PUTRAINDONEWS.COM
TANGERANG SELATAN – BANTEN | Tangerang Selatan akan melangsungkan pesta demokrasi di Pilkada 2020 tanggal 09 Desember, untuk memilih Walikota/Wakil Walikota untuk lima tahun kedepan.
Masyarakat Tangerang Selatan tentu patut berbangga karena pelaksanaan kegiatan besar itu akan menentukan pemimpin mereka guna membawa perubahan dan tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang lebih baik kedepan.
Tidak dapat dipungkiri, semakin mendekatnya Pilkada 2020 Tangerang Selatan, yang hanya menyisakan waktu kurang dari tiga bulan ini, terlihat sudah terjadi persaingan ketat di antara para kandidat.
Seperti diketahui, tiga kandidat paslon Walikota/Wakil Walikota Tangerang Selatan yaitu,
• Paslon H Benyamien Davnie – H Pilar Saga Ichsan, diusung
Partai Golkar (10) dan partai Pendukung yaitu, PPP (Non Kursi), PBB (Non Kursi), Partai Gelora (Non Kursi).
• Paslon H Muhamad – Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, diusung PDI Perjuangan (8), Partai Gerindra (8), PSI (4), PAN (2), Partai Hanura (1) ditambah parpol pendukung yaitu, Partai Nasdem (Non Kursi), Perindo (Non Kursi), Partai Garuda (Non Kursi) dan Partai Berkarya (Non Kursi).
• Paslon Hj Siti Nur Azizah – H Ruhamaben, diusung Partai PKS (8), Partai Demokrat (5) dan Partai PKB (4).
Namun yang terpenting dari semua itu, ketiga paslon Kandidat termasuk tim sukses, para pendukung dan simpatisan harus menggunakan cara-cara elegan dan tidak bermain kotor untuk mendapatkan simpati para pemilih khususnya masyarakat di Kota Tangerang Selatan ini.
Saat diminta tanggapan Hj. Hotmidawati Harahap.SE, yang selama ini dikenal penggiat sosial, di wilayah Pamulang, mengatakan, bagi masyarakat, siapapun yang terpilih wajib didukung dan dihormati kemenangannya tanpa menimbulkan pernak pernik perpecahan alias tidak setuju, tidak menerima atau keberatan dengan niat yang terselubung untuk kepentingan sepihak.
Kita tidak bermaksud membicarakan bagaimana seorang kandidat memenanginya dan atau sebaliknya, bagaimana seorang kandidat terkalahkan.
Diakui atau tidak, dalam kontestasi politik kerap kali terjadi ketidakjujuran, atau perilaku yang sejatinya melanggar etika dan moral berpolitik. Bahkan, tidak jarang secara tidak malu-malu aturan-aturan main dilanggar demi meraih satu kemenangan.
Egoisme dan rakus kekuasaan menjadikan sebagian melakukan apa saja, menghalalkan segala cara untuk memenangi pertarungan itu. Money politics menjadi salah satu wajah politik korup (corrupt politic) yang wajib diwaspadai dan bahkan kemungkinan besar seringkali terjadi. Mengapa sering didengar hal tersebut?
Disatu sisi, rakyat masih banyak yang membutuhkan karena faktor kemiskinan, baik karena keadaan maupun mungkin karena mentalitasnya. Artinya, kemiskinan yang terjadi di masyarakat dapat dibagi dua kategori, yaitu:
• ada kemiskinan yang memang riil adanya, dan
• ada pula kemiskinan yang disebabkan mentalitas dan karakter, merasa miskin dan tidak pernah terpuaskan.
Dua katagori di atas sangat rentan menjadi sasaran empuk para politikus yang rakus dan egois karena tanpa disadari akibat biaya politik (political cost) menjadi beban yang dahsyat.
Masyarakat tidak menginginkan para pelaku politik yang mungkin disadarinya, sejak langkah awal sudah terbebani untuk mendapatkan dana yang tidak sedikit. Sehingga dampak yang diakibatkan adalah demokrasi itu bukan lagi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, tetapi menjadi ajang transaksi kepentingan berbagai pihak.
“Jangan biarkan masyarakat terbawa arus karena ketidakpahamannya dalam berpolitik. Ketika Partai politik, kandidat dan atau konstituen (pemilih) tidak peduli dengan kepentingan umum (public interest), tetapi lebih mengkedepankan kepentingan pribadi dan/atau golongan dapat menimbulkan sikap apatis masyarakat dengan gaya politik yang tidak mengkedepankan kepentingan umum. “jelas Hj. Wati Harahap, kepada media, Minggu (06/09/20).
