PUTRAINDONEWS.COM
JAKARTA | Ditetapkannya 38 anggota dan mantan anggota DPRD Sumatera Utara sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah jadi sorotan publik. Bahkan ramai diberitakan. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo menjadi salah satu narasumber yang diburu para wartawan untuk dimintai tanggapannya.
Seperti saat Menteri Tjahjo selesai menghadiri rapat terbatas soal KTP el di Istana Negara. Begitu keluar, orang nomor satu di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu langsung dirubung para wartawan. Banyak yang kemudian menanyakan kasus 38 anggota dan mantan anggota DPRD Sumut yang jadi tersangka.
Tjahjo sendiri menjawab, bahwa kasus yang sekarang melilit puluhan anggota dan mantan legislator Sumut, sebenarnya kasus lama. Proses penyidikannya sudah dilakukan cukup lama. Kasus ini, hasil dari pengembangan kasus Gubernur Sumut.
“Ya pandangan saya sebagai bagian daripada Kemendagri, karena apapun DPRD merupakan satu kesatuan dengan Pemda, kami merasa sedih dan merasa prihatin. Disatu sisi ini juga harus menjadi perhatian dan kesadaran seluruh teman-teman anggota DPRD, baik provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota, ” katanya, di Jakarta, Rabu (4/4).
Tjahjo berharap, kasus 38 anggota dewan Sumut itu jadi pelajaran berharga bagi semuanya. Terutama menjadi bahan evaluasi bagi yang terlibat dalam perencanaan anggaran. Jangan lagi, ada main-main dan kongkalingkong. Semua bekerja harus sesuai aturan. Dan paham area rawan korupsi. Sebab salah satu area rawan korupsi itu, menyangkut perencanaan anggaran.
“Saya kira sudah pada tempatnya untuk tidak dibargaining dengan ‘kongkalingkong’. Apalagi yang berkaitan dengan anggaran daerah. Kasus Sumut walaupun itu pemberian dari seorang Gubernur pasti itu menggunakan anggaran APBD. Karena apapun perencanaan anggaran, dana hibah bansos, retribusi pajak, mekanisme jual beli barang dan jasa itu adalah area rawan korupsi yang harus diperhatikan,” tutur Tjahjo.
Meski begitu, kata dia, karena 38 anggota dan mantan anggota DPRD Sumut itu masih berstatus tersangka, asas praduga tidak bersalah harus dikedepankan, sampai ada keputusan hukum yang bersifat tetap dari pengadilan. Dan, bagi anggota DPRD yang sudah jadi tersangka, tapi masih bisa aktif, misalnya untuk menghadiri sidang di DPRD, Tjahjo mempersilakan aktif seperti biasanya. Sebab, jika tak ada yang aktif, tugas parlemen di daerah bisa terganggu.
“Ada usulan bahwa secepatnya anggota DPRD yang tersangka KPK yang sudah mencukupi dua alat bukti yang kuat, harus mundur supaya tidak mengganggu jalannya proses di dewan, satu sisi saya sebagai Mendagri ya enggak mungkin karena apapun tetap menggunakan asas praduga tidak bersalah. Nanti untuk menarik adalah parpol karna kewenangan menarik sebelum mempunyai kekuatan hukum tetap atau meninggal dunia atau berhalangan tetap harus ada pada parpol,” urai Tjahjo.
Maka, jika kemudian partai akan melakukan pergantian antar waktu (PAW) maka, kata dia, sah-sah saja. Tapi sebagai Mendagri, ia tidak bisa mengambil sikap menyarankan, karena memang belum ada putusan hukum tetap dari pengadilan. Kecuali bersangkutan mundur sendiri atau yang bersangkutan sudah mendapat putusan dari pengadilan.
“Saya kira ini pengalaman di Malang, Sumut dan banyak kepala daerah kita termasuk SKPD harus jadi pelajaran. Saya selalu mudah-mudahan ini yang terakhir. Tapi yang terakhir terus. Berarti kan tidak mau mengerti dan memahami area rawan korupsi. Saya minta bukan hanya pada semua kepala daerah dan jajarannya sampai kepala desa atau DPRD termasuk buat saya sendiri dan teman-teman di Kemendagri dan BNPP juga harus hati-hati terhadap area rawan korupsi,” kata Tjahjo panjang lebar.
Sekarang lanjut Tjahjo, Kemendagri dan KPK telah keliling melakukan supervisi. Dan ini sudah berjalan misal di Sumut. Nanti dilanjutkan ke daerah lain.
“Besok saya akan hadir di Lampung dengan Ketua KPK mengingatkan kembali bahwa e-planning juga harus diterapkan. Mengingatkan kembali harus mengikuti aturan yang berkaitan dengan perencanaan anggaran dan penggunaan anggaran, yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa. Mekanisme tender, mekanisme penunjukan apapun harus sesuai aturan UU yang ada,” ujarnya.
Anggota dewan itu kata Tjahjo, punya hak dan fungsi pengawasan. Anggota dewan bisa melakukan interplasi dan juga mempunyai hak budge dan hak angket. Tapi jangan sampai menggunakan hak-hak itu sebagai alat gertakan untuk melakukan bargaining yang kemudian berujung pada konsesi atau imbalan. Jika seperti itu, jelas salah.
“Mengajukan hak angket tetapi diberi imbalan lalu batal, ini kan juga mencederai lembaga dewannya. Gunakan hak- hak itu sesuai aturan. Soal ada anggota dewan yang memang tidak menerima itu mungkin kepekaan anggota dewan. Harusnya punya kepekaan, ini enggak mau nerima. Toh sudah kita tingkatkan anggaran dan pendapatan anggota dewan lewat PP yang ada. Kalau melihat ke atas enggak akan mungkin cukup kan harusnya lihat ya kebawah masih ada warga masyarakat yang berpenghasilan kurang dan sebagainya,” kata Tjahjo. (**)