Oleh: Wahyu Triono KS
Kebebasan berbicara bukanlah kebebasan tanpa tanggung jawab. Ia adalah hak yang diiringi kesadaran akan akibatnya. Setidaknya begitulah kesadaran yang setiap waktu musti tumbuh dalam diri siapa saja saat berselancar di dunia maya.
Dunia yang nyaring di dunia maya, semua bersuara, yang bijak, yang sembrono, yang pakar, yang sekadar lewat dan berkelakar, yang tahu duduk perkara, dan yang hanya ingin didengar. Di medan luas bernama media sosial, kata-kata meluncur lebih cepat dari niat. Opini datang tanpa permisi, dan tak semua punya rumah logika untuk ia kembali.
Kebebasan yang Membius
Media sosial memberi panggung yang tak pernah tidur. Siapa pun bisa bicara, tentang apa pun, kepada siapa pun. Namun, apakah setiap suara perlu disebar? Apakah setiap pandangan layak diperdebatkan? Apakah semua orang harus menilai, walau tak paham medan, walau belum tahu kedalaman lautan yang ia selami hanya dari permukaan?
“Berbicara itu mudah. Tapi berkata-kata yang bermakna, butuh kedalaman.” Hal ini menyiratkan bahwa meskipun berbicara adalah tindakan yang umum dilakukan, menghasilkan ucapan yang memiliki dampak dan makna mendalam membutuhkan pemikiran dan pemahaman yang lebih dalam.
Berikut adalah beberapa poin yang bisa diuraikan berkaitan dengan ungkapan, “Berbicara itu mudah. Tapi berkata-kata yang bermakna, butuh kedalaman.” Pertama, Kemudahan berbicara. Berbicara adalah keterampilan dasar yang mudah diasah. Setiap orang bisa mengucapkan kata-kata, baik dalam bahasa lisan maupun tulisan.
Kedua, Makna dan kedalaman. Namun, tidak semua perkataan memiliki makna yang dalam. Untuk menghasilkan kata-kata yang bermakna, seseorang perlu memiliki pemahaman yang luas tentang topik yang dibicarakan, serta mampu mengekspresikannya dengan jelas dan efektif.
Ketiga, Proses pemikiran. Mengatakan sesuatu yang bermakna melibatkan proses berpikir yang lebih kompleks. Seseorang perlu mempertimbangkan berbagai sudut pandang, implikasi dari kata-katanya, dan bagaimana kata-kata itu akan diterima oleh pendengar.
Keempat, Pengalaman dan pengetahuan. Kedalaman dalam berbicara seringkali berasal dari pengalaman hidup dan pengetahuan yang luas. Semakin banyak seseorang belajar dan mengalami, semakin kaya pula pemikirannya dan semakin dalam pula kata-katanya.
Jadi, ungkapan tersebut mengingatkan kita untuk “Berbicara Bukan Sekedar Bersuara” atau tidak hanya berbicara, tetapi juga berpikir dan merasakan sebelum berbicara. Tujuannya adalah agar perkataan yang kita ucapkan bisa memberikan dampak positif dan memiliki makna yang mendalam bagi diri sendiri maupun orang lain.
Hari ini, orang merasa merdeka karena bisa bersuara. Tapi lupa bahwa suara pun harus punya arah. Tanpa arah, ia jadi bising. Tanpa dasar, ia jadi riuh tak bermakna. Semua menjadi tanpa kompetensi, tanpa batas. Seolah-olah tak perlu gelar untuk membahas ilmu, tak perlu pengalaman untuk menilai keputusan, kebijakan dan kebijaksanaan, dan tak perlu kewenangan untuk memberi label salah atau benar.
Di kolom komentar, di cuitan cepat 280 karakter, orang menilai seorang profesor seakan ia murid baru. Menuduh pejabat tanpa paham proses. Menggurui ahli tanpa belajar lebih dari judul berita.
Apakah ini kemajuan? Atau sekadar kebisingan yang mengambang di ruang digital? Sajak dunia maya berucap: Ada kata-kata yang meluncur tanpa niat, Ada pandangan yang datang tanpa dasar kuat. Ada hujatan dibungkus pendapat, dan semua merasa layak menyurat. Namun, adakah kita sempat bertanya: “Untuk apa aku bicara? Untuk siapa aku menyapa?” Jika hanya untuk bising belaka.”
Suara yang Bertanggung Jawab
Refleksi terpenting untuk diucapkan saat ini adalah: “Lebih baik diam, dan merenung makna.” Kita tidak menolak kebebasan berbicara. Justru, kita merawatnya. Tapi kebebasan tanpa tanggung jawab adalah benih kekacauan. Berpikir sebelum berkomentar. Belajar sebelum menilai. Memahami sebelum menyalahkan. Itu bukan membatasi, itu memuliakan hak bicara kita.
