Ultimum Remidium, Jaksa Agung ; Apakah Korupsi di Bawah 50 Juta Perlu Dipenjara ?

***

Putraindonews.com – Jakarta | Jaksa Agung RI Burhanuddin menjadi Keynote Speaker dalam Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Solusi Advokasi Institute dengan mengambil tema “Keadilan Restoratif: Apakah Korupsi Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) Perlu Dipenjara?”

secara virtual dari ruang kerja di Gedung Menara Kartika Adhyaksa Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Jaksa Agung mengatakan, saat ini paradigma penegakan hukum telah berubah dari semula untuk mewujudkan keadilan retributif atau pembalasan kini menjadi keadilan restoratif atau pemulihan.

Untuk itu, atas nama pribadi maupun Pimpinan Kejaksaan, Jaksa Agung menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada pihak penyelenggara yang telah bekerja keras dalam menyelenggarakan kegiatan ini.

“Saya mengapresiasi kegiatan diskusi publik ini karena dapat menjadi sebuah sumbangsih riil, pemikiran yang berasal dari kalangan akademisi dan praktisi hukum dalam upaya bersama memberantas tindak pidana korupsi yang merupakan pandemi hukum dan musuh kita bersama yang harus terus diperangi.

Oleh karena itu, saya menyambut dengan baik ketika diminta oleh Bapak Suparji Achmad, selaku Direktur Solusi Advokasi Institute, untuk memberikan materi dan pandangan saya dalam usaha mewujudkan Indonesia yang bersih dan anti korupsi,” ujar Jaksa Agung.

Jaksa Agung menyampaikan bahwa saat ini paradigma penegakan hukum telah berubah dari semula untuk mewujudkan keadilan retributif atau pembalasan kini menjadi keadilan restoratif atau pemulihan.

“Keadilan restoratif menekankan pada keseimbangan antara aturan yang berlaku dengan interpretasi yang bertumpu pada tujuan atau asas kemanfaatan hukum dalam proses peradilan pidana.

Oleh karena itu, dewasa ini setiap proses penegakan hukum yang dilakukan harus dapat memberikan manfaat kepada masyarakat guna mewujudkan keadilan restoratif,” ujar Jaksa Agung,” ujarnya.

Jaksa Agung menyampaikan, rasa keadilan ini akan muncul di kala kedamaian dan harmoni masyarakat telah terpulihkan, serta pelaku kejahatan dapat diterima kembali di tengah masyarakat. Hal inilah yang menjadi tujuan penegakan keadilan restoratif.

“Untuk mewujudkan keadilan restoratif, Kejaksaan telah mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang diundangkan pada tanggal 22 Juli 2020.

Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 ini adalah regulasi pertama di bawah undang-undang yang menerapkan prinsip restorative justice,” ujar Jaksa Agung.

Sejak dikeluarkannya pada tanggal 22 Juli 2020, Kebijakan Restoratif justice yang di inisiasi oleh kejaksaan mendapatkan respon yang sangat baik dari para akademisi, praktisi, dan tokoh-tokoh nasional.

Masyarakat pun menyambut Peraturan Kejaksaan ini dengan antusiasme yang tinggi karena sangat banyak warga yang ingin perkara pidananya diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif oleh Kejaksaan.

Saat ini Pemberlakuan Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif masih dibatasi, terutama jenis perkara yang melibatkan masyarakat kecil.

Namun mengingat tujuan yang hendak dicapai oleh prinsip Keadilan Restoratif yaitu untuk menghadirkan kemanfaatan hukum yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, maka jangkauan ke depan idealnya adalah Peraturan Kejaksaan Keadilan Restoratif ini akan dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat.

Hal ini mengingat bahwa setiap orang berhak mendapatkan keadilan hukum, sehingga keadilan hukum tidak dapat diberikan hanya untuk golongan tertentu saja.

Hal ini tentunya dengan tetap memperhatikan kualitas, jenis, dan berat ringannya suatu perkara. Dengan prinsip “keadilan untuk semua dan hukum untuk manusia”, maka pendekatan ideal dalam keadilan restorative dimasa yang akan datang adalah dengan melihat jenis perkaranya, bukan lagi melihat subyek yang berperkara.

Jaksa Agung mengatakan, dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, penerapan keadilan restoratif ini dimungkinkan dapat diterapkan untuk para pelaku tindak pidana korupsi yang perbuatannya tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun dengan nominal kerugian yang kecil.

Dengan mengingat kejahatan tindak pidana korupsi pada dasarnya adalah kejahatan finansial, maka menurut hemat saya penanggulangannya akan lebih tepat jika pendekatannya mempergunakan instrumen finansial. Adapun pendekatan instrument finansial yang telah dilakukan selama ini antara lain:

Merubah pola pendekatan dari follow the suspect menjadi follow the money dan follow the asset;

Pemiskinan koruptor dengan melakuan perampasan aset koruptor melalui asset tracing guna pemulihan kerugian keuangan negara, sehingga penegakan hukum tidak sekedar pemidanaan badan, tetapi juga bagaimana kerugian keuangan negara yang dapat dipulihkan secara maksimal;

Melakukan gugatan keperdataan terhadap pelaku yang telah meninggal dunia atau diputus bebas, namun secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.

