani saya, memotret kami ketika tengah membahas isi buku.

Saya membawa dua dummy buku, satu sampulnya bergambar beliau dalam baju dinas Polri, cover yang satunya bergambar beliau dalam balutan baju adat Sulawesi Selatan. Foto yang jadi sampul itu diambil saat beliau mendapat gelar kehormatan I Mappalewa Karaeng Ruppa dari Kerajaan Marusu. Sampul dengan gambar Irjen Pol Pudji Hartonto mengenakan jas tutup dan songkok guru, yang dipilih sebagai cover buku “Kenapa Makassar?”

Karena pertemuan hari itu merupakan finishing naskah, maka catatan koreksi dibuat di halaman bukunya. Pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 24 Agustus 1951, ini seorang intelektual. Beliau pernah jadi Gubernur Akpol (2014-2015). Sebelumnya, pernah jadi ajudan Wapres Hamzah Haz (2001-2004), juga pernah mengemban tugas sebagai Kakorlantas Polri (2012-2014).

Selesai diskusi dan koreksi naskah, beliau bertanya, berapa biaya operasional pembuatan buku. Saya sebutkan angkanya, langsung beliau beranjak menuju salah satu ruangan dan kembali dengan paperbag bermotif batik. Jangan tanya apa isinya hehehe.

Buku setebal lebih 200an halaman ini diluncurkan dalam acara “Pusparagam Budaya Celebes” di Hotel Four Point by Sheraton, Sabtu, 16 April 2016. Pangdam XIV/Hasanuddin, Letjend TNI Agus Surya Bhakti, Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, rektor perguruan tinggi dan sejumlah tokoh hadir dalam acara yang megah itu. Koreografer acara ini adalah artis Denny Malik, sedangkan pembawa acaranya Choky Sihotang.

Saya terkesan dengan prosesi peluncuran buku ini. Saya memang tidak naik ke panggung. Namun, nama saya disebutkan Kapolda Irjen Pol Pudji Hartanto, saat beliau bercerita ringkas tentang bukunya. Di panggung dengan layar yang lebar dan megah, terpampang sampul buku “Kenapa Makassar?” Setelah itu, sejumlah Polwan muncul membawa buku yang ditaruh di atas nampan lalu serentak mereka berjalan menuju meja-meja bundar dan menyerahkan buku-buku itu kepada tamu-tamu VIP.

Penulis adalah Koordinator SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!