Bahkan sebagian besar masyarakat yang memiliki hak pilih, menyikapi pemilihan tidak lebih dari seremonial rutin dan musim panen lima tahunan. Sejatinya dalam sebuah kontestasi akan ada yang menang dan kalah. Itu sudah sunnatullah. “tuturnya.
Pertanyaan yang kemudian timbul kata Hj. Wati Harahap, adalah siapa yang sesungguhnya menang dan meraih keuntungan dari Pilkada tersebut? Partai Politikkah, Kandidatkah atau rakyatkah ? Apakah perlu bergembira dan berpesta pora jika menang? Atau sebaliknya, perlukah ditangisi, bahkan marah dan putus asa jika kalah?
Hj. Wati Harahap, mengkutip dalam Al Quran, “Katakan (wahai Muhammad): Wahai Engkau yang memiliki kekuasaan. Engkau berikan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki. Dan Engkau mengambil kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki. Dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu segala kebaikan. Sungguh Engkau berkuasa atas segala.” (Alquran)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. Wahai orang-orang yang beriman Taatilah Allah, taatilah rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) lagi lebih baik akibatnya “(QS. An-Nisa : 58-59).
Dilanjutkannya lagi, hidup secara keseluruhan adalah ujian. Nilai sesungguhnya bukan masalah menang dan kalah dalam kontestasi, tetapi kita semua pihak bagaimana menyikapinya. Menang harus dimaknai dan disikapi disikapi secara tawadu dan rasa syukur. Dan jika kalah harus disikapi iklash, sabar, introspeksi, dan menerima keputusan (takdir) dengan lapang dada. Artinya harus memiliki jiwa satria demi kepentingan yang lebih global yaitu masyarakat secara keseluruhan.
Khan di etika Islam, kita selalu diajarkan agar kemenangan jangan dirayakan secara berlebihan tetapu lebih baik beristigfar dan memohon petunjuk dan pertolongan-Nya. Sebaliknya, kekalahan tidak perlu disesali dan dijadikan keputusasaan. Ingat bahwa sesuatu yang telah nyata di hadapan mata adalah kehendak Allah SWT dan DIA yang maha tahu yang sesungguhnya. “ujarnya.
Artinya apa, kata Hj. Wati Harahap, lagi, kemenangan tidak selalu dilihat pada akhirnya, tapi lebih menitikberatkan pada niat dan prosesnya. Jika diawali niat benar, lalu diproses secara benar dan penuh tanggung jawab, apa pun hasil akhirnya itulah kemenangan. Terakhir adalah Keputusan Allah, itu yang terbaik dan sekaligus kemenangan. “Dan bekerjalah. Sungguh Allah akan melihat karyamu, juga rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman.” (Alquran).
Selain itu, kekuasaan politik hanya satu atau secuil lahan amal kita. Jangan merasa terhalangi untuk berbuat baik karena kekalahan dalam kontestasi politik. Sebaliknya sadari bahwa belum berhasilnya usaha di jalan, itulah cara Allah untuk membuka jalan-jalan keberhasilan lainnya. Seribu jalan menuju pengabdian demi agama, bangsa, dan negara.”tuturnya.
Termasuk pilkada 2020 di Kota Tangerang Selatan sebagai bentuk kedewasaan para Kandidat, Tim pemenangan, simpatisan dan masyarakat untuk berdemokrasi yang lebih santun dan bermartabat. Dibutuhkan banyak kedewasaan semua pihak dalam menyikapi hasil konstestasi politik itu sendiri. Intinya siap menang, tapi juga siap menerima kekalahan.
Hendaknya, paslon Walikota/Wakil Walikota Tangerang Selatan khususnya untuk mereka yang terlibat langsung di kontestasi pilkada kali ini, baik untuk para kandidat, tim relawan, maupun para pendukungnya harus memilki pijakan yang sama dalam berpolitik, dan secara kebangsaan dengan pijakan yang sama ialah mewujudkan Kota Tangerang Selatan yang damai, adil, dan sejahtera. Intinya di Pilkada 2020 Tangerang Selatan harus dijadikan suatu kemenangan rakyat dan bukan kemenangan para kandidat, tim relawan, maupun para pendukungnya, tetapi yang sesungguhnya kemenangan nanti di Pilkada 2020 adalah “Kemenangan Rakyat” tutup Hj. Wati Harahap. Red/Ben/Lingga