Oleh: Yakub F. Ismail
Putraindonews.com, Jakarta – Fenomena banjir memang peristiwa alam (sunatullah) yang di luar kuasa manusia untuk menghindarinya. Banjir merupakan bagian dari bencana alam yang terjadi hampir di seluruh bagian permukaan bumi tempat manusia berada.
Sejak dahulu, banjir memang sudah ada karena ia merupakan proses alamiah sebagai wujud kerja kosmik. Itulah mengapa setiap hari selalu saja kita saksikan bencana ini melanda berbagai tempat kala terjadi hujan dengan intensitas tinggi.
Mereka yang menolak banjir sama halnya dengan menafikan kerja alam. Ini seperti mengingkari kerja metabolisme dalam tubuh.
Jika dalam tubuh manusia, setiap makanan yang dikonsumsi akan diubah menjadi energi lalu sisa-sisa makanan yang tidak lagi diperlukan oleh tubuh dikeluarkan dalam bentuk feses.
Seperti halnya kerja organ dalam sistem metabolisme, alam pun memiliki mekanisme tersendiri dalam melakukan segala aktivitasnya demi menjaga fungsi keseimbangan kosmiknya.
Lantas, apa yang salah dengan banjir?
Takdir vs Ikhtiar
Jika kita meyakini bahwa setiap hukum-hukum Allah yang mewujud dalam bentuk fenomena alam adalah suatu ketetapan dari Sang Pencipta yang tak satupun bisa menegasikan, maka tidakkah Allah juga memberikan segala potensi dalam diri manusia berupa kemampuan mengubah kondisinya demi mencegah malapetaka yang melanda?
Kemampuan manusia untuk mengubah nasib sebelum qadarullah itu benar-benar tejadi disebut dengan istilah ikhtiar.
Manusia sejatinya diciptakan Allah dengan segala potensi yang dimiliki berupa pengetahuan dan kehendak untuk mengatur segala yang ada di muka bumi sesuai ketentuan-Nya.
Dalam artian, manusia sebetulnya punya kesempatan untuk mencegah atau mengantisipasi sebelum ketetapan/takdir itu terjadi. Karena itu, manusia diharuskan untuk berusaha/berikhtiar terlebih dahulu sebelum menyerahkan segala sesuatu kepada Sang Maha Pencipta (tawakal).
Sikap berserah diri kepada Tuhan YME adalah sikap tunduk dan patuh terhadap Sang Pencipta. Dalam Islam ini dikenal sebagai sikap tawakal yang merupakan esensi dari keber”Islam”an itu sendiri. Sebab kata “Islam” bermakna pasrah, patuh, tunduk, taat atau berserah diri.
Namun, konsep berserah diri ini jangan sampai disalahartikan sebagai konsep pasif. Hal ini yang banyak disalahmengertikan orang. Islam sendiri tidak menganjurkan penganutnya untuk berpasrah sebelum berbuat atau ikhtiar.
“Sehingga cenderung menyerahkan segala sesuatu pada takdir sebelum ia sendiri bertindak untuk mengubah hasil itu.”
Lalu, bagaimana dalam menyikapi fenomena banjir menahun yang kerap melanda wilayah Indonesia, khususnya wilyah Jabodetabek akahir-akhir ini?
Selaras dengan penjelasan di atas, maka bisa dikatakan bahwa peristiwa banjir yang terjadi hari-hari ini merupakan ujian dari Allah kepada hambanya untuk senantiasa mengingat dan bersujud kepada-Nya.
Namun, dalam menyikapi persoalan ini, pemerintah selaku pembuat kebijakan juga jangan sampai terjebak pada sikap tunduk dan patuh terhadap fenomena alam tanpa didasari ilmu pengetahuan dan sikap aktif untuk menghindari marabahaya yang datang.
Perkembangan sains dan teknologi sebagai hasil ikhtiar manusia dalam menyiasati gejala alam adalah puncak tertinggi peradaban manusia masa kini berkat pengoptimalan potensi yang diberikan Allah.
Untuk itu, mengabaikan sains dan teknologi demi mencegah banjir adalah sebuah sikap yang tidak dibenarkan.
Siasat Pembuat Kebijakan
Sebagaimana jamak diketahui bahwa wilayah Jabodetabek merupakan daerah yang hampir setiap tahun dilanda banjir dengan derajat kerusakan yang terbilang parah.
Namun, rupanya peristiwa yang sudah hampir diprediksi selalu terjadi di momen-momen tertentu ini tidak pernah terantisipasi dengan baik.
Ini sama halnya dengan seseorang yang kerap jatuh di lubang yang sama, tapi tidak pernah berpikir atau berupaya untuk mencari alternatif jalan yang lain. Sehingga, setiap saat ia terus-terusan terperosok.
