Oleh: Assoc. Prof. Dr. Firman Wijaya
Putraindonews.com – Tahun ini sketsa pemilihan presiden (Pilpres) yang berujung di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap 3 pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden menempatkan MK dalam posisi yang problematis-dilematis. Apakah MK akan bertahan pada tradisi kalkulasi angka-angka (Judicial Restrain) ataukah berani lebih jauh bergerak dengan legal frame work yang lebih luas (Judicial activism).
Rumus Kecurangan dan Kemenangan PILPRES
Para pihak baik pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maupun pihak lain yang terkait guna meneguhkan dalil kebenarannya telah “menggiring” pembentukan keyakinan Majelis Hakim MK ke dalam perspektif logis akademis maupun yuridis serba multidisipliner. Setidaknya rumus kecurangan dan kemenangan diindikasikan terdapat preferensi politik terhadap paslon tertentu oleh presiden yang sedang berkuasa.
Adapun, dugaan pelanggaran etika top level pejabat negara sekelas presiden dan jajarannya oleh pemohon PHPU Pilpres terutama terkait hasil rekapitulasi KPU oleh paslon 01 dan 03 tentu harus memiliki bobot argumentasi yuridis–yang tidak cukup sekedar menuding presiden dan jajaran menteri kabinetnya sudah melakukan–setidaknya apa yg disebut pelanggaran hukum dan sumpah jabatan, namun nuansa substansi perselisihan hasil PHPU Pilpres memiliki “toward common sense” di tengah transisi paradigma antara politik hukum dan sicence (boventura de santos) sehingga tidak cukup kemudian menjadi obyek utama persoalan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai wapres paslon 02 oleh paslon 01 dan 03 KPU dianggap telah melakukan pelanggaran etika berat oleh KPU.
Pelanggaran Etika Berat dalam Pemilu 2024
Tidak cukup bagi seorang penguasa hanya sekedar tidak melanggar hukum, lebih dari itu seorang penguasa dituntut lebih secara etis. Dalam konteks ini Presiden harus dapat menunjukan kesadaran bahwa tanggung-jawabnya adalah seluruh bangsa yang mana wawasan etis demikian telah dirumuskan dengan bagus dalam pembukaan UUD 1945 “…untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden oleh KPU adalah pelanggaran etika berat karena pendaftaran itu tetap dilakukan walaupun Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi menyatakan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 sarat pelanggaran etika berat.
Untuk itu, mendasarkan diri pada suatu Putusan yang merupakan pelanggaran etika berat, dengan sendirinya juga merupakan pelanggaran etika berat. Tidak hanya itu, sekalipun Presiden secara etis boleh saja mengharapkan salah satu Pasangan Calon menang, tetapi begitu ia menggunakan kekuasaannya melalui Aparatur Sipil Negara, Kepolisian, Militer, dll., untuk kepentingan salah satu Pasangan Calon, terlebih apabila mengingat salah satu Calon Wakil Presiden merupakan keluarganya (Nepotism), adalah suatu pelanggaran etika berat pula.
Selain itu, dalam sebuah PEMILU yang dituntut secara etis adalah seluruh pelaksanaannya baik proses maupun perumusan hasilnya dapat menjamin setiap warga negara dapat memilih siapa yang mau dipilihnya (hakikat demokrasi). Untuk itu, manipulasi dalam proses pemilu adalah pembongkaran hakikat demokrasi yang juga merupakan pelanggaran etika berat.
Immanuel Kant menyatakan bahwa masyarakat akan dengan senang menaati segala peraturan hukum apabila pemerintah bertindak atas dasar hukum yang adil dan bijaksana. Apabila tidak demikian maka negara hukum akan merosot menjadi negara kekuassaan.
Meskipun demikian terhadap hal demikian harus dilihat sudut pandang lain. Memang secara umum, etika adalah keyakinan tentang baik dan buruk.
Etika sendiri merupakan lapisan terluar dari hukum sebab tuntutan paling dasar dari etika sejak ribuan tahun lalu dituangkan dalam hukum. Untuk itu sejatinya etika dan etika dalam kerangka hukum tidaklah berbeda. Namun tetap harus disadari bahwa etik yang tidak dirumuskan dalam hukum tidak bisa ditindak oleh Yudikatif.
Dalam arti pelanggaran etika secara filsafat harus disadari tidak membawa implikasi bagi penyelenggaraan negara sebab hal tersebut hanya merupakan unsur untuk menilai kualitas seseorang atau suatu lembaga.
Votting Behaviour Sistemic by Presiden
Indikasi berpotensi menguntungkan paslon tertentu, di mana posisi Presiden menjadi variabel dan faktor penting. Apalagi subjektivitas siapapun termasuk pribadi Presiden akan mendukung paslon yang satu gerbang (All presiden men endorce). Berbagai indikasi “rumus kemenangan politik” berbasis perencanaan kecurangan di coba dipaparkan dalam argumentasi Pasangan Calon Pemohon Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) PILPRES.
Dimulai sejak tahapan administratifnya di mana terdapat pelanggaran tahapan pencalonan PILPRES sejak pendaftaran dan verifikasi Bakal Pasangan Calon sampai penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang mana terdapat berbagai keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dipandang cacat yuridis terutama Peraturan KPU No.19 Tahun2023 yang belum dirubah sesuai dengan Putusan MK No. 90/PUUXXI/2023. Berita Acara hasil verifikasi belum dirubah sehingga syarat usia minimal Gibran Rakabuming Raka (Calon Wakil Presiden Nomor Urut 02) dipandang belum memenuhi syarat dan melanggar kode etik penyelenggaraan Pemilu.
Tindakan deskriminatif KPU yang meololoskan Gibran dan memperlakukannya sama dengan Calon Wakil Presiden yang lainnya dianggap melanggar Putusan MK Nomor 27/PUU-VI/2007.
Prinsip Mandiri, Jujur, Adil, Berkepastian, dan Netralitas merupakan prinsip yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum. Namun tata cara penentuan, pengusulan, dan penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden termasuk verifikasi usia calon Wakil Presiden Nomor Urut 02 dipandang melanggar staatsrecht (hukum tata negara) dan bestuursrecht (hukum administrasi negara) oleh Para Pemohon.
Para pemohon kemudian lebih jauh mengkaitkan keberpihakan Presiden Jokowi sebagai the chief of executive kepada salah satu Pasangan Calon melalui perbuatan/tindakan dan ucapannya yang tampak dalam kebijakannya sebelum dan saat kampanye PILPRES mengangkat Kepala Daerah, dan pelibatan pejabat negara, secara terstruktur, masif, dan sistematis.
Pengangkatan PJ Kepala Daerah dipandang Pemohon tidak memiliki legitimasi, namun terus dilakukan dengan cara sengaja tidak merevisi UU PILKADA No.10 Tahun 2016 bahkan mengesampingkan putusan MK No.15/PUUXX/2022 yang memberi mandat pemerintah membentuk peraturan pelaksana PILKADA yang transparan, akuntabel, dan tidak deskriminatif dengan cara menerbitkan PERMENDAGRI No.4 Tahun 2023 yang pekat dengan kepentingan subjektif presiden (melanggar prinsip free and fair election).
Pork Barrel Politics, BANSOS, dan Teknologi Fraud SIREKAP KPU
Indikasi politisasi BANSOS untuk kepentingan elektoral digelontorkan 600 rb rupiah/individu secara sekaligus dengan total anggaran 11,2 Triliun Rupiahdalam bentuk BANSOS tunai dan program bantuan beras sejak 2023 di lanjut Januari-Maret 2024 diperpanjang hingga juni melalui PERPRES No.125 Tahun 2022. Keterlibatan Menteri Zulkifli Hasan dan Menteri Airlangga Hartanto diduga menurut Pemohon adalah bentuk penyalahgunaan BANSOS untuk kepentingan elektoral.
Pemberian BANSOS tunai maupun beras jelang PEMILU adalah bentuk kapanaye terselubung dan keberpihakan kepada salah satu calon yang didukung oleh Presiden. Pork Barrel Politics yang biasadipraktekan di Amerika Serikat dengan mennggunakan fasilitas jabatan dengan sumber daya negara di Indonesia cukup efektif mendulang suara di tengah krisis ekonomi (votting behavior).
Riset berbagai survei PEMILU 1999 sampai dengan 2014 variabel yang tampak kuat adalah variabel kondisi ekonomi, variabel leadership, dengan memobiliasi aparat negara (impact of social politics on votter behavior) di mana dicoba digambarkan Hamdi Muluk BANSOS dapat menjahui instrumen electoral support.
Sementara itu terkait SIREKAP KPU dianggap tidak memiliki kualitas bahkan didalilkan sebagai sarana kecurangan/kejahatan. SIREKAP KPU yang diharapakankan mempercepat dan memudahkan akses untuk menjaga integritas pemilu terkait rekapitulasi dan publikasi pemilu justru sebaliknya tidak memenuhi standar validasi autentikasi yang diharapkan publik.
Meskipun demikian Para pihak terkait memandang alasan-alasan permohonan tersebut di luar yurisdiksi dan kompetensi Mahkamah Konstitusi. Perdebatan kewenangan MK dalam perspektif pihak-pihak tersebut secara sederhana dapat ditempatkan dalam tafsir ekstensif (meluas) oleh Pemohon dan tafsir menyempit oleh termohon dan Pihak terkait.
Penafsiran kompetensi Yurisdiksi MK dalam arti luas artinya MK tidak sekedar the guardian of constitution dan the interpreter of constitution melainkan juga safeguard constitution yang harus membangun elektoral justice system. Penafsiran PHPU tidak sekedar normaitf positivistic namun melalui metode tafsir normologic empiric dialectic.
MK sebaiknya mengoptimalisasi peran 8 Hakim MK untuk melakukan balancing probable (keseimbangan peluang) antara rechtstopassing (penerapan hukum keadilan prosedural) norma dengan rechtsvinding (penemuan hukum) kebenaran substansial hukum dengan spirit “living constitution” agar demokrasi dan konstitusi selalu dinamis (konstitualism).
Interpretasi Gramatikal dan Asas Yuridikitas Rechmatingheid
Sebagaimana postulat hukum primo executienda est verbis vis, ne sermonis vitio obstruatur oratio, sive lex sine argumentis, perkataan adalah hal pertama yang diperiksa untuk mencegah adanya kesalahan pengertian atau kekeliruan dalam menemukan hukum (rechtsvinding). Untuk itu, dalam interpretasi harus pertama-tama dilakukan dengan cara menguraikannya menurut bahasa secara umum (interpretasi gramatikal).
Apabila kita melihat secara gramatikal berdasarkan Pasal 24 C Jo. Pasal 74 dan 75 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi diketahui bahwa Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden, paslon dapat mengajukan keberatan kepada MK dalam waktu paling lama tiga hari setelah penetapan hasil pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Keberatan sebagaimana dimaksud hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada pemilu presiden dan wakil presiden. Frasa hanya terhadap hasil penghitungan suara bermakna adalah pembatasan dan itu qath’i, tetap, diksi hanya merupakan kata kunci pembatasan.
Kewenangan MK dalam memutus PHPU khususnya pemilihan Presiden dan wakil presiden, berdasar pada dua hal pokok, yaitu apakah MK akan melihat penetapan hasil perolehan suara yang ditetapkan KPU sudah sesuai dan sah serta apakah dalam penetapan hasil perolehan suara tersebut terhadap terdapat hal yang tidak sesuai dengan yang diajukan para Pemohon, maka Mahkamah akan mengambil putusan sendiri berkaitan dengan penetapan hasil perolehan suara tersebut. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kewenangan Mahkamah adalah sebatas hasil perhitungan suara dan tidak ada interpretasi lain.
Jika Mahkamah dalam konteks ini melakukan judicial activism dengan memaksakan untuk mengadili hal yang di luar wewenangnya sejatinya hal tersebut telah bertentangan dengan asas yuridikitas rechmatingheid yang menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh memutus sesuatu yang berada di luar kewenangannya.
Dalam Permohonan, Pemohon banyak mendalilkan tentang permasalahan proses dalam PEMILU 2024. Perlu dipahami bersama bahwa persoalan sengketa ihwal keabsahan pencalonan Calon Wakil Presiden Gibran Rakabumingraka sejatinya bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi melainkan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam kasus ini Pemohon yang sejak ditetapkannya Gibran sebagai Calon Wakil Presiden tidak mengajukan gugatan harus dianggap telah melepaskan hak nya (rechtsverwerking). Terlebih apabila persoalan tersebut didasari alasan bahwa KPU belum melakukan penyesuaian antara Peraturan KPU No.19 Tahun 2023 dengan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023.
Hal tersebut sangat tidak beralasan sebab sebagaimana kita ketahui bersama Putusan MK memiliki kedudukan yang setara dengan undang-undang untuk itu berdasarkan asas preferensi lex superior derogat lex inferiori, Peraturan KPU yang bertentangan dengan Putusan tersebut dengan sendirinya telah bersifat batal demi hukum.
