Bincang Ekosistem Teater di Dewan Kesenian Makassar (DKM): Tak Bisa Lagi Seperti Teater Ember Bocor

“Untuk menjadi manusia yang lebih bernilai, lebih bermakna dan manusia bersantan, yakni manusia plus, maka perbanyak dan ciptakan kantong-kantong atau ruang-ruang pencerdasan melalui dialog-dialog dan diskusi-diskusi agar kamu tidak ketinggalan,” kata M Juniar Arge, Ketua Dewan Kesenian (DKM).

Juniar mengutip pesan ayahnya, Rahman Arge, sebelum Dialog Teater yang digelar DKM di sekretariat organisasi itu di kawasan Fort Rotterdam, Minggu, 26 Oktober 2025. Juniar mengakui bahwa dialog-dialog seperti ini selain mencerahkan juga memberi spirit dan energi bagi DKM.

Rahman Arge (seniman, budayawan, sastrawan, aktor, , dan politisi), semasa hidupnya pernah jadi Ketua DKM. Pria yang benama asli Abdul Rahman Gega itu, bersama Hamzah Daeng Mangemba, Ali Walangadi, Husni Djamaluddin, Arsal Alhabsyi, Aspar Paturusi, Andi Hizbuldin Patunru, Sakka Ali Jatimayu, M Saleh Malombassi, Djamaluddin Latief, dan Mattulada, tercatat sebagai pendiri DKM.

Sebelumnya, kalangan seniman di Makassar terkotak-kotak, dipengaruhi oleh suasana di masa itu. Organisasi-organisasi seniman ada yang berada di bawah organisasi massa dan organisasi politik. Sehingga, tentu saja, masing-masing punya ideologi berbeda, baik berhaluan nasionalis, beraliran agama, maupun kiri.

Satu peristiwa penting terjadi, kala sekira 30an seniman dan budayawan duduk bersama dalam apa yang mereka namakan sebagai “Kamar Pertemuan Seniman”, tahun 1968. Momen bersejarah itulah kemudian yang jadi perekat terbentuknya DKM.

Lembaga otonom yang bertujuan membina kesenian di ini, secara resmi berdiri pada 25 Juli 1969. Sebagai organisasi profesi para seniman, DKM merupakan dewan kesenian tertua di setelah Dewan Kesenian (DKJ), yang berdiri sejak 10 November 1968.

Golden Era Teater di Makassar

DKM dalam sejarahnya punya peran besar mendinamisasi pertunjukan teater di Makassar, dan Sulawesi Selatan. Ditandai dengan Festival Teater I DKM, pada tahun 1971. Lalu pada tahun 1977, kembali digelar Festival Teater II DKM.

Di tahun 1979, namanya bukan lagi Festival Teater DKM. Namun disepakati dengan nama yang diperluas menjadi Festival Teater III se-Sulawesi Selatan. Selanjutnya Festival Teater IV diadakan tahun 1982. Pada tahun 1987, diadakan Festival Teater V DKM.

Menariknya, pada Festival Teater se-Sulawesi Selatan, tahun 1998, penyelenggaraannya dilakukan secara kolabiratif. Ada empat lembaga yang terlibat, yakni Badan Koordinasi Keseniaan Nasional Indonesia (BKKNI), Dewan Keseniaan Sulawesi Selatan (DKSS), Dewan Kesenian Makassar (DKM), dan Taman Sulawesi Selatan.

DKM pernah jadi tuan rumah Pertemuan Sastrawan Nusantara dan Musyawarah Dewan Kesenian yang dihadiri KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika itu, Gus Dur masih merupakan Ketua DKJ. Ulama kharismatik dan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini nanti terpilih sebagai Presiden RI ke-4 (periode 1999-2001).

DKM melahirkan dan membina Teater Makassar yang di masanya, pentas di berbagai panggung teater, termasuk pada skala nasional. DKM menjadi rumah bagi para pelakon dan seniman pertunjukan berlatih, bereksperimen, mementas, berdiskusi, hingga menggelar festival demi festival.

Tampak bahwa ekosistem teater hidup pada era keemasannya. Semangat kompetisi berkarya berjalan berbarengan dengan kolaborasi antar-seniman.

Semuanya terpelihara baik. Paling tidak, itu yang tergambarkan dari ulasan panjang Fahmi Syariff dalam buku Perkembangan Kesenian di Sulawesi Selatan (Sebuah Catatan Seminar) yang diterbitkan Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (1999). Dari yang saya baca, tampak bahwa di masanya, DKM dan teater bagai dua sisi dari sekeping mata uang.

BACA JUGA :   Bisa Jadi Alternatif, Digitalisasi Mampu Pangkas Anggaran Pemilu dan Pilkada Serentak 2024

Selain Teater Makassar, dalam buku “Makassar Doeloe, Makassar Kini, Makassar Nanti”, yang disunting Yudhistira Sukatanya dan Goenawan Monoharto (Yayasan Losari, 2000), diuraikan ada banyak kelompok teater pernah bertumbuh di Kota Anging Mammiri ini.

Antara lain, Teater Angkasa, Teater Latamaosandi, Teater Poseidon, Studi Teater Tambora, Teater Alam, Teater Pangeran, Teater Trotoar, Teater Rumbia, Teater Faksas Unhas, Teater Laku, Teater Stuutgar, Teater Ujung Pandang, Teater Rumpun Artis, Teater Bawakaraeng, Teater Sulawesi, Teater Lolo Gading, dan Teater Hasanuddin–masih lanjutan Teater Ember Bocor, yang sudah ada sejak revolusi fisik.

Masih ada lagi daftar nama-nama kelompok teater, mulai dari Sanggar Merah Putih, Sanggar Adinda, Teater Pilar, Kosaster Unhas, Teater Mekar Buana, Teater Tiga, Teater Semut, Bengkel Gerak Makassar, Teater Papi, hingga Teater Sembilan. Bisa jadi, masih banyak nama lain yang luput saya sebutkan.

Nama-nama kelompok teater ini, ada yang masih hidup, ada yang sayup-sayup terdengar, selebihnya tinggal sejarah. Saya tak banyak tahu kelompok teater, hanya beberapa saja, seperti Sinerji Teater, Sanggar Merah Putih, Kelompok Sandiwara Petta Puang, Kala Teater, Teater Studio, dan Teater Kita.

Saya pernah diperlihatkan arsip-arsip undangan dan brosur pertunjukan teater di Makassar era 1970 hingga 1990an koleksi Goenawan Monoharto di kantornya, Penerbit de La Macca. Dari situ saya dapat menyimpulkan, betapa aktifnya perteateran di Makassar, dalam rentang waktu lebih kurang dua dekade.

Tetamu Dialog Istimewa

Maka saya senang ketika diajak berpartisipasi dalam dialog teater ini. Temanya metaforis. “Curah Hujan vs Akar Rumput: Ekosistem Teater di Makassar”.

Sejatinya, merupakan bahasan yang menarik untuk dibawa ke ruang Focus Group Discussion (FGD), biar lebih dielaborasi, terpetakan secara baik masalahnya, dan ada langkah-langkah konkret yang perlu dilakukan. Itu yang sempat saya kemukakan di awal dialog.

Namun mandat saya, ‘hanya’ moderator, dengan Syam Ancoe Amar dan Angelina Enny, sebagai pemantik dialognya. Format dan setting ruang tak memungkinkan peserta berdialog secara optimal, apalagi durasi waktunya juga terbatas.

Ancoe Amar, saya sebut ordal (orang dalam), karena dia lahir dan besar di Makassar, meski kini banyak berkiprah di ibu kota Jakarta. Pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini aktif di dunia pertunjukan, khususnya teater dan film sebagai aktor, sutradara, dan produser. Peraih penghargaan Best Short Film Air Canada (2019) dan Best Short Film of the Fantastic Women (2022) ini, kerap menjadi juri, pembicara, maupun trainer di berbagai festival, workshop, serta film dan teater.

Angelina Enny, yang saya sapa Enny– setelah menonton tayangan YouTube yang membahas karya-karyanya sebagai penulis–merupakan salah satu pendiri Teater Kedai, Jakarta. Penulis dari Kotabumi, , ini aktif di seni pertunjukan sebagai penulis naskah, aktor, sutradara, dan produser.

Sebagai penulis, Enny punya sejumlah catatan prestasi. Tahun 2021, ide naskahnya, “Malam Kelima Belas” (tentang Kerusuhan Mei 1998), masuk dalam Daftar Panjang Jakarta Film Fund. Di tahun 2024, “Malam Kelima Belas” yang merupakan naskah teater tiga babak, memenangkan Sayembara Naskah Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Penghargaan lain yang diterimanya, yakni salah satu cerita dalam buku “Mencari Sita di Hindia Belanda” (KPG, 2024), memenangkan Piala HB Jassin 2024. Adaptasi novela karya Enny ini, sudah jadi pertunjukan teater, berkolaborasi dengan Ancoe Amar.

