PUTRAINDONEWS.COM
JAKARTA | Terasmitra menyelenggarakan diskusi dengan mengangkat tema “Urban Farming, Solusi Ketahanan Pangan Keluarga Di Masa Pandemiâ€.
Diskusi ini menghadirkan Anis Hidayah (Pendiri Rumah Organik Studio Alam Indah/ROSA dan Kebun Oriswa), Gede Mantrayasa (Penggiat Kebun Berdaya), dan Sita Pujianto (Urban Farmer) sebagai narasumber. Penanggap dalam diskusi ini adalah Warid S.P., M.Si (Kepala Prodi Agroeko Teknologi Universitas Trilogi Jakarta).
Sedangkan yang menjadi moderator diskusi adalah Ika Satyasari (DeTara Foundation). Diskusi ini dihadiri juga oleh Dr. Ir. Agung Hendriyadi, M.Eng (Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementrian Pertanian). Diskusi berlangsung dari pukul 10.00-12.00 WIB, via zoom meeting pada sabtu 13/02.
Pandemi saat ini membawa dampak pada sektor ketahan pangan. Keluarga-keluarga kesulitan untuk memperoleh kebutuhan pangan sehari-hari. Solusi untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga, khusus bagi masyarakat urban bisa dilakukan dengan pertanian urban farming. Dengan urban farming, kita bisa menanam pangan yang dibutuhkan di pekarangan rumah.
Dalam diskusi tersebut, Anis Hidayah menyampaikan bahwa dampak pandemi di sektor pangan begitu besar. Dari soal pasokan pangan, soal akses, soal kesehatan, dan lain sebagainya.
Menurutnya urban farming menjadi salah satu alternatif bagaimana sistem pangan dapat dibangun baik secara individu maupun berkelompok oleh masyarakat. Sehingga lebih mudah menjangkau pangan yang dibutuhkan. Sejak pandemi ia semakin rutin berkebun karena kegiatan di luar rumah nyaris sangat sedikit.
“Sejak berkebun atau bertanam di rumah saya merasa punya lumbung pangan hidup yang sewaktu-waktu tinggal dimanfaatkan. Ini juga menjadi langkah untuk menghasilkan pangan yang sehat, tentu juga secara finansial menekan pengeluaran belanja rumah tangga.
Berkebun juga dapat mencegah KDRT, karena ada fokus lain yang menyenangkan, yang bisa menjadi aktivitas keluarga di rumah.â€, Ungkap Anis, yang juga aktivis HAM tersebut.
Di sisi lain, Penggiat Kebun Berdaya, Gede Mantrayasa mengatakan bahwa pandemi Covid-19 ini sangat berdampak terhadap Bali sebagai daerah pariwisata. Setelah itu muncul kesadaran untuk menyediakan pangan sendiri. Kami pun mulai mengajak masyarakat untuk berkebun.
“Kami mengajak masyarakat untuk berkebun di rumah, banyak hal yang bisa kita lakukan di rumah. Kemudian kami mengajarkan mereka untuk menyiapkan perlengkapan untuk mulai berkebun. Kami mengedukasi masyarakat, jika mereka tidak memiliki lahan, maka mereka bisa menggunakan polibek. Kekuatan kami sebenarnya ada pada kolaborasi.â€,Tutur Gede Mantrayasa, pria asal Bali itu.
Sita Pujianto (Urban Farmer) juga menerangkan bahwa awal dari motivasinya menanam karena membutuhkan sayur organik yang sehat dan murah. Sita memulai berkebun di balkon rumah. Yang menjadi tantangan, matahari tidak hampir sepanjang tahun. Alternatif yang digunakan kemudian adalah menggunakan talang. Ada sekitar 12 talang yang kemudian dipasang.
“Dalam komunitas kami, Indonesia berkebun, ada target bahwa 30% dari kebutuhan pangan di rumah bisa diselesaikan dari karangan. Lahan sebenarnya bukan tantangan, tetapi bagaimana niat kita untuk mulai berkebun. Selama ada matahari di pekarangan, dari sana kita bisa mensuply gizi keluarga.’’, ungkap wanita asal Tanggerang tersebut.
Penanggap diskusi Warid S.P., M.Si (Kepala Prodi Agroeko Teknologi Universitas Trilogi Jakarta) menyampaikan konsep urban farming tidak hanya untuk perkotaan tetapi urban farming itu adalah pertanian pada lahan yang sempit atau terbatas. Pertanian tidak hanya dikerjakan di lahan-lahan yang luas.
“Tanaman itu menenangkan jiwa, karena warna hijau itu ternyata memang punya pengaruh untuk menentramkan jiwa. Sehingga kita merasakan suasana adem. Berkebun banyak sekali manfaatnya.â€, Tutur Warid.
Pada akhir diskusi, Dr. Ir. Agung Hendriyadi, M.Eng (Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementrian Pertanian) mengatakan bahwa urban farming adalah solusi ketahanan pangan keluarga. Ketahanan pangan nasional bisa terwujud jika ketahanan pangan keluarga terwujud, ketahanan pangan di kabupaten dan provinsi juga terwujud.
“Selain itu yang menjadi hal penting juga adalah dengan _urban farming_ ini terjadi perbaikan gizi masyarakat.â€, terang Agung Hendriyadi.
Sebelumnya pada TM Share Volume ke-85 yang berlangsung pada Kamis, 11 Februari 2021, Terasmitra mengadakan obrolan melalui IG Live Terasmitra dengan tema ‘’Videogampil Ala Bjeounayaka’’. Obrolan singkat yang berlangsung selama sejam ini, dari pukul 16.00-17.00 WIB menghadirkan Bjeounayaka (Founder Videogampil). Obrolan inspiratif ini dipandu oleh Mutia Afianti (Terasmitra).
“Videogampil itu bagaimana membuat video dengan mudah. Videogampil bisa digunakan untuk mengumpulkan cerita-cerita dari lapangan. Yang penting adalah struktur bercerita video. Ada pembuka, ada isi, dan penutup. Videogampil tidak lebih dari satu menit. Tantangannya memang membuat video dalam 1 menit. Buat teman-teman muda, yuk kita bikin kelas online.â€, kata Bjeounayaka.
TM Share adalah program yang dibuat Terasmitra atas dukungan GEF SGP (Global Environment Facility-Small Grant Programme) Indonesia sebagai ruang berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam pengelolaan kekayaan alam di Indonesia. TM Share diselenggarakan secara reguler dua kali seminggu melalui platform instagram live dan zoom meeting. Program ini dimulai sejak April 2020, sesaat setelah Covid-19 mewabah di Indonesia.
Sedangkan, Terasmitra adalah perkumpulan lembaga dan komunitas wirausaha mandiri pasca program hibah Global Environmental Facilities Small Grant Programme (GEF SGP). Terasmitra berdiri pada 11 Januari 2011. Anggota Terasmitra tersebar di 12 provinsi, terdiri dari 66 mitra dan 73 komunitas dampingan. Visi Terasmitra yakni menjadi platform layanan yang memberikan dukungan efektif untuk menumbuhkan dan mengembangkan kewirausahaan sosial komunitas demi kesejahteraan warga dan keselamatan lingkungan yang berkelanjutan. RED/BEN