OPINI
Oleh:
Hamida Umalekhoa
KETUA FORPELA MALUT
Putraindonews.com. Kota Ternate – Pembagian jatah telah dilewati namun masih begitu hangat diperbincangkan di social-media (Facebook). Nampaknya, perbincangan seperti ini bukan saja baru terjadi di Kabupaten Kepulauan Sula melainkan sudah sering terjadi di daerah-daerah lain bahkan tingkat nasional. Indonesia, Era SBY hingga Jokowi-Kalla, ketika Reshuffle dilakukan social-media mulai diramaikan, sesuai dengan perkembangan teknologi dan informasi. sekedar menyaksikan “pertandingan” ternyata lebih melelahkan ketimbang ikut bermain, yang jelas kalau Cuma menonton sudah pasti tidak ada daya upaya menentukan jalannya pertandingan, paling-paling sebatas menjadi supporter (Sumber:Mozaik psikologi politik Indonesia).
Setelah mengikuti wacana sosmed, nyatanya ada keganjalan yang mencekam bathin para pemain. Harapan terbalik dari pepatah lama: bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Atau seperti bait lagunya Cita-Citata, sakitnya tuh disini. facebook Group “Merebut 01 Sula” menjadi saksi atas deretan huruf yang terbentang panjang pada dindingnya. dinamika yang diPerbincangkan terus berlanjut bak lupa keputusan telah usai. perbincangan yang ada bukan hanya pada aspek ketidakadilan melainkan kesalahan penempatan. Roda lama masih berputar meskipun driver-nya sudah baru. Situasi inilah yang membuat kelompok tertentu duduk pun tak tenang, tidur pun tak bisa seperti bait lagunya Marshanda resah dan gelisah.
Reshuffle pemerintahan di Kabupaten Kepulauan Sula pada Jumat,13 Januari 2017 selain menjalankan hak proregative seorang kepala daerah juga sebagai wujud penguatan system birokrasi, dengan tujuan dapat bekerja sama dengan baik dalam merealisasikan visi dan-misi, hanya saja perombakan ini masih kesannya rehat sejenak. merubah harapan menjadi cemas serta gegana (Gelisa, galau, merana) terjadi di berbagai kalangan, termasuk kalangan legislative sebagai partner kekuasaan. perombakan yang dilakukan bukan hanya menimbulkan kesenjangan antara jabatan dan basic keilmuan melainkan terdapat beberapa hal yang kesannya aneh misalnya lawan politik masih diberi kesempatan menduduki jabatan strategis seperti kepala dinas, kepala bidang dst. apakah tindakan controlling seperti itu bagian dari kesadaran berpolitik ataukah magnet kekuasaan yang enggan lepas satu dengan lainnya. Simaklah: McComb and Shaw : agenda of setting.
Perombakan struktur birokrasi tidak terlepas dari pada pengambilan keputusan yang diselimuti kepentingan politik (interest politic), yang terjadi di sula cukup menarik sebab hal ini begitu synergic dengan apa yang kemudian dikemukakan Jeremy Knesses, bahwa reshuffle dilakukan untuk memperketat koalisi dengan cara distribusi kembali jabatan politik (to tighten the filmsy coalition) kemudian menarik partai oposisi untuk bergabung dalam koalisi pendukung pemerintah (To expand the coalition it self). Sadar dan tidak, secara langsung ataupun tidak dua point pendapat Knesses telah diterapkan pada Periode Ketiga daerah kabupaten kepulauan sula.
Tak salah jika tindakan itu menuai kontroversi di kalangan pendukung dan tim pemenang, karena Mayoritas masyarakat sula yang telah menitipkan amanah di pundak HT-ZADI dengan harapan mengeluarkan sula dari keterpurukan selama 10 tahun pemerintahan sebelumnya, alhasil harapan-harapan itu terabaikan. Tapi tak apalah, mau gimana lagi..? teringat Pidato budaya Mochtar Lubis… ABS (asal Bapak Senang). Sebagai langkah awal untuk refleksi psikologi dan menguji mentalitas actor politik agar terhindar dari sakit. Dictum Harold D. Laswell bahwa dasarnya politisi secara psikologis “agak sakit”.
Ketidakpuasan dalam pembagian kepentingan itu justru mempengaruhi kehidupan sosio-cultural, secara umum ada dua pengaruh. Misalnya pengaruh positif dan negative. Pengaruh positifnya, masyarakat dapat memahami arti dan nilai-nilai demokrasi. Dan pengaruh negatifnya masyarakat terpaksa menelan lagi pahitnya pelayanan birokrasi. harusnya ada kesadaran bersama dalam mengelola dinamika perbedaan agar dapat mencapai komunikasi yang efektif dalam sistem pemerintahan.
Koki yang sudah bertahun-tahun masak di dapur sudah tentu rasa masakannya itu-itu saja. Tetapi jika koki yang lama di geser dan menggantikan dengan koki yang baru sudah pasti racikan masakannya berbeda, berilah kesempatan untuk orang menikmati pelayanan yang baru, sehingga tidak ada yang terisolasi dengan sikon sosio-politik di daerah. *(Sul)*