Permudah Izin dan Investasi, Menkominfo Pertimbangkan Revisi Aturan Penyiaran

IMG-20180402-WA0029

PUTRAINDONEWS.COM

PALU | Kominfo, Kementerian Komunikasi dan Informatika berupaya mendukung pengembangan kebijakan penyiaran di Indonesia agar industri penyiaran lebih sehat dan berkualitas. Hal itu kembali ditegaskan Menteri Kominfo Rudiantara dalam Seminar Utama dalam Rapat Koordinasi Nasional Tahun 2018 Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Palu, Sulawesi Tengah, Senin (02/04/2018). Oleh karena itu, ia menekankan agar pemerintah dan KPI kembali ke khittahnya, termasuk soal perizinan penyiaran yang saat ini jauh lebih berkembang sebagai industri konten.

“Kembali ke khittah pemerintah apa? Dan KPI apa? Catatan kami saat ini sudah ada 2.637 izin lembaga penyiaran yang beroperasi. Televisi sekitar 1.100 dan radio sekitar 1.600. Itu semua termasuk LPS, TVRI, RRI dan LPK. Kalau KPI fokusnya di pengawasan konten, karena penyiaran itu industri konten,” katanya dalam pengantar diskusi seminar yang digelar oleh KPI Pusat itu.

Menteri Kominfo menyebutkan saat ini lembaga yang dipimpinnya tengah melakukan kajian soal mempermudah perizinan penyiaran. “Tidak hanya melalui online, kalau perlu dikaji izin tak harus melalui frekuensi, kenapa harus melalui Kominfo, jika KPI bisa. Hal yang diributkan soal multipleksing, padahal penyiaran itu industri konten. Dan yang membuat Indonesia maju bukan frekuensi, tapi konten. Kenapa kok tidak KPI saja yang memberikan izin?,” ungkapnya sembari menyebut hal itu tentu membutuhkan kajian dan landasan hukum yang disepakati Pemerintah dan DPR RI.

Mengutip arahan Presiden Joko Widodo yang selalu menyatakan agar pemerintah mempermudah izin, Menteri Kominfo menegaskan alternatif perizinan di lembaga penyiaran sebagai industri konten. “Presiden selalu ungkapkan Permudah izin, Kenapa dipersulit? Ini yang saya sedang saya pertimbangkan untuk berikan. Kalau PP (Peraturan Pemerintah berkaitan dengan penyiaran, red.) dilihat dulu nanti apa bisa? Kalau cukup Permen ya saya yang buat. Kalau bisa (lembaga) yang memberikan izin bertanggung jawab pula atas pengawasan konten,” jelasnya.

Menteri Rudiantara mengungkap adanya desakan Komisi I DPR RI agar Kementerian Kominfo meningkatkan kontribusi dari sektor penyiaran. “Kalau dari soal frekuensi, Tahun 2017 ada PNBP lebih dari Rp20 Triliun dari Sektor Kominfo. Untuk penyiaran memberikan kontribusi sekitar Rp102 Miliar, itu sekitar 0,5 persen. Dengan rincian Rp92 Miliar dari TV dan Rp10 Miliar dari radio,” ungkapnya seraya menyatakan jika izin penyiaran dikelola KPI pun tidak masalah asalkan sudah ada koordinasi dengan lembaga legislasi lainnya, terutama DPR RI.

Revisi UU Penyiaran
Mengenai Revisi atas Undang-Undang No 32/2002 tentang Penyiaran, Menteri Kominfo menegaskan perhatian pemerintah bukan semata pada aspek teknis multipleksing saja. “Tapi concern pemerintah adalah dampak lanjutan dari penataan penyiaran di Indonesia. Mengutip hasil kajian, ada peluang 100 ribu aktivitas bisnis, ada potensi penambahan 230 ribu lapangan pekerjaan jika kebijakan Analog Switch Off (ASO) dalam dunia penyiaran dilakukan pada tahun 2020. Ini present value yang bisa didapat Indonesia sekira Rp 5,5 T bahkan ada Rp 70 Triliun PNPB ke pemerintah. Belum lagi future value dalam 7 tahun ke depan bisa mencapai USD 39,9 M kontribusi ke GDP Indonesia,” jelasnya.

Bahkan Menteri Rudiantara mengakui didesak negara tetangga untuk segera menyelesaikan ASO. “Malaysia dan Filipina meminta segera Indonesia bergerak, karena mereka tidak bisa melakukan ASO kalau Indonesia belum,” ungkapnya.

Menteri Kominfo menegaskan saat ini pemerintah selalu berupaya mengedepankan kebijakan afirmatif. “Sesuai Nawa Cita Presiden dan Wakil Presiden saat ini kita membangun dari pinggiran. Kominfo itu punya affirmative policy, bagaimana membangun lembaga penyiaran yang ada di kawasan perbatasan,” ungkapnya.

Keberpihakan itu, dalam pandangan Menteri Rudiantara layak dipertimbangkan sebagai isu yang diangkat dalam Revisi UU Penyiaran. “Saya mengusulkan agar ada model USO (Universal Service Obligation). Kalau penyiaran yang konsep dibicarakan, adanya USO untuk mendukung daerah pinggiran. Kalau tidak siapa yang mau bangun? Nanti itu kita masukkan dalam revisi UU Penyiaran termasuk status KPI dan KPID,” ungkapnya.

Seminar Nasional bertema “Menjaga Keutuhan NKRI Melalui Dunia Penyiaran yang Sehat dan Berkualitas”. Seminar itu menghadirkan narasumber Menteri Kominfo Rudiantara, Kepala Staf Presiden Moeldoko, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Asril Hamzah Tanjung, dan Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie. Acara itu dipandu Frisca Clarisa dari Kompas TV.

Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie menilai revisi atas UU 32/2002 tentang Penyiaran sudah layak untuk dilakukan. “Itu sudah enam belas tahun, UU 32/2002 lahirnya penuh dengan kontroversi. Ini merupakan salah satu UU yang tidak diteken oleh Presiden waktu itu. Salah satu kelemahan UU itu adalah penyebutan aturan soal Peraturan Pemerintah yang menyertakan KPI sebagai lembaga independen,” katanya.

Prof. Jimly menilai ada tiga hal yang perlu dikendalikan negara yaitu pasar, politik dan media. “Ketiga hal itu sudah bergerak ke arah pasar bebas. Oleh karena itu perlu dikendalikan. Makanya di pasar atau bisnis ada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), di politik ada Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu, sementara kalau media ya KPI ini,” jelasnya menegaskan posisi penting KPI dalam pengelolaan tata negara.

Dalam pandangan Jimly Asshidiqie, jika melihat kepentingan jangka panjang, keberadaan keempat kuasi pengatur itu harus diperkuat. “Harus diperkuat dan mesti setara. Kalau punya fungsi regulatory ya harus diatur, atau fungsi kuasi ajudikasi agar pemerintah tidak perlu bikin repot. Koordinasinya (KPI) dengan pemerintah, mereka independen utuk mengontrol industri,” katanya

BACA JUGA :   PT LENSA BABEL Bantah Minta Rp 2 M Kepada PT SBL

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!