Dari Vatikan ke Pasaman adalah kisah tentang jejak dan warisan agama katolik dan kemanusiaan dalam kasih yang tanpa batas, tanah yang jauh menjadi dekat, dan iman menjelma menjadi tindakan. Sebuah jejak yang menembus waktu di antara hamparan sawah dan hijaunya bukit barisan, terselip kisah yang tak banyak diketahui dunia.
Kisah cinta tanpa syarat yang menembus benua, iman yang menyeberangi samudera. Dari Vatikan yang suci hingga pelosok Pasaman Barat, Sumatera Barat, hadir jejak langkah para pastor dan misionaris Italia yang bukan hanya membawa ajaran Injil, tetapi juga kemanusiaan, pendidikan, kesehatan dan harapan. Di setiap jejak kaki yang tertinggal di tanah ini, ada doa yang tak terucap, ada kasih yang mengakar.
Dari Roma ke Ranah Minang
Kisah Para Pastor Italia dimulai sejak pertengahan abad ke-20, sejumlah imam Katolik dari Vatikan dan Italia datang ke Pasaman Barat —suatu wilayah yang jauh dari hiruk-pikuk metropolitan Roma. Mereka datang bukan sebagai penjajah, bukan pula pelancong, tetapi sebagai pelayan cinta dan pengharapan.
Beberapa nama Pastor yang melegenda adalah Pastor Luigi Galvani, Pastor Nico dan Pastor Corvini S.K. Mereka dikenal sebagai sosok rendah hati dan penuh dedikasi. Bersama rekan-rekannya dari ordo-ordo misionaris, mereka tinggal di paroki-paroki kecil, menyesap kopi dari cangkir bambu, belajar bahasa Minang, dan mencintai masyarakat seperti keluarga sendiri. “Kami tidak datang membawa salib untuk memaksa, tapi membawa tangan terbuka untuk menyembuhkan.” — Pastor Luigi Galvani.
Pastor Corvini, SX, bersama Pastor Nico, berperan dalam mendirikan karya pendidikan di Kampung Dua dan SD Keluarga Kudus (SD Budi Setia) di Kampung I dan SD Keluarga Kudus (SD Budi Setia) di Ophir pada tahun 1969 dan 1970, sebagaimana data dan dokumen Yayasan Prayoga Padang. Kemudian, pengelolaan TK Elisabeth yang sebelumnya dikelola oleh Suster SCMM, bergabung dengan SD Keluarga Kudus pada tahun 2011, membentuk TK/SD Keluarga Kudus.
Pastor Corvini S.K., adalah salah satu sosok paling dikenang dan dicintai, “Sang Gembala” dari Italia yang tinggal di hati masyarakat Pasaman Barat, seorang Imam Katolik dari Italia yang datang dengan semangat pelayanan yang luar biasa. Nama lengkapnya jarang disebut, namun akrab disapa “Pastor Corvini” yang telah melekat sebagai simbol ketulusan dan keteguhan.
Meski kini Pastor Corvini telah kembali ke tanah kelahirannya, atau mungkin telah berpulang ke rumah Bapa, jejaknya masih terasa, sebagai warisan yang tak terhapus zaman. Dalam senyum guru-guru SD Keluarga Kudus (SD Budi Setia), dalam doa pasien di bangsal Rumah Sakit Prayoga, dalam kenangan anak-anak yang kini telah menjadi dokter, guru, dan pemimpin di Pasaman Barat.
“Ia bukan hanya pastor. Ia adalah ayah, sahabat, guru, dan teladan. Corvini bukan sekadar nama. Ia adalah cinta yang pernah berjalan di jalanan berlumpur kampung kami.” — Ungkap seorang alumni SD Budi Setia.
Meskipun Pasaman Barat hari ini mungkin masih jauh dari gemerlap kota besar. Namun dalam kesederhanaannya, ia memiliki warisan tak ternilai, warisan kasih yang dibawa oleh para imam dan misionaris dari jauh, yang jejaknya tertanam dalam setiap senyuman anak-anak sekolah, dalam pelukan pasien yang sembuh, dan dalam pelataran gereja yang terbuka bagi semua. Karena iman bukanlah menara gading, tapi mata air di lembah sunyi. Ia mengalir tanpa pamrih, membasuh siapa pun yang haus kasih.
Jejak dan Warisan yang Ditinggalkan
Mengapa para Pastor dari Vatikan dan Roma Italia yang menetap di Pasaman Barat jejak dan warisan yang mereka tinggalkan terus dikenang. Pertama, karena mereka adalah para pemimpin rohani dan sosial. Para pastor terutama pastor Corvini tidak hanya melayani misa dan sakramen. Ia dikenal sangat dekat dengan rakyat. Dalam catatan banyak umat dan masyarakat lintas iman, ia tak segan membantu membiayai sekolah anak-anak, mengobati yang sakit, hingga turun langsung membangun infrastruktur desa bersama warga. Ia percaya bahwa iman harus nyata dalam tindakan —bukan hanya dalam doa di altar, tapi juga dalam keringat di ladang, tawa di sekolah, dan air mata di rumah sakit. “Iman tanpa perbuatan adalah abu. Maka aku memilih membakar diriku agar orang lain bisa hangat.” —Pastor Corvini S.K.