Selain itu persoalan soaldugaan adanya nepotisme yang dalam hal ini dianggap sebagai pelanggaran yang Terstruktur Sistematis dan Masif (TSM) oleh Presiden juga tidak dapat diajukan di Mahkamah Konstitusi (berdasarkan sistem hukum kita Nepotisme diatur dalam UndangUndang N0. 28/1999 tentang Korupsi Kolusi Nepotisme). Apabila alasan di atas dipaksakan kiranya hal tersebut akan bertentangan dengan asas legalitas yang merupakan buah dari pejuang demokrasi itu sendiri.
Formasi 8 Hakim Mahkamah Konstitusi Apakah Penganut Judicial Activism atau Judicial Restrain Pemohon mendalilkan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak hanya mengadili hasil melainkan juga termasuk proses. Mahkamah Konstitusi sejatinya memutus berdasarkan undang-undang dasar dan keyakinan hakim.
Untuk itu harus dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi adalah beyond undang-undang. Walaupun jika dilihat dari rumusan Pasal 24 C UUD (original intent) keweanangan Mahkamah adalah sebatas hasil perhitungan suara, tapi persoalannya adalah Mahkamah juga harus memastikan sesuai atau tidaknya Pemilu dengan Pasal 22 E asas-asas PEMILU. Hal-hal yang sebenarnya vacuum harus diisi oleh Mahkamah, melakukan living constitution.
Ia dilakukan apabila ada sesuatu yang sangat mendesak yang mahkamah harus hadir (Futuristik). Hal ini kembali membawa kita pada pilihan antara judicial activism atau judicial restrain , lantas bagaimana posisi Mahkamah?
Adagium PEMILU adalah predictable in process, unpredictable in result. Semua penyelenggara akan terkait dengan waktu dan proses yang akan dilakukakan. Bagaimana kemudian menerapkan proses kepastian hukum ini dalam keadilan.
Di satu sisi bahwa mahkamah dapat melakukan antara judicial restrain, namun di sisi yang lain mahkamah juga dapat judicial activism. Apalagi mahkamah dibatasi oleh legal frame tertentu seperti menyelesaikan perselisihan ini dalam waktu 14 hari. Adalah suatu perdebatan yang tidak berujung dalam filsafat hukum ketika kita mencari keadilan dan kepastian hukum.
Kita tau dalam keadilan adalah konteks dari hukum itu sendiri, namun ketika kita berbicara soal penyelenggaraan negara kita tidak mungkin mencari sesuatu yang tidak berujung, namun kita harus mengambil keputusan. Untuk itu sekalipun Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 problematik, namun secara kepastian hukum putusan tersebut jelas sekali.
Untuk itu kepastian hukum itu menjadi sangat penting apalagidalam sebuah kontestasi politik sebab ibi jus incertum ibi jus nullum (tidak ada kepastian hukum berarti tidak ada hukum), maka semua harus ada akhirnya (litis finiri oportet), yang mana merupakan peran MK untuk mengakhiri perkara-perakara yang banyak berkembang. Perkara harus selesai MK lah yang harus menyelesaikannya.
Adapun pilihan opsi hukum berdasarkan penalaran yang wajar bagi 8 Hakim MK adalah terbatas sebagai berikut: 1. Animous opinion, jika pandangan 8 Hakim bulat dan tidak terbelah; 2. Concurion opinion, jika pandangan 8 Hakim terbelah dalam alasan yang berbeda-beda tetapi sikap hukum putusan (diktum) seragam; 3. Dissenting opinion, jika pandangan 8 Hakim berbeda-beda baik alasan maupun sikap dalam diktum/amar putusan.
Mana yang lebih dominan diantara di antara mereka penganut judicial activism (menggunakan tafsir meluas) ataukah judicial restrain (menggunakan tafsir wewenang terbatas pada selisih suara signifikan terpilihnya calon).
Perjalanan intelektual 8 Hakim konstitusi begitu menentukan untuk menemukan jalan keluar dari kebuntuan sistemik di tengah arus kuat pemikiran hukum yang menuntut mahkamah tidak terbelenggu dalam hukum besi penjara norma (iron cage) dan melakukan penalaran kebenaran elastis (beyond positivism).
Semoga 8 Hakim MK tidak kehilangan daya kreativitasnya dengan tidak berpaku pada paradigma tunggal melainkan dengan menggunakan tafsir dinamis ius constituendum living konstitusional (cita hukum yang hidup dalam masyarakat dan kosntitusi).
Penulis adalah Ketua Umum PERADIN dan Asstafsus Bidang Hukum Wakil Presiden