Publik tanah air dikejutkan oleh kabar mundurnya Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara, Joao Angelo De Sousa Mota. Fenomena ini dengan cepat memantik perbincangan publik.
Beragam spekulasi pun bermunculan terkait penyebab mundurnya Joao Angelo dari jabatannya yang sangat strategis. Beberapa informasi yang berkembang menyebutkan bahwa salah satu alasan kemunduran itu yakni tidak turunnya anggaran dari Danantara untuk kebutuhan operasional perusahaan.
Sebagian menganggap peristiwa ini menandai adanya persoalan manajemen di tubuh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang sedang tidak baik-baik saja.
Sementara itu, beberapa lainnya memandang kasus ini sebagai hal wajar dalam dinamika sebuah pemerintahan yang tergolong masih sangat baru (berjalan).
Tulisan ini mencoba membedahnya dalam dua sudut pandang: pertama, melihat persoalan ini sebagai sesuatu yang lumrah dan bahkan normal saja dalam proses pemerintahan; kedua, menempatkannya sebagai alarm penting yang perlu respons serius agar tidak menimbulkan bola liar yang menggangu agenda strategis nasional.
Dinamika Biasa
Tidak dapat dipungkiri bahwa rotasi kepemimpinan dalam sebuah organisasi badan usaha, dalam hal ini BUMN yang mendapat mandat strategis dari pemerintah adalah sesuatu yang sangat sering terjadi.
Gejala ini tidak mengenal siapa presiden atau pemimpin yang sedang menakhodai sebuah negara. Dalam konteks pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang baru berusia belum genap setahun, perubahan di level pucuk pimpinan perusahaan pelat merah harus dipandang sebagai bagian dari dinamika penyesuaian untuk mencari kemantapan.
Jadi, ini tidak perlu disikapi berlebihan, apalagi sampai menyebutnya sebagai suatu fenomena struktural yang punya implikasi serius terhadap pemerintahan.
Hemat saya, mundurnya Joao Angelo De Sousa Mota, dengan alasan yang disebut di depan (jika memang demikian situasi riilnya), sesungguhnya bukanlah indikasi tunggal dari kegagalan manajemen pemerintahan.
Justru, dengan adanya kasus ini, menandakan pemerintahan sedang berjalan positif, sehingga ketika terjadi hal-hal yang tidak seirama dengan sistem, maka dengan sendiri akan terjadi rekoreksi (perbaikan otomatis).
Harus diakui bahwa untuk tahap awal pemerintahan Prabowo-Gibran ini, pemerintah masih sedang berada dalam fase penataan, pemetaan masalah, konsolidasi kebijakan dan adaptasi sistem.
Jadi, dalam periode transisi semacam ini, sangat wajar ketika yang terjadi adalah gesekan, ketidaksinkronan antara elemen, perbedaan visi, atau bentuk-bentuk ketidakharmonisan lainnya. Termasuk dalam hal ini masalah aliran anggaran dengan rencana operasional lembaga atau perusahaan yang mendapat penugasan strategis.
Di banyak tempat, fenomena pergantian kepemimpinan di awal masa pemerintahan seringkali terjadi karena sistem sedang beradaptasi. Sehingga, dinamika internal begitu cair dan mudah berubah.
Karena itu, publik sebaiknya membaca situasi ini dengan perspektif yang lebih rasional dan proporsional. Dalam artian, tidak semua rotasi pimpinan strategis merupakan sinyal negatif sebuah sistem. Boleh jadi, ia menunjukkan adanya mekanisme koreksi yang berjalan normal.
Bahkan, kalau dilihat dari sisi positifnya, langkah pengunduran diri seorang pemimpin ketika merasa dirinya tidak sanggup menjalankan tugas dan kewajibannya entah karena disebabkan oleh kendala anggaran, perbedaan visi dan strategi, atau juga berbagai alasan profesional lainnya, adalah suatu bentuk tanggung jawab dan kebesaran hati yang harus diapresiasi.
Keputusan sepert ini tentu saja jauh lebih baik daripada memaksakan diri untuk tetap bertahan tanpa kemampuan memenuhi target yang diberikan.
Alarm Penting
Meski ini hanya fenomena biasa, respons tepat dan strategis sangat diperlukan untuk mengambil langkah-langkah cepat mengatasi kondisi yang ada.
Biar bagaimanapun, peran strategis PT Agrinas Pangan Nusantara tidak bisa dianggap remeh. Sejak awal, perusahaan ini digadang-gadang menjadi salah satu ujung tombak dalam agenda besar Presiden Prabowo Subianto memperkuat swasembada pangan nasional.
Dengan begitu, mundurnya Dirut pada fase awal justru mengirimkan sinyal buruk yang perlu disikapi secara serius dan bijak.
Apalagi, salah satu alasan dibalik pengunduran diri Dirut ini yakni masalah tidak turunnya anggaran dari Danantara. Artinya, kalau memang informasi ini benar sebagai penyebab, maka ada indikasi kuat masalah koordinasi dan juga sinkronisasi kebijakan lintas institusi.
Kita tentu juga harus melihat sisi negatif dari persoalan ini, karena jika ini dibiarkan tanpa tindak lanjut yang jelas, dikhawatirkan berpotensi menjadi ‘bola liar’ yang dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang berniat menggiring opini negatif.
Jangan sampai gara-gara masalah ini, publik jadi meragukan kemampuan pemerintah dalam mengelola program-program prioritas seperti program ketahanan pangan ini.
Sampai saat ini, publik Tanah Air masih optimistis pemerintahan Prabowo-Gibran dapat merealisasikan visi ketahanan pangan yang dicanangkan pemerintah.
Ketika masalah ini terus berkembang dan menjadi opini negatif di kalangan masyarakat maka, efek domino runtuhnya kepercayaan terhadap program strategis lainnya pun bisa saja terjadi.
Untuk itu, respons cepat, tepat, dan terbuka akan menjadi keputusan penting yang jangan sampai terlambat diambil.
Paling tidak, pemerintah segera memberikan klarifikasi dan memastikan bahwa pengunduran Dirut Agrinas ini tidak akan mengganggu kesinambungan program, dan tidak akan mengurangi komitmen terhadap target yang telah ditetapkan.
Penunjukan pengganti yang memiliki kapasitas, kompetensi, dan intergitas akan menjadi langkah awal untuk menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Pada akhirnya, pengunduran diri Joao Angelo De Sousa Mota dapat dibaca dari dua sisi yang sama-sama penting.
Bahwa di satu sisi fenomena ini termasuk bagian dari dinamika biasa dalam sebuah pemerintahan yang baru memulai kerjanya.
Namun, di sisi lain, di mana penyesuaian personalia dan kebijakan adalah hal lumrah. Namun dari sisi yang lain, ini adalah alarm dini yang menjadi peringatan penting bahwa agenda strategis, terutama menyangkut pangan, tidak boleh terganggu dinamika maupun masalah apapun.
Untuk itu, pemerintah harus menjadikan peristiwa ini sebagai bahan evaluasi menyeluruh untuk kembali memperkuat sistem tata kelola pemerintahan ke depan.
Oleh: Yakub F. Ismail
Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia