Oleh: Azas Tigor Nainggolan
Putraindonews.com, Jakarta – Banyak isu tentang anjloknya daya beli rakyat dan maraknya PHK akibat masalah ekonomi nasional saat ini. Isu ini juga berdampak pada persoalan paling dekat yakni rakyat menyiapkan fasilitas ekonomi untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri.
Harapan terbesar adalah adanya tunjangan hari raya (THR) bagi para pekerja saat ini. THR juga menjadi harapan para pengemudi ojek online. Sampai menteri, wakil menteri, anggota DPR dan pakar transportasi ikut memaksa aplikator memberi THR kepada mitra sopir ojek online.
Situasi sekarang memang sedang sulit secara ekonomi. Sekarang ini memang rakyat sedang terpuruk akibat situasi ekonomi nasional yang tidak baik baik saja. Pemerintah harus bertanggung jawab menjaga dan melindungi hidup rakyatnya.
Bahasa kerennya, seperti didengungkan para pejabat bahwa negara harus hadir. Para penjabat, menteri dan terutama wakil menteri tenaga kerja mengatakan bahwa negara harus hadir melindungi para sopir ojek online.
Negara harus hadir, melindungi ojek online diterjemahkan wakil menteri tenaga kerja sebatas pemberian THR pada sopir ojek online? Salah satu cara yang dilakukan menteri tenaga kerja adalah meminta para aplikator agar memberi THR kepada sopir ojek onlinenya. Apakah hanya soal THR yang penting bagi ojek online?
Demi alasan kemanusiaan seharusnya memang demikian, negara harus hadir dan memberi jalan keluar pada akar masalah ojek online.
Persoalannya meminta perusahaan aplikasi (aplikator) harus memberikan THR kepada seluruh pengemudi ojek online mereka tidak menyelesaikan masalah ojek online sesungguhnya.
Masalah sesungguhnya ojek online adalah tidak adanya regulasi hukum pengakuan terhadap ojek online dalam sistem hukum di UU LLAJ No:22 Tahun 2009.
Akibatnya isu THR kepada sopir ojek online terus mengemuka setiap tahun, terutama menjelang Hari Raya Idul Fitri. Isu terus dan tidak terwujud sebagaimana harapan para sopir ojek online.
Gagalnya pemenuhan THR karena para aplikator mengatakan bahwa hubungan bisnis antara aplikator dengan para sopir ojek online adalah sebagai mitra dan bukan hubungan ketenagakerjaan.
Para aplikator beralasan bahwa tidak ada kewajiban secara hukum mereka memberikan THR kepada mitra sopir ojek onlinenya dan tidak diatur dalam UU LLAJ.
Ya memang jika ingin memberikan THR perlu adanya dasar gaji sebagai dasar perhitungan pemberian THR kepada pekerja oleh perusahaan.
Sulit dan perlu dicari adalah dasar perhitungan agar THR tetap bisa diberikan oleh aplikator dan dinikmati sopir ojek online beserta keluarganya. Supaya tidak setiap tahun jadi masalah setiap tahun dengan alasan saya yakni hubungannya hanya mitra bukan sebagai pekerja aplikator maka perlu adanya langkah hukum lebih maju sebagai penyelesaiannya.
Alasan kemanusiaan ini harusnya dilindungi atau diwujudkan dalam regulasi hukum bagi bisnis ojek online. Selain masalah hubungan bisnis yang sebagai mitra, ada soal lain yakni belum diakuinya secara hukum, sepeda motor sebagai alat transportasi publik.
Bisnis transportasi online dan ojek online itu sendiri juga belum diatur di dalam UU No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Kondisi belum diakuinya sepeda motor sebagai transportasi umum dan bisnis ojek online inilah juga yang membuat masalah berlarut.
Pemerintah belum juga merevisi UULLAJ yang belum meregulasi bisnis transportasi ojek online. Hubungan bisnis sebagai mitra ini adalah jalan pintas yang digunakan oleh para aplikator agar bisa melakukan bisnis transportasi online dan ojek online selama ini.
Banyak alasan yang mengatakan bahwa sulit dan tidak mungkin sepeda motor dijadikan alat transportasi umum. Para ahli hukum dan pakar transportasi mengatakan bahwa mereka akan ditertawakan oleh pakar transportasi negara lain jika Indonesia mengakui sepeda motor sebagai alat transportasi umum.
Para pakar juga mengatakan bahwa angka kecelakaan akibat sepeda motor sangat tinggi korbannya sehingga tidak layak dijadikan alat transportasi umum. Layanan transportasi pesawat terbang dan kapal laut dan bus saja yang katanya layak sebagai alat transportasi umum masih sering dan sangat banyak alami kecelakaan.