Setiap datang dan pergi pemimpin (baca: kepala daerah), janji tentang penanganan banjir menjadi komoditas politik yang laku keras di masyarakat.
Susunan dan rencana program dari A-Z coba diproklamirkan demi meyakinkan masyarakat terkait langkah strategis mencegah dan mengantisipasi banjir.
Namun, seperti lagu lama yang terus diputar kembali dari waktu ke waktu, janji yang sama pun terus tinggal janji.
Tampak tidak ada perubahan berarti dalam upaya menyiasati fenomena banjir ini sehingga rakyat bisa benar-benar hidup tenang tanpa “was-was” saat musim penghujan datang.
Bahkan, karena kegagalan dalam mengantisipasi banjir, nikmat terbesar Allah berupa turunnya hujan berubah menjadi bencana.
Alhasil hujan yang tadinya membawa manfaat besar untuk kebutuhan bagi makhluk hidup di muka bumi untuk kesuburan tumbuhan dan keberkahan alam dianggap sebagai sebuah malapetaka yang ditolak kedatangannya. Naudzubillah.
Sejatinya masyarakat percaya bahwa pemerintah dari waktu ke waktu ada upaya untuk mencegah terjadinya banjir, namun yang menjadi pertanyaan mengapa upaya tersebut tidak banyak memberi perubahan atau solusi berarti?
Padahal, waktu yang dihabiskan untuk menyiasati fenomena alam dengan dampak kerusakan yang luar biasa ini begitu lamanya. Bahkan, sudah berapa triliunan anggaran dihabiskan untuk upaya preventif. Tapi, hasilnya mengapa tidak maksimal? Adakah yang keliru di sana?
Berkat ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat saat ini sudah bisa memprediksi kapan akan terjadi hujan dan banjir, bahkan dengan tingkat keakuratan yang sangat tinggi.
Sehingga muncullah berbagai teori tentang musim atau siklus banjir ini. Dalam konteks banjir di Jabodetabek, bahkan muncul anggapan siklus banjir lima tahunan.
Anggapan siklus 5 tahunan muncul, lantaran kebetulan bencana banjir besar terutama di Jakarta terjadi dalam kurun 5 tahun. Salah satunya saat terjadi banjir besar di Jakarta tahun 2002 dan 2007.
Jika demikian, apa bentuk antisipasinya? Bagaimana langkah antisipasi pemerintah dalam menyiasati banjir setiap tahun dan setiap lima tahun ini, misalnya?
Informasi yang beredar di masyarakat sejauh ini soal penanganan dan antisipasi banjir ini berupa pemasangan alat deteksi volume banjir di setiap titik aliran sungai, pengerukan endapan dan pelebaran badan sungai serta pembangunan turap atau dinding sungai untuk menahan terjadinya pengikisan.
Tapi, dari waktu ke waktu masalah yang sama tetap terjadi dan nyaris tidak begitu terlihat dampak signifikan dari langkah antisipasi ini.
Alhasil, masyarakat dari tahun ke tahun selalu dilanda banjir. Sesuatu yang semestinya tidak lagi tejadi karena antisipasi yang telah dilakukan jauh-jauh hari oleh pengambil kebijakan.
Kalau peristiwanya terjadi setiap 100 tahun sekali atau dalam pola yang tidak terduga, barangkali masih bisa kita maklumi. Tapi jika gejala banjir ini terjadi rutin setiap tahun dengan pola yang bisa diramal secara pasti dan akurat, maka ini sungguh luar biasa. Pantas dan layak untuk dipertanyakan komitmen kita dalam menyiasati banjir ini seperti apa.
Memang kalau dilihat secara komprehensif, penyebab banjir tidak bisa ditafsirkan secara tunggal. Dengan kata lain, masalah ini tidak sepenuhnya menjadi pemerintah para penentu kebijakan. Sebab, masyarakat juga turut andil dalam memicu peristiwa bencana ini seperti membuang sampah tidak pada tempatnya, jarang membersihkan lingkungan sekitar hingga kurang kesadaran untuk pencegahan dini banjir.
Ada banyak faktor penyebab namun secara garis besar bisa dibagi dalam dua aspek. Pertama, faktor alam yang meliputi curah hujan tinggi, tinggi rendahnya daratan, volume air yang besar, runtuhan batuan, luapan lumpur, hingga daerah resapan air yang tidak bekerja maksimal.
Sementara, kedua faktor ulah manusia. Ini mencakup penebangan hutan liar, membuang sampah sembarangan, membangun bangunan di daerah resapan air, membangun pemukiman di tepi kali, alih fungsi lahan hijau menjadi bangunan atau jalan, kurangnya tutupan lahan, sistem drainase yang tidak memadai, dan penggunaan air tanah berlebihan.
Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia