***
Putraindonews.com – Jakarta | SETARA Institute menilai apapun alasannya, penundaan Pemilu adalah bentuk pembangkangan terhadap Pasal 22E ayat (1) Konstitusi.
Apabila stabilitas ekonomi dijadikan dalil utama penundaan pemilu, seolah pemerintah lupa bahwa pemindahan ibu kota negara justru dilakukan begitu saja di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
“Untuk itu, SETARA mengingatkan elit politik baik di lingkungan parlemen maupun istana untuk tidak membuat kegaduhan dengan usulan perubahan rencana ketatanegaraan yang tak berlandaskan urgensi yang nyata,” kata Ketua SETARA Institute Hendardi.
Kedua, usulan penundaan pemilu merupakan aspirasi para pengusaha dengan dalil perlunya waktu untuk memulihkan stabilitas ekonomi nasional akibat pandemi. Atas hal tersebut kata hendardi, SETARA kembali mengingatkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, bukan di tangan pengusaha.
Rakyat yang dimaksud konstitusi tentu seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya segelintir kelompok saja, apalagi golongan elit pengusaha.
Beberapa kebijakan pemerintah sebelumnya seharusnya menjadi refleksi betapa negara seolah acap kali disetir oleh kelompok tertentu dan negara menjadi alat pemuas kepentingan kelompok tertentu dengan mengabaikan pemenuhan hak-hak rakyat, mulai dari UU Minerba, UU Cipta Kerja hingga UU Ibu Kota Negara, jelas Hendardi.
Menurut Hendardi, seharusnya negara berefleksi betapa terlalu gegabahnya pemerintah selama ini dalam mengambil sikap tanpa memperhatikan hak-hak rakyat. Negara Indonesia seharusnya dijalankan dari, untuk, dan oleh rakyat, bukan dari, untuk, dan oleh pengusaha semata.
Ketiga, SETARA mengingatkan bahwa pemilu tidak hanya sebagai kontestasi penyaluran suara rakyat semata, namun juga sebagai momentum regenerasi aktor-aktor politik negara. Terlebih, rezim Presiden saat ini telah menginjak pada dua tahun periode kepemimpinannya.
“Jangan sampai singgasana Presiden terus melanggeng hingga melebihi 10 tahun lamanya”
Selain tidak sesuai dengan desain konstitusional negara, fenomena tersebut juga akan semakin membuka celah terjadinya “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”, yaitu kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak benar-benar korup,” pungkasnya. Red/Ben
***