Coding dan AI untuk Anak Sekolah: Membangun Pola Pikir Kritis dan Adaptif Sejak Dini

Oleh: Naufal Ahmad Afifi

Di tengah deru perubahan zaman yang ditandai oleh masifnya perkembangan teknologi, pendidikan dasar Indonesia dihadapkan pada satu pertanyaan fundamental: apakah anak-anak kita sudah disiapkan menjadi problem solver yang adaptif dalam dunia yang kian terdigitalisasi? Pertanyaan ini menuntut jawaban yang tak lagi spekulatif, melainkan konkret—berupa kebijakan yang progresif, pendekatan pedagogis yang futuristik, dan kemauan kolektif untuk keluar dari paradigma lama pendidikan yang hanya berorientasi pada reproduksi pengetahuan. Landasan yuridis atas pentingnya integrasi Coding dan Artificial Intelligence (AI) dalam pendidikan dasar dapat ditelusuri dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menegaskan bahwa pendidikan harus mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang kreatif, mandiri, dan mampu berkontribusi dalam peradaban global (UU Sisdiknas, 2003). Secara historis, pasca-reformasi pendidikan kita telah melewati beberapa gelombang kurikulum—dari Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004, Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka—namun pengintegrasian teknologi belum menjadi pilar utama.

Secara filosofis, Paulo Freire pernah mengatakan bahwa pendidikan harus membebaskan manusia, bukan menjadikannya objek teknologi. Maka, literasi digital dan kemampuan berpikir komputasional adalah bentuk pembebasan baru dari keterjebakan pada teknologi pasif yang hanya menjadikan siswa sebagai pengguna (Freire, 1970). Sementara secara sosiologis, pengenalan coding sejak dini adalah jawaban atas kesenjangan digital (digital divide) antara anak-anak yang memiliki akses teknologi dan mereka yang tidak. Ini soal keadilan sosial dalam dunia digital.

Evaluasi Kompetensi dan Relevansi Kurikulum Abad 21

Salah satu langkah paling strategis dalam menghadapi tantangan pendidikan di era digital adalah melakukan reformasi pada cara kita mengevaluasi capaian belajar siswa. Di sinilah pentingnya kehadiran Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai pendekatan evaluatif yang lebih selaras dengan kebutuhan abad ke-21. Berbeda dengan Ujian Nasional yang cenderung normatif dan menekankan hafalan, TKA dirancang lebih diagnostik. Ia mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS) seperti pemecahan masalah, logika, dan kemampuan analisis. Ini merupakan lompatan penting, karena kompetensi tersebut adalah jantung dari pembelajaran coding dan eksplorasi kecerdasan buatan (AI)—dua keterampilan yang kini tak bisa lagi dikesampingkan dalam peta pendidikan nasional.

Coding dan AI sesungguhnya bukan sekadar produk teknologi, melainkan cermin dari cara berpikir yang terstruktur dan adaptif. Dalam setiap baris kode, anak-anak diajak berpikir logis, mengidentifikasi pola, memperbaiki kesalahan, dan mencari solusi yang efisien. Inilah bentuk paling konkret dari pembelajaran berbasis proses, bukan hasil. Bahkan, jika kita merujuk pada literatur pengembangan pendidikan abad ke-21, seperti yang dipaparkan oleh Trilling dan Fadel (2009), coding berkontribusi langsung terhadap penguatan empat kompetensi utama: berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi.

Dalam praktiknya, efek positif dari pengenalan coding di usia dini semakin terlihat jelas. Sebuah studi yang baru-baru ini dipublikasikan oleh tim akademisi dari Reforma (Febriantoro et al., 2024) menunjukkan bahwa siswa sekolah dasar yang dikenalkan pada pemrograman visual seperti Scratch, serta diajak bereksperimen dengan teknologi berbasis AI seperti ChatGPT, mengalami peningkatan signifikan dalam kemampuan berpikir sistematis dan problem solving. Bahkan dalam data kuantitatif yang disajikan, rata-rata siswa yang mengikuti program pengenalan coding ini mencatat peningkatan skor pemecahan masalah hingga 22% dibandingkan kelompok kontrol yang tidak mendapat intervensi serupa. Tak hanya itu, mereka juga menunjukkan peningkatan dalam aspek non-kognitif, seperti rasa percaya diri, daya juang belajar (resilience), dan pola pikir berkembang (growth mindset).

Fenomena ini sejalan dengan temuan dalam psikologi perkembangan anak bahwa usia 7 hingga 12 tahun adalah masa keemasan dalam pembentukan kerangka logika dan kemampuan kognitif. Jika periode ini diisi dengan pengalaman belajar yang menyenangkan dan menantang seperti logika algoritmik, maka anak akan tumbuh dengan pola pikir sistematis, fleksibel, dan tahan banting dalam menghadapi tantangan kompleks.