Coba banyangkan jumlah korban kecelakaan pesawat terbang? Sekali saja terjadi kecelakaan pesawat terbang korbannya ratusan orang. Begitu pula jika kapal laut alami kecelakaan jumlah korbannya ratusan orang.
Kecelakaan bus di Indonesia banyak terjadi dan korbannya puluhan orang. Kita tahu bahwa regulasi hukum dalam bisnis layanan penerbangan, transportasi kapal laut dan bus sudah sangat maju dan sesuai standar internasional.
Kenapa tetap terjadi kecelakaan? Semua bisnis layanan transportasi umum tersebut terjadi karena pemerintahnya tidak menjalankan regulasi hukum yang ada.
Jika pemerintahnya menjalankan fungsi pengawas dan penegak hukum sebagaimana dimandatkan oleh sistem hukum maka maka angka kecelakaan bisa ditekan dan dikendalikan.
Adanya pengawasan dan penegakan regulasi maka dapat dicegah kecelakaan transportasi umum apa pun. Aparat hukum yang bekerja baik maka membentuk budaya hukum baru yakni sadar hukum, tertib dan disiplin dalam menjalankan bisnis transportasi umum. Dasar pertimbangan inilah maka pentingnya sistem hukum Indonesia mengatur bisnis ojek online.
Mana lebih memalukan para pakar hukum dan transportasi dengan kondisi korupsi parah di Indonesia yang mengakibatkan banyak terjadi kecelakaan transportasi umum di Indonesia? Mengapa harus malu ditertawakan oleh pakar transportasi negara lain karena Indonesia mengakui sepeda motor sebagai angkutan umum?
Korupsi di Indonesia sudah sangat parah sekarang ini termasuk korupsi di sektor transportasi, apakah para pakar hukum dan transportasi Indonesia tidak malu? Perusahaan transportasi Abal Abal bisa dapat izin usaha karena bayar membeli izin.
Truk logistik yang sudah kelebihan muatan dan dirubah body (obesitas) bebas beroperasi di jalan raya karena bisa bayar aparat penegak hukum mengawal mereka. Selama ini sudah ratusan kecelakaan dengan korban sangat banyak akibat operasional truk obesitas tersebut.
Banyak lagi korupsi di sektor transportasi yang melibatkan aparat hukum dan pengusaha transportasi publik di Indonesia. Regulasinya ada tetapi bisa dan biasa tidak perlu dipatuhi karena para pengusaha atau operator angkutan umum bisa bayar dan bayar.
Persoalannya juga kita sudah 15 tahun mendiamkan bisnis ojek online ini. Jumlah ojek online di seluruh Indonesia saat ini jumlahnya sudah ada sekitar 6 juta unit.
Apakah dengan kondisi seperti ini para pakar transportasi tidak punya rasa malu? Kemana kalian para pakar transportasi selama 15 tahun ini? Hingga sekarang sudah 6 juta ojek online bisa beroperasi bebas mengaspal di jalan raya tanpa regulasi hukum yang mengaturnya?
Pilihannya sekarang hanya ada melarang atau mengakui sepeda motor sebagai angkutan umum dan bisnis layanan ojek online. Kalo mau melarang karena malu dengan negara lain, mari kita larang dan gusur saja ojek online seperti yang dilakukan kepada becak di Jakarta?
Atau mari kita atur roda dua sepeda motor sebagai alat transportasi umum dan mengakui bisnis ojek online agar memberi layanan yang berkeselamatan dan nyaman serta mensejahterakan semua pelaku juga pengguna bisnis ojek online.
Saat ini sedang berlangsung proses revisi terhadap UU LLAJ di DPR RI. Salah satu isu hangat dalam pembahasan revisi UU LLAJ ini adalah keberadaan bisnis transportasi online, khususnya ojek online.
Topik ojek online jadi pembahasan khusus karena melibatkan penggunaan sepeda motor roda dua yang belum diakui secara hukum sebagai alat transportasi umum. Proses revisi UU LLAJ jadi kesempatan bagi kita jika ingin memperbaiki dan memecahkan masalah tentang keberadaan bisnis ojek online di Indonesia.
Peran bisnis ojek online oleh aplikator Gojek, Grab, Maxim dan inDriver dan lainnya sudah banyak memberi pengaruh dalam sektor ekonomi, sosial dan transportasi.
