PUTRAINDONEWS.COM
BANJARMASIN – KALSEL | Kehadiran UU No. 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang mengantikan UU No. 18 tahun 1999Â tentang Jasa Konstruksi sangat lah menarik untuk di cermati dengan banyaknya harapan untuk menuju ke arah yang lebih baik muncul kepermukaan.
Sayangnya ternyata tafsiran dan bahkan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah / Kementerian PUPR tanpa disadari telah membuat resah pelaku serta masyarakat jasa konstruksi, demikian dituturkan Ketua LPJK Provinsi Kalimantan Selatan Ir. H. Subhan Syarif. MT, 25/11/20
Hal tersebut bisa dilihat sejak UU No. 2 tahun 2017 di gulirkan dan sampai dengan terbitnya PP No. 22 tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 2 tahun 2017 , juga Permen PUPR No. 9 tahun 2020 tentang Pembentukan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi dan Permen PUPR No. 10 tahun 2020 terkait pengaturan Akreditasi ternyata memunculkan riak protes dan keberatan. Ujar Ketua LPJKP Kalsel
Puncaknya, dalam kurun 2 tahun sejak terbit ternyata telah muncul 3 kali gugatan hukum terhadap produk aturan tersebut , 2 kali di ajukan kan Judisial Review ke Mahkamah Konstitusi dan 1 kali diajukan Uji Materi ke Mahkamah Agung.
Namun demikian terlepas siapa yang menang dan atau dikabulkan dan siapa yang kalah dan atau di tolak, bahwa intinya yang harus dicermati adalah bahwa ternyata UU No. 2 tahun 2017 berikut turunannya telah memunculkan masalah yang membuat keberatan dari masyarakat jasa konstruksi.
Bahwa, UU No. 2 tahun 2017 ini juga memberikan paradigma baru dalam pelibatan masyarakat di sektor jasa konstruksi. Di awal pasal ketika berbicara hal asas dan tujuan Pengaturan Jasa Konstruksi terungkap pada pasal 3 huruf C , bahwa salah satu tujuan hadirnya UU ini adalah untuk mewujudkan ‘peningkatan’ partisipasi masyarakat di bidang jasa konstruksi. jelasnya
Namun, bagi yang cermat , tentu kata ‘peningkatan’ di tafsirkan bahwa kehadiran UU baru dipastikan akan lebih baik dibanding UU lama. Sejatinya bila ini terjadi , pasti sangatlah membanggakan dan konsisten klausul pertimbangan kenapa jadi UU No. 2 tahun 2017 hadir mengantikan UU No. 18 tahun 1999.
Adapun, pada klausul pertimbangan diungkap UU lama dianggap belum dapat memenuhi tuntutan kebutuhan tata kelola yang baik dan dinamika perkembangan penyelenggaraan jasa konstruksi.
“Maka, berdasar inilah UU No 18 tahun 1999 di gantikan dengan UU baru , UU No. 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi”. Ungkapnya
Namum sangat disayangkan, ketika mulai didalami pasal per pasal dari UU No. 2 tahun 2017 hal peningkatan partisipasi masyarakat menjadi sirna, tujuan mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakat tidaklah seperti yang diharapkan.
Banyak pasal yang saling bertentangan, sehingga UU baru ini begitu dikuak dasarnya semakin memperlemah keterlibatan masyarakat dalam pengembangan jasa konstruksi , terutama masyarakat jasa konstruksi yang ada di daerah.
Tentunya ini aneh sekali, bagaimana bisa UU Baru mengantikan UU Lama yang tujuannya untuk memperbaiki dan memperkuat, tapi ternyata yang terjadi sebaliknya, pengaturan malahan inkonsisten dan memperlemah peran masyarakat jasa konstruksi terkhusus yang ada di daerah.
Dalam hal penyelenggaraan pengembangan jasa konstruksi terkait dengan pelibatan masyarakat yang dulu mendapat tempat utama dalam pengaturan UU No. 18 tahun 1999 kini menjadi berbanding terbalik dengan UU No. 2 tahun 2017 dimana peran serta masyarakat jasa konstruksi seolah sengaja terdegradasi dan diambil alih oleh pemerintah, dalam hal ini kementerian PUPR.
“Menariknya wewenang Kementerian ini bahkan sampai bisa merangkap sebagai regulator sekaligus operator”. Ucap ketua LPJKP Kalsel
Kementerian PUPR bisa saja membentuk Lembaga Sertifikasi Profesi bila Asosiasi Profesi dan Lembaga Diklat tidak mampu membentuknya. Dan yang menentukan mampu tidaknya adalah juga wewenang kementerian sendiri.