Kedua, mereka merintis lembaga sosial dan pendidikan. Pastor Corvini turut berperan dalam pengembangan Sekolah Dasar Budi Setia dan beberapa pusat pelayanan umat di bawah Yayasan Prayoga, termasuk fasilitas kesehatan. Ia memperjuangkan agar lembaga-lembaga ini inklusif dan terbuka bagi siapa saja, bukan hanya umat Katolik. Ketegasannya dalam menyuarakan keadilan bagi kaum kecil membuatnya dihormati lintas agama. Bahkan dalam beberapa kesempatan, tokoh adat dan tokoh Islam setempat memanggilnya “Urang tuo jo hati emas.”
Ketiga, mendirikan Sekolah Dasar Keluarga Kudus (Sekolah Dasar Budi Setia) yang merupakan cahaya di tengah gelap. Di tengah keterbatasan akses pendidikan, berdirilah Keluarga Kudus (Sekolah Dasar Budi Setia), sebuah sekolah Katolik yang terbuka bagi siapa saja tanpa melihat agama, suku, atau strata sosial. Sekolah ini menjadi simbol pengharapan bagi banyak anak di Pasaman Barat, terutama di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu.
Di sinilah nilai-nilai universal ditanamkan, cinta kasih, kerja keras, toleransi, dan keadilan. Para guru, banyak di antaranya adalah suster dan relawan yang terinspirasi dari semangat pelayanan misionaris, mengajar dengan hati. Karena pendidikan bukan sekadar huruf dan angka, tapi pembentukan jiwa. Anak-anak dari latar belakang Islam, Kristen, dan adat Minang duduk bersama di bangku yang sama. Sekolah Dasar Keluarga Kudus (Sekolah Dasar Budi Setia) menjadi pelajaran hidup bagaimana pluralitas bisa tumbuh di tanah yang kerap dianggap homogen.
Keempat, mendirikan Rumah Sakit Yayasan Prayoga untuk menyembuhkan dengan kasih. Tak jauh dari sekolah, berdiri Rumah Sakit Yayasan Prayoga, yang dulu hanya berupa klinik kecil, kini telah menjadi pusat pelayanan kesehatan bagi ribuan warga Pasaman. Rumah sakit ini bukan sekadar tempat mengobati tubuh, tetapi juga tempat memanusiakan manusia. Didirikan atas semangat karitatif dan belas kasih, rumah sakit ini menerima pasien tanpa melihat isi dompet.
Banyak warga yang merasakan sentuhan kasih di setiap ruangannya —dari ruang bersalin hingga bangsal bedah. “Kami tak hanya menyembuhkan luka, tapi juga mengusap air mata.” Para suster Prayoga, dalam balutan seragam putih yang bersih, bekerja siang dan malam. Mereka adalah simbol cinta yang berjalan, senyum yang menyembuhkan, dan doa yang hidup dalam tindakan.
Penutup
Pasaman Barat Mendunia sudah sejak lama, kini tersisa catatan jejak dan warisan yang ditinggalkan. Meskipun kini, dunia mungkin tak banyak tahu tentang Pasaman Barat. Tapi dari sinilah, dunia pernah disentuh oleh tangan-tangan kasih dari Italia dan Vatikan. Dari para pastor yang datang dengan hati, sekolah yang mendidik dengan cinta, hingga rumah sakit yang menyembuhkan dengan kelembutan.
Para pastor dari Vatikan dan Italia —termasuk Pastor Corvini— bukan hanya bagian dari sejarah Katolik di Pasaman Barat, mereka adalah bagian dari jiwa Pasaman itu sendiri. Mereka datang, mereka mencinta, dan mereka tinggal dalam hati masyarakat, bukan karena dogma, tapi karena kemanusiaan dan kasih.
Kasih itulah yang menjadikan Pasaman Barat mendunia, bukan karena gemerlapnya, tapi karena cinta yang mengakar dari langit ke bumi. Untuk semua imam, suster, guru, dan relawan yang pernah menginjakkan kaki dan meninggalkan cinta dan kasih di tanah Pasaman Barat. Jejak kalian abadi, tak hilang ditelan waktu dan zaman.
Oleh: Wahyu Triono KS
Penulis Adalah Akademisi dan Praktisi Kebijakan Publik, Founder CIA dan LEADER Indonesia. Tenaga Ahli Dekonsentrasi Tugas Pembantuan dan Kerja Sama Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri.