Kepemimpinan Politik Dedi Mulyadi, Gebrakan Atau Pencitraan?

Oleh: H. Adlan Daie

Putraindonews.com, Indramayu – Tulisan ini mencoba memberikan sebuah perspektif terhadap acara tvOne dengan judul “Dedi Mulyadi, Gebrakan Atau Pencitraan” dalam program acara “Catatan Demokrasi” (edisi Selasa, 8/4/2025) dengan menghadirkan sejumlah narasumber.

Politik, suka tidak suka, adalah tentang citra. Citra tentang seorang pemimpin dalam persepsi publik.

Sejumlah ilmuwan politik asing seperti Noam Chomsky dan Antonio Gramchi atau Deni JA dan Eep Saefullah Fatah (ilmuan dan surveyor politik Indonesia), untuk menyebut sebagian-telah banyak melahirkan teori dan studi penelitian tentang politik dan “pencitraan politik”.

Di era rezim politik elektoral dengan diktum “one man, one vote, one value”, satu orang, satu suara – hingga dalam perkembangannya saat ini minimal dalam konstruksi analisis penulis dapat dibagi dalam dua kategori besar tentang pencitraan politik :

Pertama, pencitraan politik dibangun oleh kepalsuan patamorgana politik untuk meraih populisme elektoral secara pragmatis, biasanya dilakukan dalam konsultasi pendampingan “marketing politik”.

Ini sebuah model dalam pemasaran politik modern untuk membranding “citra” calon pemimpin dalam kontestasi politik elektoral dengan tampilan “kulit luar” ramah, smiling, murah /senyum, “glowing” dibungkus “skincare” plastik politik.

Kedua, citra politik lahir dan tumbuh dari proses aktivisme politik dari bawah bersama pergulatan dialektika intelektual secara kuat hingga membentuk “citra” karakter personal seorang pemimpin berani bertindak secara politik dengan gagasan yang kuat.

Semua gagasannya baik yang mengundang pengkritik maupun menghadirkan pendukung – selalu tampil secara “power full” dengan publik speaking yang runtut dan “bertenaga”.

Sampai di sini pertanyaannya, di manakah posisi kepemimpinan politik Dedi Mulyadi di antara dua kategori bangunan “citra” politik di atas? Publik tentu bisa berdebat dengan preferensi politik, argumen, perspektif dan sudut pandang yang berbeda.

Perspektif penulis meletakkan Dedi Mulyadi dalam kepemimpinan politik dalam kategori model “citra” politik yang kedua di atas dalam konstruksi argument argument :

Pertama, Dedi Mulyadi memimpin “daerah” Jawa Barat dengan terobosan kebijakan yang “bernyali”. Inilah kepemimpinan “Psychological Striking Force”, mengutip diksi (Alm) Prof Nurcholish Madjid.

BACA JUGA :   Cegah dan Amputasi Penularan Korupsi!

Yaitu kepemimpinan politik yang digerakkan “daya pukul psyichologis” untuk menghentakkan kesadaran bersama tentang bernegara yang rasional dan bertumpu di atas maslahat publik.

Ia tidak tersandera kepentingan elektoral sesaat untuk merawat citra politik, tidak terbebani oleh kepentingan basis pendukungnya untuk diakomodasi dalam “slot slot” komisaris dan direksi di puluhan BUMD milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat kecuali meletakkannya dalam kerangka maslahat publik.

Ia begitu percaya diri dan cepat mengambil kebijakan besar, yaitu “pemutihan” tunggakan pajak dan denda kendaraan dalam periode tertentu, berani mengambil jalan resiko dengan membongkar villa villa di daerah daerah resapan air untuk mencegah banjir tahunan di Jawa Barat.

Hentakan kebijakannya merubah paradigma kerja birokrasi dan melampaui effect teritorial daerah yang dipimpinnya, menggema di seluruh Indonesia, sesuatu yang sulit dilakukan oleh pemimpin yang lahir dari pencitraan “buatan” untuk merawat kepentingan pesona citra politik di ruang publik.

