Juni: Relevansi Bulan Historis Bung Karno dan 100 Hari Indramayu Reang

Oleh: H. Adlan Daie

Bulan Juni memang bulan historis Bung Karno, beliau lahir dan berpulang pada bulan Juni. Lahir tanggal 6 Juni 1901 dan berpulang tanggal 21 Juni 1970.

Tetapi tak kalah mendasarnya bulan Juni juga adalah bulan spritualitas Bung Karno, puncak spritualitas kebangsaan Bung Karno. Beliau “king maker” tunggal yang menarasikan untuk pertama kalinya tentang Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945.

Dalam buku Cindy Adams berjudul “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, Bung Karno menuturkan di malam hari sebelum esok hari beliau berpidato di sidang BPUPKI 1 Juni 1945 beliau mendapatkan “Ilham” dari langit langit gelap Jakarta untuk meneguhkan Pancasila sebagai “Philoshopiche Granslag”.

Artinya, Pancasila bukan sekedar ideologi politik, ia adalah pandangan hidup bangsa Indonesia dalam falsafah dasar negara, sebuah ide penuntun spritualitas kebangsaan Indonesia. Itulah puncak spritualitas kebangsaan Bung Karno.

Di sini urgensi acara sarasehan peringatan bulan Bung Karno 1 Juni 2025 yang diadakan DPC PDI Perjuangan kab. Indramayu (Ahad, 1 Juni 2025) untuk menyegarkan pikiran pikiran Bung Karno dalam konstruksi kritis politik Indramayu dengan tema “Menggali Pemikiran Bung Karno, Relevansi Dan Konteks Kritis 100 Hari Indramayu “Reang”.

Pertanyaan ideologisnya bukan tentang apa yang hendak dikritisi dari 100 hari kerja Indramayu dengan visi “Reang”. Pasalnya memang hingga saat ini tidak terlihat daya gebrak kebijakan kebijakannya, kecuali rutinitas administratif, rapat rapat dan kunjungan seremonial.

Pertanyaannya bagaimana meletakkan pikiran pikiran ideologis Bung Karno dalam konteks membaca apakah bupati hari ini adalah sekedar “bupati online” atau “pemimpin offline” dengan daya tumpu ideologis?

Mentalitas “bupati online” tidak bertumbuh dari taman taman sari pemikiran ideologis tapi bertumpu pada selebritas dan popularitas. Rakyat dimaknai hanya seutas “nitizen” tanpa jiwa, jalan pikiran dimanipulasi hanya potongan vidio vidio pendek, demokrasi kehilangan dimensi spritualitasnya bermigrasi dari dunia nyata ke dunia Maya.

Di sisi lain jangkar ideologis PDI Perjuangan dalam kepemimpinan politik adalah “Trisakti”, sebuah warisan “hidup” ideologis Bung Karno. Berdaulat secara politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan.

BACA JUGA :   PR Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta di Bidang Transportasi

Artinya, politik dalam konteks PDI Perjuangan dihayati sebagai pelaksanaan prinsip keyakinan ideologis dan pencapaian idealisme secara manifes. Itulah yang oleh Max Weber, sosiolog modern disebut perjuangan “rasionalitas substantif”.

Perspektif ini hendak menjelaskan perbedaan bobot makna Religius, ekonomi kerakyatan dan gotong royong dari sudut pandang ideologis Bung Karno dan orientasi makna politis dari “Religius , Ekonomi Kerakyatan dan Gotong Royong yang dirangkum dalam visi Indramayu “Reang”

Dalam konstruksi Bung Karno tentang relgistus, kerakyatan dan gotong royong adalah gelora revolusioner bagi gelombang perubahan di mana kepemimpinan politik adalah simpul “Solidarity Maker”, julukan Herbet Fiet untuk Bung Karno, yakni kekuatan kepemimpinan solidaritas “yang menggerakkan” gerbong gerbong panjang rakyat yang dipimpinnya.

Tapi bagi pemimpin online sebagaimana dikonstruksi Mendagri Tito Karnavian ia lahir karena piawai menjual pesona, maka tema tema yang sama di atas (religius, kerakyatan, gorong royong) tidak berdimensi ideologis, kecuali sekedar alat dagang politik dan iklan iklan elektoral, sebuah politik “skincare” yang glowing “di kulit “luar”.

Penulis terus terang sungguh sulit memahami bagaimana bisa pemerintah daerah Indramayu dengan visi “Reang”, yakni “Religius” lalu membreak down dalam 14 program percepatan, dua yang terkait paling atas adalah program “Indramayu mengaji” dan “Indramayu beribadah”.

Pemerintah Daerah bukan “Majelis Taklim” atau DKM (Dewan Kesejahteraan Masjid) sehingga visi “religius” tidak dimaknai tentang kegiatan dengan iklan “Indramayu mengaji”, “Indramayu beribadah” pengajian Akbar, gema bersholawat dan lain lain.

Itu bukan tugas negara melainkan kegiatan prakarsa publik secara individual dan lembaga keagamaan bersifat ad hoc dimana negara (pemerintah daerah) hanya berfungsi fasilitasi tertib sosialnya, bukan menjadi program instruktif negara.

Para pendiri bangsa yang direpresentasikan oleh Bung Karno termasuk tujuh ketua umum ormas Islam tanggal 18 Agustus 1945 telah sepakat menghapus sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya’, diganti menjadi “ketuhanan yang Maha Esa”

BACA JUGA :   Idul Fitri 1446 H, Renungan Peradaban Bangsa

Artinya negara atau pemerintah tidak memiliki hak otoritarif untuk membuat program yang mewajibkan pelaksanaan syariat keagamaan dan turunan turunan religius yang bersifat kewajiban pengamalan ajaran agama.

Penulis sejak dulu menentang kecenderungan Islamisasi bernegara dalam berbagai tulisan di media nasional mengikuti jejak pemikiran yang menjadi keyakinan politik Gus Dur dalam bernegara Indonesia.

Paling jauh visi Religius diletakkan dalam konstruksi kerangka sistem berbasis anggaran dalam prinsip “money follows function”, anggaran mengikuti kegiatan tentu secara akuntabel.

Penguatan Madsarah Diniyah dan Pesantren misalnya yang sudah lama eksis dalam kerangka sistem, yakni diatur dalam Undang Undang dan Perda dikuatkan fasilitasinya oleh pemerintah daerah, bukan masuk dalam instruksi negara untuk mewajibkan pelaksanaan syariat agama, ranah kewajiban individual warga negara.

Pesan yang hendak ditekankan dalam tulisan singkat ini adalah bahwa bagi kader kader PDI Perjuangan dalam konteks semesta perjuangan politiknya :

Pertama, Prof Dr. (HC) Hj. Megawati Soekarno Putri tidak hanya diletakkan sekedar ketua umum PDI Perjuangan, bukan sekedar anak biologis melakukan sekaligus anak ideologis bung Karno.

Megawati personifikasi utuh dan ideologi PDIP Perjuangan dan “sanad” ideologis PDI Perjuangan adalah pandangan ideologis kebangsaan Bung Karno.

Kedua, resiko perjuangan politik yang bersandar pada kekuatan ideologi politik saat ini tidak mudah karena “pejabat online” berjualan iklan iklan agama dan diback up branding survey kepuasaan publik yang manipulatif.

Menolaknya tak jarang dituding “anti agama” dan rating kepuasaan publik menjadi alat tekan persepsi publik untuk “dibully”. Padahal kepuasan publik tidak sama dengan tingkat kinerja pemerintah dengan ukuran ukuran baku standart BPS.

Tapi inilah jalan kemuliaan politik bagi PDI Perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat warga negara sebagaimana inspirasi Bung Karno mengangkat harkat petani Narhaen dalam kesadaran tentang hak hak warga negara untuk hidup layak.

Menyerah artinya memilih kebenaran hanya pasif dan kebenaran pasif selalu dikalahkan oleh kebohongan dan branding hoax yang aktif.

Penulis adalah Analis politik dan sosial keagamaan

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!