Putraindonews.com – Makassar | Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena Provinsi Sulawesi Selatan Rusdin Tompo menyebut Indonesia butuh ruang terbuka hijau.
“Kita sangat minim ruang terbuka hijau terpadu yang ramah anak, apalagi yang inklusi,” katanya di Makassar, Minggu (16/7).
Penulis buku dan pegiat literasi itu diminta sebagai pembicara pertama dalam acara bincang buku “Tata Ruang dan Problem-Problem Planologis” karya Mohammad Muttaqin Azikin, seorang penulis buku dan pemerhati tata ruang. Acara ini diadakan di Ma’REFAT Institut, Lanraki, Kelurahan Berua, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar.
Disampaikan, masalah tata ruang bukan cuma soal teknik, tapi butuh perspekrif yang bisa mengakomodasi kepentingan berbagai pihak. Dari tata ruang itu kita bisa melihat penataan yang demokratis dan berkeadilan, tidak diskriminatif.
Bahkan, kata pegiat Sekolah Ramah Anak itu, persoalan pendaftaran peserta didik baru (PPDB) yang memberlakukan sistem zonasi, juga punya kaitan dengan tata ruang ini. Dia mencontohkan, ada kawasan yang lengkap, mulai SD, SMP, dan SMA terdapat di situ. Namun, ada yang hanya terdapat SD, untuk SMP jauh dari zonasinya.
Rusdin Tompo memuji Mohammad Muttaqin Azikin, yang menjadikan aktivitas menulis sebagai strategi eduksi dan advokasi. Penulis buku ini dinilai fokus memainkan isu yang jadi minat dan kepeduliannya. Namun, sebagai penulis, bukan hanya butuh referensi tapi juga energi untuk merespons isu-isu aktual di masyarakat.
“Penulis itu perlu berjejaring dan memanfaatkan media untuk mengartikulasikan gagasan-gagasannya,” imbuh Rusdin Tompo.
Kegiatan di Ma’REFAT Institut ini merupakan Diskusi Spesifik Akhir Pekan (Di-Fikir-Kan#5). Selain Rusdin, pembincang buku lainnya adalah Andi Manarangga Amir, aktivis NGO dan Direktur Utama Ma’REFAT Institut, serta Mohammad Muttaqin Azikin, sebagai penulis. Acara dipandu oleh Arifin, S.AP., M.AP, seorang ASN di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Takalar.
Andi Manarangga Amir menganggap bahwa persoalan ketata-ruangan dari sisi keilmuan merupakan aspek yang kompleks. Karena bertalian dengan lingkungan, sosial, budaya, politik, dan berbagai aspek lainnya. Dari sisi pendekatan maka perlu dilakukan secara partisopatoris.
“Dalam dunia pemberdayaan memutlakkan pendekatan partisipatoris ini,” tegas Andi Manarangga Amir, yang berpengalaman sebagai fasilitator dan konsultan.
Disampaikan, dasar hukumnya bisa dilihat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. UU ini tak hanya mengatur aspek teknokratis tapi juga menekankan pentingnya partisipatoris.
Andi Manarangga Amir mengeritik dokumen perencanaan, yang terkesan masih menjadi milik elit. Padahal, menurutnya, mesti jadi milik publik. Pada sisi lain, orang biasanya baru mulai mempersoalan tata ruang, kalau ada dampaknya.
“Padahal penting transparansi perencanaan dan perencanaan yang bersifat inklusi. Karena gap yang terjadi sekarang, itu karena minimnya keterlibatan pihak-pihak terkait,” paparnya.
Buku “Tata Ruang dan Problem-Problem Planologis” merupakan buku ketiga dari Mohammad Muttaqin Azikin. Sebelumnya dia menerbitkan buku “Menjadi seorang PLANOLOG (Planner yang Ideolog)” dan “Narasi Sederhana Sang Pembelajar: Jelajah Diri Memahami Fenomena Sosial Keagamaan”
Muttaqin menyampaikan proses kreatif penulisan bukunya. Dia perlu menulis dan meletakkan falsafah penataan ruang sebagai kerangka pikir di bagian pertama, karena itulah cantolan nilai yang perlu dipedomani seorang planolog. Sedangkan bagian kedua dari bukunya, banyak memotret fenomenologi yang terjadi dalam kehidupan, khususnya yang berkaitan dengan tata ruang.
“Bicara tata ruang, maka kita akan membahas mulai dari perencanaan, pemanfaatan, hingga pengendalian,” terang penulis yang menyebut dirinya seorang planolog itu.
Ungkapan planolog ini maksudnya, dia seorang planolog yang ideologis. Karena dia menulis sebagai panggilan dan kepedulian untuk melakukan perubahan. Ditegaskan, perlunya penataan ruang yang melibatkan publik, yang dilakukan secara kolaboratif. Karena tata ruang itu sendiri merupakan transdisiplin, yang mestinya terbuka dari berbagai sudut pandang.
Sebagai planolog-pembelajar, Muttaqin dalam bukunya menawarkan penggunaan sistem nilai dan falsafah yang hidup di masyarakat dalam seluruh proses, tahapan dan kebijakan pembangunan. Sistem nilai dan falsafah itu adalah Pancasila dan nilai-nilai agama.
“Jika ilmu planologi dan perencanaan tata ruang terpisah dari struktur dan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya, maka ia telah kehilangan sentuhan manusiawinya,” pungkasnya. Red/Umar