Hal tersebut sangat memprihatinkan, dan sangat bertentangan dengan klausul menimbang pada mukadimah UU dan asas tujuan dari pengaturan Jasa konstruksi.
Lebih lanjut Ir. Subhan Syarif mengatakan bahwa fakta lain yang menarik untuk dicermati adanya pengaturan kebijakan meng ‘amputasi’ keberadaan dan wewenang Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) sebagai lembaga refresentatif perwakilan masyarakat jasa konstruksi yang dulunya independen dan mandiri baik yang ada di tingkat Nasional ataupun yang ada di tingkat daerah.
LPJK adalah bentuk partisipasi formil masyarakat jasa konstruksi dalam kegiatan pengembangan jasa konstruksi yang di lindungi oleh UU. Dulunya berdasar UU No. 18 tahun 1999 dan PP No.28 tahun 2000 , ataupun pada PP No. 4 tahun 2010 lembaga LPJK ada di tingkat nasional (LPJKN) dan ditingkat daerah (LPJKP). tuturnya
Semestinya bila di selami makna utama pertimbangan dihadirkannya UU No. 2 tahun 2017 di Pasal 1 huruf C yang tegas dan jelas mengatakan bertujuan untuk mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan jasa konstruksi.
Maka sejatinya ini mestinya mewarnai isi pasal yang ada dalam UU tersebut. Artinya bila konsisten antara tujuan dan isi pengaturan pasal per pasal dalam UU No. 2 tahun 2017 tersebut maka sangatlah tidak logis bila yang dilakukan malahan , misanya saja membatasi gerak langkah LPJK dan bahkan menghapuskan peran LPJKP sebagai salah satu motor utama pengembangan jasa konstruksi di daerah.
Bila konsisten dengan mukadimah dan tujuan hadir nya UU tersebut maka bunyi aturan pasal yang di gulirkan seharunya kearah semakin memperkuat dan membenahi peran LPJK baik di nasional ataupun di daerah dalam keterlibatannya mengembangkan jasa konstruksi di negeri ini. Tetapi karena pasal yang digunakan terkesan ‘bersayap’ maka hal pengaturan LPJK yang kemudian dilimpahkan kepada Kementerian yang ujungnya menuai masalah.
Pasal 84 ayat (9) yang menyerahkan hal pengaturan pelimpahan sebagian wewenang pemerintah kepada masyarakat jasa konstruksi berikut hal pembentukan Lembaga kepada Menteri / Peraturan Menteri inilah awal daripada celah untuk mempermudahkan dan mempercepat melakukan ‘manuver hukum’ yang ujungnya bisa saja tanpa sadar tersisipkan kepentingan tertentu yang berbau kontraproduktif bagi keterlibatan masyarakat dalam pengembangan jasa konstruksi.
Mengacu pada pasal 84 ayat (9) yang kemudian dilegalkan melalui Produk Permen PUPR No 9 dan Permen PUPR No 10 yg semuanya di keluarkan di tahun 2020.
Di sayangkan adalah hal tahun terbitnya yang melampaui batas maksimal 2 tahun sehingga ter indikasi melanggar pasal 105 UU No. 2 tahun 2017. Kondisi ini berujung terjadinya gugatan hukum / Judisial Review di Lembaga Mahkamah Agung (MA). Dan menariknya lagi , ternyata kemudian pasal 84 ayat (9) ini menjadi salahsatu pasal yang di hilangkan pada UU Cipta Kerja yang telah di tanda tangani Presiden.
Pertentangan norma lain , yang juga memprihatinkan ada pada pasal 9 UU No.2 tahun 2017. Pasal ini berbunyi “Dalam Melaksanakan Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8 , Pemerintah Pusat dan / atau Pemerintah Daerah DAPAT melibatkan Masyarakat Jasa Konstruksi”.
Kata “dapat”, dalam Pasal ini secara filosofis menunjukan bukti ketidak konsistenan dengan pasal utama yang terdapat di UU No. 2 tahun 2017 , bahkan sejatinya pasal ini bertentangan dengan makna asas dan tujuan kehadiran UU No.2Â tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang ada pasal 3 huruf C , yang menjadi salah satu kata kunci dari kewajiban untuk memperkuat peran partisipasi masyarakat dalam sektor jasa konstruksi.
