Putraindonews.com, Jakarta – Pengamat kebijakan Publik yang juga Eks Pimpinan LPJK Provinsi, Subhan Syarif memberikan sejumlah catatan terkait implementasi UU Jasa Konstruksi No. 2 Tahun 2017 dan Penguatan Peran Daerah dalam Rangka Meningkatkan Partisipasi Masyarakat.
“Sehubungan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang menggantikan UU Nomor 18 Tahun 1999, kami ingin menyampaikan beberapa catatan penting terkait dampaknya terhadap sektor jasa konstruksi, khususnya di daerah. Berdasarkan hasil kajian dan masukan dari para pelaku industri jasa konstruksi di berbagai wilayah Indonesia, kami merasa perlu untuk menyampaikan rekomendasi demi perbaikan tata kelola sektor ini,” katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (31/10).
Dalam pandangannya ia menilai, ketidakpastian hukum dan penurunan partisipasi daerah sejak diberlakukannya UU No. 2 Tahun 2017, timbul ketidakpastian hukum yang mengakibatkan keresahan di kalangan pelaku jasa konstruksi.
“Tiga gugatan hukum, dua di Mahkamah Konstitusi dan satu di Mahkamah Agung, terkait aturan turunan undang-undang ini, mengindikasikan bahwa beberapa ketentuan dalam UU tersebut tidak sesuai harapan, khususnya terkait dengan partisipasi masyarakat daerah. Sentralisasi kebijakan konstruksi yang diadopsi melalui aturan turunan seperti PP No. 22 Tahun 2020 dan beberapa Permen PUPR memperparah situasi ini dengan mengabaikan kepentingan daerah,” ujarnya.
Pihaknya menambahkan bahwa pembubaran Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Provinsi (LPJKP) yang sebelumnya berperan penting dalam pengembangan kapasitas jasa konstruksi di daerah, mengurangi ruang partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan.
Lanjutnya, pembubaran ini bertentangan dengan amanat Pasal 354 UU Otonomi Daerah, yang menggarisbawahi pentingnya penguatan kelembagaan daerah dalam mendukung pelaksanaan otonomi.
“Dengan dihapusnya LPJKP, ruang partisipasi masyarakat daerah menjadi terpinggirkan, padahal lembaga ini sebelumnya menjadi wadah penting bagi masyarakat konstruksi lokal untuk berkontribusi dalam proses pembangunan,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa sentralisasi berlebihan yang menghambat Otonomi Daerah di mana Kementerian PUPR, sebagai pelaksana UU Jasa Konstruksi, telah mengambil peran yang terlalu besar, baik sebagai regulator, pengawas, maupun pelaksana kebijakan, khususnya terkait sertifikasi profesi dan pengawasan asosiasi.
“Sentralisasi yang berlebihan ini bertentangan dengan prinsip desentralisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 404 ayat (1) UU Otonomi Daerah, yang mengamanatkan bahwa urusan pemerintahan di bidang jasa konstruksi seharusnya menjadi kewenangan bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan ini juga mengaburkan semangat desentralisasi yang seharusnya memberikan daerah otonomi lebih besar dalam mengelola pembangunan dan layanan publiknya,” cetusnya.
Berdasarkan permasalahan tersebut, pohaknya merekomendasikan langkah-langkah berikut untuk meningkatkan efektifitas implementasi UU Jasa Konstruksi sekaligus memperkuat peran daerah dalam sektor jasa konstruksi:
1. Revisi UU No. 2 Tahun 2017 dan Aturan Turunannya. Revisi ini bertujuan untuk memastikan bahwa undang-undang ini selaras dengan Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 22 UU Otonomi Daerah, di mana partisipasi masyarakat harus menjadi elemen yang diwajibkan, bukan hanya opsional. Keterlibatan masyarakat daerah, yang dicantumkan dalam Pasal 3 huruf C UU Jasa Konstruksi, perlu diperjelas agar bersifat wajib dan terintegrasi di seluruh tahap pengembangan jasa konstruksi.
2. Pengembalian dan Penguatan LPJKP. Kami merekomendasikan pengembalian LPJKP atau pembentukan lembaga serupa di tingkat provinsi, sesuai dengan Pasal 354 UU Otonomi Daerah yang menekankan pentingnya kelembagaan di daerah untuk melaksanakan otonomi. Penguatan LPJKP akan memberikan ruang bagi masyarakat konstruksi di daerah untuk berpartisipasi dan mengembangkan keahlian mereka dalam proyek-proyek infrastruktur.
3. Penguatan Prinsip Desentralisasi dalam Kebijakan Konstruksi. Sesuai dengan Pasal 404 ayat (1) UU Otonomi Daerah, pemerintah pusat perlu mendistribusikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam sektor jasa konstruksi. Kementerian PUPR sebaiknya berperan sebagai fasilitator dan pemberi pedoman, bukan sebagai pengendali tunggal. Hal ini penting untuk memastikan bahwa otonomi daerah tetap terjaga, dan pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan proyek-proyek pembangunan di wilayah mereka.
Dengan penerapan rekomendasi ini, kami berharap sektor jasa konstruksi di Indonesia akan menjadi lebih partisipatif, transparan, dan sejalan dengan semangat otonomi daerah. Kami juga berharap bahwa perubahan ini akan mendorong pembangunan infrastruktur yang lebih merata dan berkualitas di seluruh daerah Indonesia.
Demikian surat rekomendasi ini kami sampaikan. Besar harapan kami agar rekomendasi ini dapat menjadi bahan pertimbangan Bapak/Ibu Menteri dalam pengambilan kebijakan di masa mendatang. Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya. Red/HS