Sementara itu, realitas global bergerak dengan kecepatan eksponensial. Laporan dari McKinsey (2023) memperkirakan bahwa sekitar 375 juta pekerjaan secara global akan terdampak oleh otomatisasi dan adopsi AI dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan. Ini artinya, sistem pendidikan yang masih bergantung pada pengulangan hafalan dan prosedur mekanistik tidak lagi relevan. Justru, pendidikan masa depan harus membentuk individu yang mampu memahami sistem, menyusun strategi, dan mengadaptasi diri terhadap ketidakpastian.

Konteks ini semakin diperkuat oleh temuan dalam sebuah publikasi ilmiah oleh MDPI (2023), yang menunjukkan bahwa integrasi teknologi AI dalam proses pendidikan terbukti meningkatkan efisiensi pembelajaran hingga 40%, dan bahkan memperbesar tingkat retensi pengetahuan siswa sebesar 60%. Angka ini bukan hanya statistik, tetapi sinyal bahwa AI dan coding dapat menjadi game-changer dalam dunia pendidikan, terutama bila diimplementasikan dengan tepat.

Sayangnya, banyak institusi pendidikan di Indonesia masih memperlakukan teknologi sekadar sebagai pelengkap, bukan sebagai elemen utama dalam pedagogi. Padahal, justru di sinilah letak kekuatan transformatif AI dan coding. Ia bukan hanya memperkaya metode belajar, tetapi juga mendemokratisasi akses terhadap ilmu pengetahuan yang selama ini terkonsentrasi pada wilayah dan kelompok tertentu. Saat teknologi digunakan sebagai jembatan, bukan sekadar alat bantu, maka kesenjangan pendidikan bisa dipersempit, bahkan ditutup.

BACA JUGA :   Merintih Di Balik Cengkeraman Kemiskinan

Maka, jika benar kita ingin membekali generasi Indonesia dengan keterampilan masa depan, maka transformasi ini harus dimulai dari sekarang. Dan itu berarti menjadikan coding dan AI bukan sekadar tambahan ekskul, tetapi sebagai napas baru dalam sistem pendidikan nasional kita.

Akselerasi Digitalisasi dan Peningkatan SDM Pendidik

Salah satu tantangan paling fundamental dalam transformasi pendidikan digital adalah kualitas dan kesiapan sumber daya manusia pendidik. Guru bukan sekadar penyampai materi, tetapi arsitek pengalaman belajar. Dalam konteks ini, kapasitas guru dalam menguasai dan mengintegrasikan teknologi menjadi penentu utama keberhasilan implementasi kurikulum berbasis digital.

Berbagai kajian menunjukkan bahwa pelatihan digital yang terstruktur dan berkelanjutan memiliki dampak signifikan terhadap kepercayaan diri guru. Dalam sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2023, ditemukan bahwa guru yang mendapatkan pelatihan literasi teknologi secara sistematis mengalami peningkatan keyakinan diri dalam menyampaikan materi digital hingga mencapai 73%. Temuan ini seakan menegaskan bahwa pelatihan bukan hanya soal penguasaan alat, tetapi juga membentuk mindset adaptif terhadap perubahan.

Lebih jauh lagi, pentingnya pengembangan profesional berkelanjutan—atau continuous professional development—dalam ekosistem digital menjadi sorotan para pengkaji pendidikan global. Salah satu tinjauan pada 2024 misalnya, menggarisbawahi bahwa tanpa proses peningkatan kompetensi yang bersifat berkelanjutan, guru cenderung mengalami stagnasi pedagogi yang pada akhirnya menghambat pembelajaran berbasis teknologi di kelas. Maka, pelatihan coding, pemahaman dasar tentang AI, dan pendampingan dalam menyusun kurikulum digital tak lagi bisa dianggap sebagai pilihan, melainkan kebutuhan yang tak terelakkan.

Dampak dari penguasaan teknologi ini juga tercermin dalam hasil belajar siswa. Data yang dirilis oleh salah satu platform edukasi daring nasional pada tahun 2024 mencatat bahwa siswa yang mengikuti program coding secara intensif memiliki skor lebih tinggi dalam Tes Kemampuan Akademik (TKA)—khususnya dalam kategori pemecahan masalah—hingga 18% dibandingkan dengan siswa yang belum pernah terpapar coding. Ini bukan sekadar angka, tetapi representasi nyata bahwa penguasaan coding berdampak langsung terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS) yang kini menjadi standar emas dalam dunia pendidikan global.

Fenomena serupa juga terlihat dalam tren pilihan studi lanjutan. Sebuah laporan media nasional menunjukkan bahwa siswa dari sekolah yang menerapkan kurikulum dengan integrasi teknologi secara menyeluruh cenderung lebih memilih jurusan sains dan teknologi ketika melanjutkan ke jenjang SMA. Ini memberi indikasi kuat bahwa keterpaparan teknologi sejak dini tidak hanya membentuk kemampuan kognitif, tetapi juga membangun orientasi masa depan siswa.

