PUTRAINDONEWS.COM
JAKARTA | Dalam pekan terakhir, terjadi kenaikan kasus yang cukup tinggi di Provinsi Jawa Barat (Jabar) yaitu sebesar 50,6 persen. Hal ini disampaikan oleh Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Dewi Nur Aisyah saat menyampaikan analisis data COVID-19 Jabar periode 9 Agustus 2020.
Dewi memaparkan lima kabupaten/kota di Jabar yang menyumbang kenaikan kasus tertinggi di Jawa Barat, di antaranya adalah sebagai berikut:
– Kota Bandung 40 kasus menjadi 155 kasus (287,5 persen)
– Kabupaten Bandung dari 45 kasus menjadi 119 kasus (164,4 persen)
– Cirebon dari 1 kasus menjadi 34 kasus (meningkat lebih dari 10 kali lipat)
– Kota Cimahi dari 7 kasus menjadi 35 kasus (400 persen)
– Kota Sukabumi dari 1 kasus menjadi 28 kasus (meningkat lebih dari 10 kali lipat)
Dewi menambahkan, peningkatan kasus tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah laju penularan yang tinggi, munculnya klaster baru, dan jumlah pemeriksaan yang ditingkatkan.
“Biasanya kita bisa lihat dari tiga hal, yang pertama memang laju penularannya sedang tinggi disana, yang kedua ada klaster baru, dan yang ketiga memang jumlah _testing_ yang juga ditingkatkan di Jawa Barat,†tutur Dewi saat berdialog di Graha BNPB, Jakarta, Senin (10/8).
Lebih lanjut, Dewi menjelaskan peringkat kabupaten/kota di Jabar berdasarkan jumlah kumulatif kasus COVID-19 pada peringkat nasional. Kota Depok menempati posisi pertama provinsi dan ke-17 di peringkat nasional.
“Yang pertama ini memang ada di kota Depok, ini peringkat 17 dalam peringkat nasional,†ucap Dewi.
Tidak hanya itu, berdasarkan analisis insiden kumulatif kasus per 100 ribu penduduk, Kota Depok masih menempati peringkat pertama provinsi dan peringkat ke-68 nasional.
Dewi lebih lanjut menjelaskan bahwa analisis per 100 ribu penduduk digunakan untuk melihat laju penularan dan menyamakan perbandingan jumlah penduduk di masing-masing daerah.
“Kita bisa melihat laju penularan yang ada di sana. Misalnya begini, kita melihat hanya angka bulatnya saja, dua daerah sama-sama 100. Tapi ternyata jumlah penduduk di kota A ini ada seribu yang satu 10 ribu. Pasti kita akan melihat perbedaan. Di sini kita melihat berarti yang 100 kasus per 10 ribu, tentu jauh lebih kecil laju penularannya dibandingkan dengan yang seribu,†jelas Dewi.
Selain itu, Dewi memaparkan angka kematian COVID-19 Jabar berada di bawah angka kematian nasional dan rata-rata dunia, yaitu sebesar 3,01 persen. Angka kematian yang cukup baik menandakan penanganan yang baik pula sehingga angka kematiannya relatif rendah.
“Dari seluruh jumlah kasus positif, ini persentasenya 3,01 di bawah nasional, di bawah rata-rata dunia juga. Jadi memang kita melihat ada angka kematian yang cukup baik. Artinya apa, tertangani pasien-pasien yang ada disana, sehingga angka kematiannya juga termasuk kecil,†ujar Dewi.
Pada dua pekan terakhir, data menunjukkan pergeseran zonasi risiko COVID-19 pada kabupaten/kota di Jawa Barat. Terjadinya penambahan pada zona risiko sedang, penurunan di zona risiko rendah, dan satu kabupaten kota berada di zona risiko tinggi, yaitu Kota Depok.
Dewi menjelaskan, faktor yang menyebabkan tingginya kasus COVID-19 di Kota Depok adalah tingginya mobilitas penduduk ke daerah Jabodetabek.
“Mungkin ternyata memang yang di Depok ini juga cukup banyak yang memang positifnya itu karena mobilitasnya sangat tinggi, terutama ke daerah Jabodetabek itu sudah seperti satu area yang tidak terpisahkan,†tutur Dewi.
Lebih lanjut, Dewi memaparkan klaster-klaster yang ditemukan di Provinsi Jawa Barat. Terdata sebanyak 150 klaster dengan total kasus sebanyak 476 kasus. Peringkat klaster tertinggi Jabar berasal dari pemukiman, dan diikuti oleh fasilitas kesehatan, perkantoran, dan rumah ibadah.
Dewi menegaskan bahwa data klaster dianalisis berdasarkan domisili, bukan berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
“Data ini memang harus kita analisis berdasarkan domisili. Bukan berdasarkan NIK,†tegas Dewi.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengupayakan penanggulangan COVID-19 di berbagai bidang, seperti pelayanan kesehatan, sosial dan ekonomi, teknologi informasi, dan berupa kebijakan yang diterapkan.
Terakhir, Dewi menyampaikan bahwa sejauh ini masih banyak hal yang harus dilakukan oleh semua pihak, terutama merubah perilaku masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan.
“Pekerjaan kita masih banyak terutama, perubahan perilaku. Ini adalah tugas untuk kita semua, bagaimana seluruh masyarakat Indonesia patuh, disiplin, menerapkan protokol kesehatan, dimanapun berada,†tutupnya. RED/BEN