Putraindonews.com – Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menyarankan kepada DPR RI agar sebaiknya membatalkan pasal terkait skema Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) atau power wheeling. Alasannya, power wheeling akan menggerus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Skema power heeling masuk ditengah-tengah pembahasan dan menjelang disahkannya Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) sangat jelas akan membawa banyak mudharat (keburukan),” kata Fahmy dalam Forum Legislasi bertajuk ‘Urgensi RUU Energi Baru Terbarukan untuk Mempercepat Transisi Energi’, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (10/9/2024).
Fahmy menjelaskan, pasal mengenai skema power wheeling sebenarnya pada awal 2023, namun dimunculkan lagi 3 bulan ketika RUU EBET sudah dalam tahap perumusan dan sinkronisasi.
Power wheeling, terang Fahmy merupakan mekanisme yang mengizinkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik EBET sekaligus menjual secara langsung kepada konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN. Harga sewa penggunaan jaringan transmisi dan distribusi ditentukan oleh pemerintah.
“Mengizinkan IPP menjual listrik secara langsung kepada konsumen sesungguhnya merupakan bentuk liberalisasi kelistrikan yang bertentangan dengan konstitusi,” tegasnya.
Pelanggaran terhadap konstitusi itu, di antaranya: UU No.30/2009 tentang Ketenagalistrikan, Keputusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015 dan Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 mengatakan: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
Selain itu, sambung dia, membuka akses power wheeling ke wilus baik wilus-PLN maupun wilus-non-PLN industri, justru akan menggerus pendapatan PLN lantaran 90 persen pendapatan PLN berasal dari pelanggan industri.
“Skema power wheeling akan meningkatkan biaya operasional PLN untuk membiayai pembangkit cadangan, yang dibutuhkan menopang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) bersifat intermittent yang dipengaruhi matahari dan angin,” sebut dia lagi.
Kemudian, peningkatan biaya operasional itu akan memperbesar harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Kalau tarif listrik ditetapkan di bawah HPP, maka negara harus merogoh APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN.
“Membengkaknya pengeluaran APBN untuk kompensasi PLN sudah pasti akan menggerus APBN yang berpotensi mengurangi anggaran APBN untuk membiayai program strategis Presiden terpilih Prabowo Subiyanto, termasuk program makan bergizi gratis,” tegas Fahmy. Red/HS