Namun, tanggung jawab atas transformasi ini tak bisa ditumpukan sepenuhnya kepada pemerintah pusat. Justru keberhasilan digitalisasi pendidikan sangat bergantung pada orkestrasi multipihak. Pemerintah daerah, dunia usaha, komunitas digital, hingga orang tua memiliki peran strategis dalam memperkuat ekosistem ini. Salah satu kajian yang menelusuri efektivitas kolaborasi dalam digitalisasi sekolah menemukan bahwa pendekatan berbasis kemitraan antara sektor publik, swasta, dan komunitas mampu mendorong percepatan transformasi dua kali lebih cepat dibandingkan dengan intervensi tunggal dari satu sektor saja. Artinya, sinergi adalah katalis.

Guru tetap menjadi ujung tombak. Namun tanpa dukungan nyata dari pemda yang menyuplai infrastruktur, dari dunia usaha yang menyediakan modul dan pelatihan, serta dari komunitas yang menghubungkan inovasi dengan konteks lokal, maka pembaruan pendidikan digital hanya akan menjadi slogan semata. Perubahan harus bersifat sistemik dan kolektif, bukan sekadar inisiatif parsial. Barulah mimpi pendidikan Indonesia yang cerdas secara digital dan berdaya saing global dapat benar-benar terwujud.

Program Strategis Kemendikdasmen

Di tengah gelombang transformasi pendidikan digital, sebuah langkah penting kembali diukir oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada akhir 2024 lalu, sebuah 2 diskusi strategis digelar dengan tema yang sangat relevan: Kemendikdasmen Bahas Pembelajaran Coding dan AI untuk Siswa Sekolah Dasar dan Percepat Transformasi Digital, Kemendikdasmen Bahas Pembelajaran Coding dan AI untuk Siswa SMP-SMA. Agenda ini bukan sekadar rutinitas birokratik, melainkan refleksi dari kesadaran baru bahwa masa depan pendidikan harus bertumpu pada teknologi yang aplikatif dan inklusif. Diskusi ini juga menjadi titik tolak menuju penyusunan kurikulum nasional yang lebih adaptif terhadap kebutuhan zaman, namun tetap berbasis pada konteks lokal sekolah dan kesiapan ekosistem pendidikannya. Pernyataan Wakil Menteri Pendidikan, Fajar, dalam forum tersebut mengandung muatan yang dalam. Ia tidak hanya berbicara sebagai pejabat, tetapi sebagai visioner yang melihat pendidikan digital sebagai pilar peradaban masa depan. Menurutnya, penguasaan coding dan kecerdasan buatan bukan hanya untuk mempersiapkan siswa menghadapi dunia kerja, tapi untuk memperkuat daya saing bangsa secara menyeluruh. Ini sejalan dengan visi Asta Cita pemerintahan Indonesia yang menekankan pentingnya SDM unggul dalam bidang sains, teknologi, dan pendidikan.

BACA JUGA :   Misteri Pagar Laut, Siapa dan Bagaimana?

Lebih jauh, beliau menegaskan bahwa keberhasilan integrasi teknologi di ruang kelas akan sangat bergantung pada kesiapan guru. Digitalisasi bukan untuk menggantikan peran guru, melainkan memperkaya dan memperluas jangkauan pedagogi. Bahkan menurut beberapa studi, guru yang terfasilitasi oleh teknologi mampu meningkatkan efisiensi pengajaran hingga 35% dan memperbesar retensi belajar siswa sampai 50% (Kemendikbudristek, 2024). Penting juga dicatat bahwa dalam forum tersebut, berbagai masukan dari pemangku kepentingan turut mewarnai proses perumusan kebijakan. Kehadiran pihak-pihak seperti kepala sekolah, praktisi edutech, komunitas pengembang kurikulum, dan bahkan perwakilan guru dari daerah 3T, memberikan warna yang lebih kaya terhadap diskusi. Mereka mengangkat isu nyata di lapangan: keterbatasan perangkat, kurangnya pelatihan guru, hingga disparitas akses internet. Ini menjadi pengingat bahwa kurikulum sebaik apa pun, tanpa pemihakan terhadap konteks sosial dan geografis, hanya akan menjadi dokumen ideal di atas kertas.

