JAKARTA | Â Komisi Yudisial Pasca Ketua Mahkamah Agung (MA) M. Hatta Ali menyampaikan Laporan MA Tahun 2017 dan menegaskan pentingnya aparat pengadilan untuk menjaga integritas, wibawa MA kembali tercoreng. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap hakim dan panitera pengganti di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Senin (13/3) kemarin.
Praktik suap, gratifikasi dan jual beli perkara di pengadilan menjadi perhatian publik karena OTT KPK. Namun, praktik tersebut juga telah lama menjadi perhatian KY. Sekadar catatan, sejak sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) digelar oleh Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) pertama kali di tahun 2009, kasus suap dan gratifikasi cukup mendominasi hingga sekarang. Bahkan, perkara ini juga selalu menghiasi sidang MKH pada setiap tahunnya. Dari 49 sidang MKH yang telah dilaksanakan, ada sebanyak 22 laporan adalah kasus suap dan gratifikasi.
Citra lembaga peradilan dan kepercayaan publik terhadap kekuasaan kehakiman sangat ditentukan oleh integritas pribadi, kapasitas, dan perilaku hakim dalam menjalankan tugasnya. Integritas yang seharusnya menjadi harga mati bagi hakim justru tercoreng dengan terulangnya kembali OTT terhadap hakim. Keprihatinan sudah selayaknya disampaikan, tetapi yang paling penting langkah pembersihan, pembenahan, serta pembinaan agar hal ini tak kembali merusak citra dunia peradilan.
KY paham, MA telah berupaya tegas untuk melakukan pembinaan dengan mengeluarkan maklumat yang ditandatangani Ketua MA. Pembinaan itu juga perlu diimbangi dengan menampilkan kemuliaan profesi dari pimpinan pengadilan sehingga menjadi role model atau teladan bawahannya.
Sebagai langkah pencegahan, KY sendiri telah bersinergi dengan pimpinan pengadilan untuk berkomitmen bersama dalam memegang teguh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). KY terus mengajak pimpinan pengadilan untuk senantiasa mengingatkan para hakim di bawahnya untuk menjauhkan diri dari potensi pelanggaran KEPPH.
Terkait pengawasan, pemberian sanksi penting ditegakkan. Sebagai lembaga pengawas eksternal, KY menjatuhkan rekomendasi kepada hakim yang melanggar KEPPH. Sepanjang tahun 2017, KY merekomendasikan penjatuhan sanksi kepada 58 orang hakim yang dinyatakan terbukti melanggar KEPPH. Namun, sebagai mitra, rekomendasi KY tersebut sayangnya seringkali diabaikan oleh MA dengan berbagai alasan.
Mari bersikap bahwa pemberian sanksi adalah bagian pendidikan etika sejak dini dan berkelanjutan bagi hakim yang melanggar KEPPH. Tidak ada alasan bagi MA untuk mengabaikan rekomendasi KY. Pengabaian rekomendasi justru akhirnya akan menimbulkan persepsi publik bila MA memegang teguh esprit de corps untuk menutupi bahkan melindungi hakim yang melanggar kode etik.
Sebaliknya, KY berharap semangat ini hendaknya hanya diarahkan ke hal-hal positif yang dapat mengembalikan kepercayaan publik. Oleh karena itu, KY menagih janji MA untuk menjaga integritas lembaga dengan berkomitmen menindaklanjuti rekomendasi sanksi yang diberikan KY ujar Farid Wajdi
Seringkali dalih teknis yudisial seolah menjadi cara untuk menghindar dari sanksi etika. Jangan pernah menganggap remeh terhadap aspek etika. Melalui momentum ini KY kembali menegaskan, sebuah itikad pembersihan dan pembenahan saja tidak cukup, masih diperlukan usaha kuat untuk meraih kembali kepercayaan publik dan memulihkan keagungan lembaga peradilan. Pungkas Farid Wajdi. (**)