Melalui pendekatan instrumen finansial, maka proses pemberantasan tindak pidana korupsi perlu mempertimbangkan beban ekonomi negara untuk biaya proses penegakan hukum, termasuk biaya hidup dan pembinaan narapidana pasca putusan inkracht.

BACA JUGA :   IMO-Indonesia Desak Kehumasan Lebih Responsif Menjawab Konfirmasi Awak Media

Hal ini selaras dalam teori economic analysis of law yang saat ini mulai berkembang. Teori ini menjelaskan bahwa untuk menciptakan proses penegakan hukum secara efisien, maka harus mempertimbangkan rasionalitas perhitungan biaya penanganan tindak pidana korupsi dari mulai penyelidikan hingga pelaksanaan putusan pengadilan, sehingga negara tidak mengalami peningkatan jumlah kehilangan keuangan negara akibat perbuatan korupsi yang telah dilakukan pelaku ditambah dengan biaya-biaya penanganan perkara yang dilakukan aparat penegak hukum.

Teori economic analysis of law tersebut sejalan dalam konsep keadilan restoratif dalam mewujudkan sistem peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan yang dapat menghemat anggaran. Dengan penghitungan anggaran secara cermat, maka aparat penegak hukum dapat lebih fokus kepada perkara korupsi besar yang membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit.

“Sistem hukum pemberantasan tindak pidana korupsi yang ditegakkan oleh para aparat penegak hukum saat ini masih terpaku pada tindakan represif dalam delik Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Padahal terdapat sekitar tiga puluh jenis tindak pidana korupsi dalam Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dapat dikelompokkan menjadi Tujuh bentuk, yaitu:

Kesatu, Korupsi yang terkait dengan keuangan atau perekonomian negara;

Kedua, Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap;

Keriga, Korupsi yang terkait penggelapan dalam jabatan;

Keempat, Korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan;

Kelima, Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang;

Keenam, Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan;

dan ketujuh, Korupsi yang terkait dengan gratifikasi.

Selain Tujuh kelompok bentuk tindak pidana korupsi tersebut, juga masih terdapat enam bentuk perbuatan lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu:

– Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;

– Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar;

– Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka;

– Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu;

– Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu;

–  Dan Saksi yang membuka identitas pelapor.

Mencermati seluruh bentuk tindak pidana korupsi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tidak semua jenis tindak pidana korupsi berkaitan dengan kerugian keuangan negara.

“Hal inilah yang patut diingat, dicermati, dan harus kita pahami bersama. Dengan adanya perbedaan jenis tindak pidana korupsi, maka sudah seyogianya mekanisme penerapan hukumnya pun juga harus dilakukan secara berbeda.

Tentu tidaklah tepat jika delik yang tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara, kita terapkan proses hukum yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara,” ujar Jaksa Agung.

Jaksa Agung mengatakan bahwa penegakan hukum harus proporsional dan profesional sebagaimana makna dari symbol timbangan yang menjadi lambang keadilan.

Selanjutnya, Jaksa Agung menyampaikan bahwa terhadap tindak pidana korupsi yang tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara dengan nominal kerugian yang relatif kecil, misalnya di bawah lima puluh juta rupiah, kiranya patut menjadi bahan diskursus bersama.

Apakah perkara tersebut harus dilakukan penjatuhan sanksi pidana penjara atau dapat menggunakan mekanisme penjatuhan sanksi lain.

“Misalkan tindak pidana korupsi yang terjadi di Kota Pontianak dalam perkara pungutan liar atau pungli dengan nilai dua juta dua ratus ribu rupiah. Apakah perkara pungli tersebut harus diproses dan disidangkan dengan mekanisme hukum tindak pidana korupsi?,” ujar Jaksa Agung.

Jaksa Agung mengatakan penanganan perkara tindak pidana korupsi dari proses penyelidikan sampai dengan eksekusi tidaklah murah. Negara menanggung biaya hingga ratusan juta rupiah untuk menuntaskan sebuah perkara tindak pidana korupsi.

Hal ini tentunya tidak sebanding antara biaya operasional dengan hasil tindak pidana korupsi yang diperbuat oleh pelaku, sebagaimana ibarat peribahasa “besar pasak daripada tiang.”

“Meskipun maraknya kejahatan pungli itu sendiri tentunya sudah sangat meresahkan masyarakat dan dalam rangkaian Panjang seringkali berdampak timbulnya biaya ekonomi tinggi pada sektor industri ataupun sektor produksi, namun demikian pemberantasannyapun sedapat mungkin juga tidak menimbulkan beban finansial pada keuangan negara,” ujar Jaksa Agung.

Terlebih semangat yang terkandung dalam rezim pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini adalah pemulihan atau penyelamatan keuangan negara seoptimal mungkin.