Dalam kesempatan itu pula, Staf Khusus Menteri Pendidikan, Muhammad Muclas Rowi, secara terbuka menyampaikan tiga model pendekatan yang kini tengah dipertimbangkan dalam pembelajaran coding dan AI: berbasis internet (online), plugged (menggunakan perangkat digital secara langsung), dan unplugged (tanpa perangkat elektronik, dengan simulasi logika komputasi). Ketiganya dirancang agar bisa menyesuaikan dengan kondisi sumber daya masing-masing sekolah. Ini pendekatan yang menarik—menggabungkan fleksibilitas pedagogi dengan semangat keadilan akses. Karena, seperti yang pernah ditegaskan dalam laporan UNESCO’s Futures of Education (2021), inklusi teknologi hanya akan berhasil jika dirancang secara kontekstual dan tidak seragam.

Maka, kegiatan ini layak dipandang bukan hanya sebagai acara seremonial, tetapi sebagai cerminan semangat baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Di tengah kesenjangan digital yang masih lebar, hadirnya inisiatif seperti ini memberi harapan bahwa negara tidak sedang berjalan mundur, tapi tengah meniti jalan panjang menuju ekosistem pendidikan yang merata dan berbasis masa depan.

Jika rekomendasi yang dihasilkan dari forum tersebut benar-benar diimplementasikan—modul pembelajaran disesuaikan dengan kesiapan guru, kurikulum dirancang adaptif terhadap kondisi lokal, serta kolaborasi lintas sektor diperkuat—maka kita bisa berharap bahwa anak-anak Indonesia dari Sabang hingga Merauke memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh sebagai pemikir digital, inovator, dan pelaku perubahan.

Dan, barangkali inilah yang paling penting: memastikan bahwa penguasaan teknologi tidak hanya menjadi hak segelintir siswa di kota besar, tetapi menjadi bagian dari hak belajar setiap anak bangsa—di manapun mereka berada.

Rekomendasi dan Jalan ke Depan

Sudah waktunya Indonesia berhenti melihat coding dan kecerdasan buatan (AI) sebagai pelengkap pendidikan semata. Kita perlu mulai memperlakukannya sebagaimana kita memperlakukan literasi baca-tulis dan numerasi—sebagai keterampilan dasar abad ini. Dalam kerangka inilah, memasukkan coding dan AI sebagai bagian wajib dalam struktur kurikulum nasional, khususnya di jenjang sekolah dasar kelas tinggi (kelas 4 dan 6) ataupun SMP hinga SMA, bukan lagi sebuah pilihan, melainkan keniscayaan yang tak bisa ditunda.

Langkah ini tentu tidak akan berjalan tanpa dukungan sistemik. Pelatihan guru, misalnya, tidak bisa lagi bersifat tambal sulam atau berdasarkan inisiatif proyek semata. Ia harus menjadi program nasional yang berkelanjutan, terstandardisasi, dan terintegrasi dalam sistem pengembangan karier guru. Bahkan lebih dari itu, perlu diberikan insentif khusus, seperti tunjangan digital atau sertifikasi khusus teknologi pendidikan, sebagai bentuk apresiasi dan pendorong profesionalisme guru dalam menyongsong era baru pendidikan.

Namun tanggung jawab ini tidak bisa hanya dibebankan di pundak pusat. Pemerintah daerah memegang peran kunci dalam memastikan bahwa semangat digitalisasi pendidikan tidak berhenti di kota besar saja. Mereka perlu menyusun peta jalan digitalisasi pendidikan yang kontekstual dan inklusif—menggabungkan potensi lokal, tantangan geografis, serta aspirasi komunitas sekolah di daerahnya. Dalam proses ini, kolaborasi dengan sektor swasta dan komunitas edutech bukan hanya bermanfaat, tapi krusial. Dunia usaha dan startup pendidikan lokal dapat menjadi mitra dalam menghadirkan teknologi yang terjangkau, relevan, dan berkelanjutan.

Tapi lebih dari sekadar perangkat atau kurikulum, kita membutuhkan sebuah ekosistem pendidikan teknologi yang hidup—yang tidak hanya mengikuti tren sesaat, tapi juga mampu bertahan dalam pusaran perubahan yang cepat dan tak terduga. Pendidikan berbasis coding dan AI bukan sekadar mencetak generasi yang “melek digital”, tetapi membentuk generasi yang berpikir digital: mampu memecahkan masalah dengan logika sistematis, melihat pola dalam kompleksitas, dan merancang solusi secara adaptif.

Karena pada akhirnya, coding dan AI bukan hanya soal teknologi. Mereka adalah bahasa baru peradaban. Bahasa yang akan menentukan siapa yang menjadi penonton, dan siapa yang menjadi pemain di panggung masa depan. Dan Indonesia, jika ingin menjadi bangsa yang berdaulat di era digital, harus memulainya dari satu titik yang paling fundamental: memastikan bahwa anak-anaknya belajar bukan hanya membaca dan berhitung, tapi juga berpikir secara algoritmik dan menciptakan melalui kode.

Penulis Adalah Mahasiswa & Pengamat Ekonomi dan Pendidikan Jabodetabek Raya

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!