Dengan kata lain model kepemimpinan Dedi Mulyadi di atas jelas tidak lahir dari proses pencitraan politik instan kecuali bertumbuh secara bersamaan dengan kekuatan integritas dan kapasitas intelektualitas hingga membentuk karakter kepemimpinan yang “power influencer”, berwibawa dan berpengaruh

Latar belakang sebagai aktivis begitu kuat dalam diri Dedi Mulyadi, ia punya “nyali” berani mengambil jalan resiko “tidak populer” memimpin Jawa Barat seperti berani melarang “study tour” sekolah sekolah di Jawa Barat, tidak akan mencairkan dana bantuan untuk desa desa yang tidak merawat lingkungan dan kebersihan di desa bersangkutan.

Kedua, memiliki kapasitas intelektual dalam menarasikan gagasan gagasannya di ruang publik. Piawai merumuskan pilihan prioritas program berbasis kekayaan literasi, khazanah kekayaan budaya lokal, adaptasi konsep zakat dalam Islam dalam proyeksi distribusi keadilan bernegara dan percepatan transformasi sosial warga Jawa Barat yang dipimpinnya.

Dalam konteks kemampuan tersebut Dedi Mulyadi tidak sekedar pejabat tapi sekaligus pemimpin dalam indeks parameter Michael H. Hart, penulis buku “100 tokoh berpengaruh di dunia”, yaitu “influential person”, seorang tokoh yang memiliki pengaruh kuat secara sosial.

BACA JUGA :   Perang Badar terhadap Korupsi

John Quincy Adam, Presiden Amerika Serikat ke – 6 (1826 – 1829) mendefinisikan : ” Jika tindakanmu menginspirasi orang lain untuk bermimpi lebih banyak, berbuat lebih banyak – maka kamu adalah seorang pemimpin”, tulisnya.

Ketiga, memiliki pengalaman politik di legislatif (di DPRD Purwakarta dan DPR RI) dan pengalaman teknokrasi politik dua periode menjadi bupati Purwakarta. Ini membentuk karakter kuat kepemimpinan politiknya.

Ia tidak hanya terjun langsung ke lapangan seperti turun ke pinggir pinggir sungai dengan tumpukan sampah berbau menyengat, berhenti di pinggir jalan menyapa nenek nenek atau kakek tua, anak anak di bawah umur yang bertaruh dalam menyambung kehidupannya

Ia “belanja masalah” secara langsung untuk memahami problem problem sosial rakyat yang dipimpinnya dalam konteks gagasan yang dibawanya untuk menemukan solusi dalam desain program secara teknokratik.

Jadi, dalam konstruksi analisis penulis dalam kerangka tiga argument di atas jelas Dedi Mulyadi bukan pemimpin “polesan” pencitraan marketing politik melainkan “citra” yang tumbuh dalam proses aktivisme politik yang panjang dalam pergumulan intelektualitas secara intens

Itulah sebabnya kehadiran Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat hasil kontestasi politik elektoral serentak 2024 dapat menjawab “kecemasan” Mendagri Tito Karnavian tentang kualitas “kepala daerah” produk kontestasi politik elektoral.

Menurut Mendagri kontestasi politik elektoral tak jarang hanya menghasilkan “kepala daerah” pandai menjual pesona tapi kapasitas dan kompetensi di bawah “standart”.

Dedi Mulyadi “terpilih” bukan sekedar memiliki pesona popularitas secara elektoral, ia memiliki rekam jejak politik, kapasitas dan kompetensi teknokratis secara kualitatif dalam kepemimpinan politik di level provinsi (Jawa Barat).

Mari kita kawal bersama kepemimpinan Dedi Mulyadi di Jawa Barat dengan tetap membuka ruang kritik konstruktif dan pikiran alternatif dalam partisipasi publik secara bermakna dalam proses jalannya pemerintahan di Jawa Barat untuk sebesar besarnya maslahat publik.

Penulis adalah Analis politik dan sosial keagamaan

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!