Begitu pula kontribusi perusahaan aplikator pada pembangunan perekonomian nasional dan perhatian mereka kepada para pengemudi sebagai mitranya dan keluarga serta pengguna transportasi online.
Ada juga persoalan yang dirasakan berat oleh para sopir ojek online adalah besaran komisi aplikator hingga 25% dari tarif setiap order yang dikerjakan sopir ojek online.
Pemerintah tidak bisa berbuat banyak ketika aplikator menerapkan tarif murah, potongan komisi aplikator yang tinggi, minim perlindungan dari tindakan putus mitra aplikator secara sewenang-wenang kepada sopir ojek online.
Tarif transportasi online adalah tarif angkutan non ekonomi, jadi bukan diatur atau ditetapkan oleh pemerintah besarannya. Tarif angkutan non ekonomi dilepas kepada pasar, pemerintah hanya bisa sebatas menentukan tarif batas atas dan batas bawah.
Jika transportasi online, ojek online diakui oleh regulasi hukum dalam UU LLAJ maka pemerintah bisa mengawasi tidak terlalu rendah tarifnya dengan otoritas membuat sistem tarif Batas Bawah dan Batas Atas.
Semua kelemahan ini yang berakibat memunculkan sengketa sopir dengan aplikator, tuntutan THR untuk sopir ojek online. Jelas sekarang masalah utama bisnis ojek online adalah tidak diakuinya sepeda motor sebagai alat transportasi umum dan belum diakuinya bisnis ojek online oleh UILLAJ.
Kondisi belum diakuinya ojek online ini menunjukkan tidak adanya Kepastian Hukum bisnis ojek online di Indonesia sehingga melemahkan posisi pemerintah di hadapan aplikator dan merugikan masyarakat.
Posisi pemerintah yang hanya menggantung regulasi mengatur bisnis ojek online pada regulasi hukum tingkat Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) yang tidak diatur dalam UU LLAJ ini sangat memalukan.
Bagaimana bisa tidak malu, membiarkan bisnis ojek online selama 15 tahun dan jumlah sudah sekitar 6 juta unit tanpa ada regulasi hukum yang mengakui agar dapat mengawasi bisnis ojek online di Indonesia.
Perusahaan aplikasi transportasi online yang sekarang beroperasi di Indonesia saat ini belum dan bukan perusahaan angkutan umum sebagai mana dimandatkan okeh UU LLAJ yang ada.
Perusahaan aplikasi hanya sebagai aplikator, pemilik dan pengelola sistem atau teknologi aplikasi yang digunakan bermitra dengan para sopir ojek online.
Masalah tidak adanya pengakuan hukum bisnis ojek online ini yang harus dibereskan lebih dulu dan diatur dalam Revisi UU 22/2009. Adanya pengakuan hukum maka akan ada Kepastian Hukum dan perlindungan bisnisnya, penggunanya, pengemudinya juga perusahaan yang bisnis terkait dengan sistem transportasi online dan ojek online.
Sebuah kepastian hukum atas bisnis transportasi online akan memberikan ruang otoritas kepada pemerintah dan negara hadir secara benar dan dapat membangun rakyatnya terutama para stakeholder atau pelaku bisnis transportasi online yakni, perusahaan aplikasi, perusahaan angkutan online, sopir transportasi online dan pengguna transportasi online.
Jadi revisi UU LLAJ 22/2009 harus mengakui secara hukum bisnis transportasi online dan ojek online dan memberi pemenuhan perlindungan kepada seluruh rakyat Indonesia. Secara khusus melindungi para stakeholder yang terlibat dalam bisnis layanan transportasi umum online dan ojek online.
Pemerintah sebagai regulator yang harusnya mengawasi bisnis ojek online atas dasar otoritas yang diberikan oleh UU LLAJ. Jika ada regulasi yang memberikan pengakuan hukum maka Pemerintah bisa tegas dalam mengawasi bisnis ojek online.
Pengawasan pemerintah tidak dapat ditolak oleh para aplikator karena memiliki dasar mandat dari UU LLAJ. Keberadaan regulasi hukum ojek online akan bisa didapat jika sepeda motor diakui oleh UI LLAJ sebagai alat transportasi umum.
Sepeda motor jika memiliki dasar hukum operasional sebagai alat angkutan umum maka akan memudahkan memberikan Kepastian Hukum bagi bisnis ojek online. Adanya regulasi yang mengakui bisnis ojek online sebagai wujud dan bukti kehadiran Negara dan komitmen untuk melindungi rakyatnya serta semua stakeholder bisnis transportasi online.
Penulis adalah Analis Kebijakan Transportasi