BACA JUGA :   Sekolah Rakyat: Pertautan Astacita dan ‘Pengusaha Mengajar’ APINDO

Tentu kehormatan bagi saya ketika diminta oleh Goenawan Monoharto, Komite Teater DKM, memandu dialog teater di DKM oleh DKM pula. Apalagi ini kegiatan pertama yang dihelat oleh DKM, periode 2025-2030, dibawah kepemimpinan Juniar Arge.

Walau sempat ragu, tetapi saya meyakinkan diri bahwa jika bicara ekosistem teater, berarti para penulis, pegiat literasi, dan pewarta warga seperti saya termasuk di dalamnya.

Di hadapan saya, peserta dialog siang itu, sebagian besar merupakan wajah-wajah yang familier bagi saya. Ada Yudhistra Sukatanya, Bahar Merdhu, Mahrus Andis, Ishakim, Luna Vidya, Dr Nurlina Syahrir, Ahmadi Haruna, Baghawan Ciptoning, Dewi Ritayana, Syahril Rani Patakaki, Haeruddin Ahar, dan Goenawan Monoharto. Mereka adalah sutradara, penulis, sastrawan, kritikus sastra, akademisi, perupa, penyair, jurnalis, dan fotografer yang punya kecintaan sama pada dunia teater dan pertunjukan.

Masih banyak nama lain yang merupakan pengurus DKM. Tetamu dialog teater ini merupakan para seniman yang saya tahu telah mendedikasikan sebagian usianya bagi kemajuan kesenian di daerah ini.

Teater Perlu Tertib Manajemen

Aroma romantisme terasa dalam dialog itu. Peristiwa dan komunitas seniman teater disebutkan sebagai jejak sejarah. Bahwa doeloe dengan semangat ’45, mereka bangga berteater. Hanya saja, mengelola teater ala Teater Ember Bocor, sudah bukan zamannya lagi.

Ancoe Amar bersaksi, jauh sebelum kita mengenal ruang publik, teater di Makassar sudah mempraktikkannya. Para pelaku teater di Makassar; kata dia, tidak kekurangan ide dan konsep, bahkan kaya akan konten. Masalahnya, kita butuh tertib organisasi dengan struktur yang jelas. Manajemen teater harus dibenahi agar lebih rapi dan apik.

Sekalipun dia mengaku bagian dari akar rumput, tetapi manakala hendak menadah ‘curah hujan’, maka manajemen teaternya harus dibenahi.

Pemerintah yang digambarkan sebagai curah hujan dalam dialog ini, memang menyediakan Dana Indonesiana untuk Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan kepada para seniman dan pelaku budaya, termasuk kelompok-kelompok teater. Tantangannya, ada sejumlah persyaratan yang mesti dipenuhi. Maklum, untuk memperoleh Dana Abadi Kebudayaan itu perlu transparansi dan akuntabilitas.

Angelina Enny satu suara soal pentingnya membenahi tata kelola manajemen teater. Sekalipun diakui ada ketidakmerataan soal ‘curah hujan’ itu. Pemerintah belum berpihak sepenuhnya, tetapi terkesan hanya terpaku pada kelompok teater yang sudah punya nama.

Ancoe Amar mengenang. Katanya, dahulu, orang-orang datang menonton teater bukan saja ketika pementasan. Bahkan ketika masih berproses, saat latihan di Fort Rotterdam, euforianya sudah terasa.

Mirip anak-anak milenial dan Gen Z yang FOMO di medsos. FOMO (Fear of Missing Out) merupakan fenomena sosial untuk menggambarkan orang-orang yang tak mau ketinggalan pada trend dan keramaian. Mereka tak mau berjarak pada peristiwa. Mereka bahkan mengambil peran sebagai relewan dalam tim kerja dan publikasi.

Butuh empowerment dan kerja kolaboratif guna penguatan teater sebagai institusi maupun seni pertunjukan. DKM dengan track record, sumber daya, dan jejaring yang dipunya, saya yakin mampu segera tancap gas menghidupkan ekosistem teater yang pernah punya nama besar di Tanah Air.

Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Sulawesi Selatan)

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!