Kata “dapat” bisa di artikan tidaklah bermakna menjadi “wajib” dilaksanakan. Faktor subyektivitas untuk menyatakan mau melibatkan ataupun tidak sangatlah kuat tergantung pandangan , persepsi , keinginan dan kemauan pemerintah saja.
Dalam hal ini artinya, bila Pemerintah mau melibatkan masyarakat ataupun tidak melibatkan masyarakat adalah menjadi wewenang utama mereka untuk memutuskannya. Dan inilah yang kemudian terjadi pada pasal 84 UU No.2 tahun 2017 , juga pada turunan PP No. 22 tahun 2020 , kemudian Permen PUPR No. 9 tahun 2020 dan Permen No. 10 tahun 2020 dimunculkan.
Dari sinilah hal keterlibatan dan peran LPJK pun menjadi terkebiri , baik kewenangannya , kemandirian , independensi dan tugas fungsinya. Bahkan LPJKP sebagai ujung tombak peran masyarakat jasa konstruksi daerah dalam pengembangan jasa konstruksi di daerah telah dihilangkan.
Yaa, semua menjadi di kuasai dan dikendalikan Pemerintah , terkhusus Kementerian PUPR. Dan ini dasarnya kemunduran, karena kembali ke era lama sebelum UU No. 18 tahun 1999 di hadirkan, kembali ke era 21 tahun yang lalu. Era ketika semua yang terkait pengaturan dan pengembagan jasa konstruksi hulu dan hilirnya semua di kendalikan Pemerintah / Kementerian PU.
Dari fakta ini, maka tentu saja Perintah Pasal 3 huruf C , hal asas dan tujuan kehadiran UU No. 2 tahun 2017 yang norma intinya ingin mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakat di bidang Jasa Konstruksi dibandingkan dengan yang di atur oleh UU No. 18 tahun 1999 tidaklah bisa tercapai.
Bahkan pada hakekatnya, UU No. 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi berikut semua turunannya yang terbitnya terindikasi melanggar pasal 105 UU itu sendiri adalah regulasi yang pelan tapi pasti akan melumpuhkan peran masyarakat jasa konstruksi untuk memperkuat kemandirian dan independensi dalam keterlibatan mengembangkan jasa konstruksi , terutama sekali bagi masyarakat jasa konstruksi yang ada di daerah.
Yaa , ternyata model sentralistik dan semua akan dikendalikan Pemerintah Pusat di sektor pengembangan jasa konstruksi telah semakin diperkuat dengan berlindung di balik kehadiran UU No. 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi , berikut aturan turunannya.
Dengan kondisi yang demikian maka sebenarnya apa yang tertulis di awal isi UU No. 2 tahun 2017 , pada klausul MENIMBANG di huruf C ;Â bahwa “Sektor Jasa Konstruksi merupakan KEGIATAN MASYARAKAT mewujudkan bangunan yang berfungsi sebagai pendukung atau prasarana AKTIVITAS SOSIAL EKONOMI KEMASYARAKATAN guna menunjang terwujudnya pembangunan nasional”.
Begitu juga pada huruf D ;Â bahwa ” UU No. 18 tahun 1999 tentang jasa konstruksi (UU lama) belum dapat memenuhi tuntutan kebutuhan tata kelola yang baik dan DINAMIKA PERKEMBANGAN JASA KONSTRUKSI”, telah di abaikan.
Hal pokok yang selalu hadir pada awal bunyi setiap UU (klausul menimbang) ini telah di tentang oleh pasal pasal yang ada di dalam UU itu sendiri dan aturan turunannyapun semakin memperkuat pelannggaran tersebut, termasuk terjadi inkonsisten, penurunan kualitas dan kuantitas dari sisi makna pelibatan aktif masyarakat jasa konstruksi dalam pengembangan jasa konstruksi yang dalam UU No. 18 tahun 1999 yang diatur secara mandiri, independen dan bermodel desentralisasi.
Akhirnya, Bagi yang ikuti sejarah dan cermat maka kehadiran UU No. 2 tahun 2017 yang ketika awal di sosialisasikan oleh Pemerintah / Kementerian PUPR sebagai UU yang membanggakan, dan juga mampu menjawab persoalan jasa Konstruksi serta ber falsafah desentralisasi ternyata hanyalah sekedar retorika yang tidak didukung oleh fakta.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya , peran mandiri masyarakat jasa konstruksi daerah di abaikan bahkan di hilangkan sehingga akhirnya muncul berulang kali gugatan keberatan dari masyarakat jasa konstruksi tentang produk aturan tersebut. Pungkas Ir. H. Subhan Syarif, MT. Red/Ben