BACA JUGA :   Gubernur Bali ; Jadikan Ajang PKB Sebagai Pestanya Rakyat

Ketentuan lain yang perlu dicermati adalah keberlakuan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan yang mana setiap pemeriksaan dan penyelesaian perkara harus dilakukan dengan cara efesien dan efektif.

“Dapat saudara bayangkan, perkara korupsi yang terjadi khususnya di wilayah Indonesia bagian timur, terlebih daerah kepulauan yang mana proses pemeriksaan dan persidangannya harus ditempuh melalui jalur darat, laut, dan udara.

Sekaligus untuk menuju ibu kota provinsi guna menyidangkan perkara tindak pidana korupsi yang hanya berskala relatif kecil, sehingga tidak sebanding antara biaya operasional yang dikeluarkan negara dengan kerugian negara yang hendak diselamatkan.

Dalam hal ini saya justru berpandangan bahwa penanganan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki nilai kerugian relatif kecil adalah bentuk kerugian negara yang dilakukan secara legal,” ujar Jaksa Agung.

Penanganan perkara korupsi berskala kecil tersebut juga bukanlah capaian yang patut dibanggakan dan bahkan terkadang cenderung tidak dapat diterima oleh masyarakat.

Jaksa Agung mengatakan, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum justru dapat menurun karena kualitas penangangan perkara yang dilakukan hanya berada di “level ikan teri” dan dianggap aparat penegak hukum tidak mampu untuk melawan para koruptor dalam skala big fish.

Di samping itu, hal lain yang perlu dipahami adalah menyamakan kasus korupsi lima puluh juta rupiah dengan pencurian lima juta rupiah.

Dua kasus ini tidaklah sama atau tidak apple to apple. Kasus korupsi adalah tindak pidana khusus yang memiliki mekanisme yang lebih kompleks dan memerlukan biaya tinggi, serta pihak yang dirugikan adalah negara.

Pada dasarnya negara sebagai korban memiliki kapasitas menghukum pelaku yaitu dengan menggunakan mekanisme atau instrumen lain di luar sanksi penjara, tentunya suatu instrumen yang memiliki kaidah keadilan, namun bersifat ekonomis karena negara justru rugi lebih banyak jika harus menghukum pelaku hingga masuk ke penjara.

Jika hal ini tetap dipaksakan, masyarakat secara tidak langsung akan menjadi korban sekunder karena uang negara yang seharusnya dapat disalurkan untuk kesejahteraan masyarakat, dapat terkuras habis hanya untuk perkara korupsi level “ikan teri”.

Jaksa Agung menyampaikan, untuk pencurian lima juta rupiah yang merupakan tindak pidana umum korbannya adalah orang-perorangan. Uang tersebut bisa jadi adalah uang yang sangat banyak bagi banyak orang. Kehilangan uang tersebut dapat membuat korban tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dan bahkan tidak dapat membeli makanan.

Rasa kehilangan dan kepedihan yang dirasakan oleh korban ini dapat ditangkap dan dirasakan oleh negara, sehingga negara dapat menghukum pelaku pencurian dengan hukuman yang berat dan setimpal, sepanjang korban tidak memaafkan perbuatan pelaku tersebut.

“Saya menyadari jika pemberantasan tindak pidana korupsi haruslah dilakukan di semua lini dan lapisan masyarakat. Namun yang perlu dicatat adalah banyak cara untuk memberantasnya.

Para pelaku tindak pidana korupsi yang perbuatannya tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun dengan nominal kerugian yang kecil, tetap akan kita berikan hukuman yang setimpal,” ujar Jaksa Agung.

Jaksa Agung menyampaikan, penjatuhan sanksi pidana, khususnya penjara bukanlah upaya balas dendam, melainkan proses edukasi pemasyarakatan dan penjeraan yang bertujuan agar pelaku menyadari kesalahan atas perbuatannya, sehingga penjatuhan pidana adalah upaya terakhir.

Penerapan asas ultimum remedium dalam beberapa kasus atau delik tertentu sekiranya masih sangat relevan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sanksi pidana tidak harus selalu berupa penjara. Terdapat beberapa sanksi lain yang dapat diterapkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi “kelas ikan teri” tersebut, misalnya dengan sanksi pidana denda yang setimpal, pencabutan hak-hak tertentu, atau perampasan barang. Kita juga dapat memberikan rekomendasi kepada para stake holder terkait untuk memberikan sanksi administrasi kepegawaian, misalnya penundaan pangkat hingga kepemecatan.

“Di samping itu, bagi pihak swasta dapat dilakukan pembekuan, pembubaran, atau black list sehingga tidak dapat lagi mengikuti pengadaan barang dan jasa milik negara. Sekali lagi saya menegaskan bahwa sebagai aparat penegak hukum kita harus bertindak secara cermat dalam mendudukan setiap jenis perkara dan tepat dalam memberikan bobot hukuman,” ujar Jaksa Agung.

“Menjatuhkan sanksi pidana secara tepat dan sesuai perbuatannya adalah langkah bijak dalam mewujudkan keadilan,” tutup Jaksa Agung. Red/Ben

***

 

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!