“Kadang, diam adalah bahasa paling nyaring, dan kata-kata, jika tak dijaga, hanya gema yang hilang arah saja.” Di zaman ketika segala suara berlomba melampaui keheningan, dunia maya menjadi panggung tempat tiap individu dapat bersuara sepuasnya.
Kata-kata mengalir cepat, menyusuri lorong algoritma dan menyentuh ribuan mata dalam hitungan detik. Tapi di balik kebebasan itu, terselip pertanyaan mendasar: Apakah suara kita mencerminkan tanggung jawab? Ataukah hanya gema yang membisingkan ruang jagat dunia maya?
Kita hidup dalam era ketika opini dapat diketik lebih cepat dari rasa yang dirasakan. Di balik layar, tanpa tatap mata dan detak jantung, seseorang bisa melontarkan kata sekeras peluru, tanpa sadar luka yang ditinggalkannya.
Padahal, “Tak semua yang bisa dikatakan, harus diucapkan. Tak semua yang ingin didengar, perlu diungkapkan.” Kebebasan berekspresi memang hak. Tapi seperti api, suara pun bisa menghangatkan atau membakar. Maka, dalam berkomentar, berbagi cerita, atau menyuarakan pendapat, hendaknya kita bertanya pada hati: Untuk apa aku berkata? Apa maknanya bagi sesama?
Di dunia nyata, suara membawa tubuh dan tatap mata. Di sana, kata-kata mengandung nada, dan diam memiliki makna. Kita bisa melihat getar bibir yang ragu, atau sorot mata yang meminta pengertian.
Maka, refleksi penting dari suara yang bertanggung jawab adalah: Apakah kita masih peka pada isyarat itu? Ataukah kita telah terlalu terbiasa dengan dunia maya yang instan dan impersonal?
“Kadang, yang dibutuhkan bukan suara, tapi telinga yang mendengar dan hati yang bersabar.” Dalam sosialitas, tanggung jawab suara menjadi lebih nyata. Kita bertemu wajah. Kita melihat dampak. Kita diingatkan bahwa keheningan pun adalah bahasa, dan empati tidak selalu butuh kalimat.
Penutup
“Ada waktu untuk berkata, ada waktu untuk diam. Dalam diam, terkadang hidup memberi jawaban.” Diam bukan berarti tak peduli. Merenung bukan berarti pasif. Justru, dari keheningan lahir kata-kata yang lebih jernih. Dunia ini tidak kekurangan suara, tapi kekurangan makna. Maka, biarlah kita menjadi pribadi yang tidak hanya bisa bersuara, tapi tahu kapan berbicara dan kapan mendengar.
Saat jari ingin mengetik amarah, cobalah jeda. Saat hati tergoda membalas pedas, tarik napas. Refleksi semacam itu adalah cahaya. Ia menuntun kita melihat bukan hanya apa yang ingin kita ucapkan, tapi juga mengapa kita mengucapkannya.
Saatnya kita memelihara suara yang bukan hanya keras, tapi jernih. Bukan hanya lantang, tapi menyembuhkan. Dunia ini butuh lebih banyak suara yang bertanggung jawab, yang lahir dari perenungan, bukan emosi yang diledakkan.
Jangan buru-buru bersuara —Dunia bukan perlombaan siapa yang paling dulu berkata. Lebih baik diam sejenak, dan biarkan makna menjelma cahaya. “Diam seorang yang tahu lebih mulia daripada suara seorang yang tak mengerti.” Hal ini mengandung makna bahwa lebih baik diam dan tidak berbicara ketika tidak memiliki pengetahuan yang cukup, daripada berbicara tanpa pemahaman dan menyampaikan informasi yang salah.
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berkata: “Kelak kau akan mengerti, bahwa menahan untuk menjaga orang lain agar tak tersinggung karena lisanmu, itu jauh lebih mulia daripada mengutarakan isi hatimu.”
Hadis Nabi Muhammad SAW juga menekankan pentingnya menjaga lisan dan memilih perkataan yang baik atau diam jika tidak ada yang baik untuk dikatakan. Sebagaimana Hadis berikut ini: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kita semua penumpang di kapal dunia maya. Tak ada yang ingin karam karena ombak kata-kata. Jadilah bijak, bukan hanya cepat. “Berbicara Bukan Sekedar Bersuara.” Karena tak semua yang bisa bicara, perlu bicara dan tak semua yang kita lihat, butuh penilaian dari kita.
Penulis adalah Akademisi dan Praktisi Kebijakan Publik. Pendiri CIA Indonesia dan LEADER Indonesia. Tenaga Ahli Dekonsentrasi Tugas Pembantuan dan Kerja Sama, Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan, Kementerian Dalam Negeri RI