Kematian seorang anak selalu menyisakan duka yang tak berkesudahan. Namun ketika kematian itu terjadi di lingkungan yang seharusnya menjadi ruang paling aman bagi tumbuh kembangnya yakni sekolah, kita dipaksa bercermin pada kegagalan bersama.
Tragedi yang menimpa Muhammad Hisyam (13), siswa kelas 1 SMPN 19 Tangerang Selatan, bukan hanya kabar duka, tetapi alarm keras tentang rapuhnya sistem perlindungan anak di sekolah-sekolah kita.
Tragedi yang menimpa Muhammad Hisyam membuka kembali luka lama yang seolah tak pernah sembuh: lemahnya pengawasan nyata di lingkungan sekolah. Selama ini, banyak sekolah mengklaim memiliki program anti-bullying, tata tertib lengkap, hingga poster-poster moral di dinding kelas.
Namun insiden ini membuktikan bahwa berbagai pedoman itu belum menjelma menjadi mekanisme pengawasan yang benar-benar bekerja di lapangan.
Pemukulan menggunakan kursi besi yang terjadi di ruang kelas, pada jam istirahat, menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah ruang kelas benar-benar dipantau? Siapa yang bertanggung jawab memastikan keamanan saat jeda belajar? Apakah guru piket hadir dan menjalankan tugasnya? Peristiwa ini menunjukkan bahwa kekerasan berat dapat terjadi hanya dalam hitungan detik ketika tidak ada figur dewasa yang mengawasi.
Ketiadaan pengawasan aktif, terutama pada masa transisi antar-jam pelajaran, menjadi celah terbesar terjadinya perilaku agresif antar siswa. Banyak sekolah masih menempatkan fokus pengawasan pada jam pelajaran formal, padahal titik rawan justru berada pada saat-saat santai. Hisyam adalah contoh nyata bagaimana kelengahan dalam beberapa menit saja dapat berujung fatal.
Respons awal sekolah yang menganggap kejadian itu sebagai “candaan antar siswa” menunjukkan adanya masalah serius dalam cara memandang keselamatan anak. Pernyataan seperti itu tidak hanya meremehkan korban, tetapi juga menormalkan kekerasan. Sekolah harus memahami bahwa setiap tindakan agresi, sekecil apa pun bentuknya, adalah indikator gagalnya sistem pengawasan.
Untuk mencegah kekerasan serupa, sekolah tidak cukup hanya membuat aturan dan program formal. Diperlukan pengawasan berlapis yang benar-benar diterapkan, antara lain:
• Penempatan guru piket di titik-titik strategis dan tidak sekadar formalitas absen.
• Kamera pengawas yang berfungsi dan dipantau secara berkala.
• Pelatihan guru dan tenaga kependidikan untuk membaca gejala perundungan dan relasi kuasa antar siswa.
• Saluran pelaporan anonim yang membuat sisw, baik korban maupun saksi, merasa aman untuk berbicara.
Di sisi lain, janji penguatan pengawasan dari Dinas Pendidikan Tangsel patut diapresiasi, namun implementasinya harus dikawal. Keseriusan menghadirkan sekolah yang aman tidak boleh berhenti pada retorika atau reaksi sesaat setiap kali terjadi kasus besar.
Tragedi ini mengajarkan satu hal penting yaitu, pengawasan tidak boleh hanya ada di atas kertas. Ia harus hadir, terlihat, dan dirasakan oleh seluruh siswa setiap hari. Tanpa itu, sekolah akan selalu berada selangkah terlambat dalam melindungi generasi mudanya.
Hisyam telah berpulang, tetapi jejak pertanyaan besar tertinggal, berapa banyak anak lain yang mengalami kekerasan di sekolah namun memilih diam karena merasa tak ada sistem yang benar-benar melindungi mereka?
Sekolah seharusnya menjadi ruang aman, bukan tempat ketakutan. Diperlukan perubahan menyeluruh, mulai dari pola pikir pendidik, sistem pengawasan, hingga pelibatan orang tua dan masyarakat agar tidak ada lagi anak yang kehilangan masa depannya akibat kekerasan di lingkungan yang seharusnya mendidik.
Ini bukan hanya tugas sekolah atau pemerintah. Ini tanggung jawab moral kita bersama. Jangan tunggu tragedi berikutnya untuk berbenah.
“Kita doakan bersama, semoga almarhum Muhammad Hisyam (13) mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT, diampuni dosa-dosanya, dan diterima seluruh amal ibadahnya. Amin ya Rabbal ‘Alamin.”
Oleh: Rahmat Daeng
Penulis Adalah Ketua Gerakan Cinta Prabowo (GCP) Kota Tangerang Selatan