Oleh: Wahyu Triono KS
Menandai waktu musim dingin, akhir Mei 2025, para sahabat alumni dan member AAPC (American Association of Political Consultants) dan para sahabat yang telah menempuh Post-Doctoral (“PostDoc”) yang melanjutkan penelitian, pelatihan, pengajaran tambahan yang bersifat sementara sebagai batu loncatan bagi mereka untuk mengembangkan karier di bidang akademis dan peneliti, mengunjungi National Library of Australia di Parkes Place Canberra ACT 2600 Australia, untuk mencari berbagai referensi literasi.
Salah satu referensi literasi yang mereka cari dan temukan di National Library of Australia melalui pencarian Katalog Dalam Terbitan (KDT) dengan Nomor 320.9598 dan ber-ISBN (International Standard Book Number): 978-602-97251-1-7, sebuah buku dengan Judul: Satrio Piningit di Negeri Tuyul yang ditulis oleh Wahyu Triono KS.
Tentu saja banyak kisah-kisah menarik dari berbagai buku yang telah kami terbitkan, dijual di Toko Buku Gramedia dan menjadi referensi di Perpustakaan Nasional dan Internasional, di Universitas ternama di berbagai belahan dunia. Karena buku-buku yang kami terbitkan bukan sekadar terbit tetapi adalah buku yang berkualitas sebagai referensi, memenuhi standard internasional dan memiliki Nomor ISBN, e-ISBN dan Nomor KDT.
Karena cerita buku Satrio Piningit di Negeri Tuyul di National Library of Australia itu, mengingatkan saya tentang perpustakaan yang mengoleksi buku Satrio Piningit di Negeri Tuyul, seperti di Perpustakaan Pemda DIY, di beberapa perguruan tinggi dan sekolah, di Perpustakaan Kementerian Dalam Negeri: di Balitbang, Perpustakaan Soepardjo Rustam dan beberapa waktu lalu saya mengunjungi khusus Perpustakaan Amir Machmud untuk berfoto dengan koleksi buku tersebut yang pada akhirnya mengundang saya untuk menulis tentang Literasi: Merangkai Kata, Membaca Dunia, Merawat Asa.
Disrupsi Literasi
Benarkah kita tengah mengalami disrupsi literasi? Sebuah pertanyaan yang menohok bagi rendahnya minat baca dan literasi masyarakat Indonesia. Data UNESCO per Desember 2024, menyebutkan bahwa, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Survei GoodStats (Januari-Februari 2025), menyatakan, hanya satu dari lima orang yang rutin membaca buku setiap hari, sementara 17% responden hanya membaca sesekali, dan 15,4% lainnya jarang membaca buku.
Kemudian data CEOWORLD Magazine (2024) menyatakan, Indonesia menempati peringkat ketiga dalam hal minat membaca buku di ASEAN, dengan rata-rata warga Indonesia membaca 5,91 buku per tahun. Sedangkan data BPS 2024, menunjukkan, persentase anak-anak yang dibacakan buku atau dongeng oleh orang tua hanya 17,21%, dan aktivitas membaca dan belajar bersama orang tua hanya 11,12%.
Darurat literasi itu semakin diperparah oleh kelompok terpelajar, orang-orang terdidik (educated peoples), para intelektual dan akademisi yang jangankan harus berkonstribusi menyediakan bahan literasi melalui tulisan, menulis buku atau bahan literasi lain, bahkan mereka tidak memiliki minat dan rendah dalam penguasaan berbagai literasi: literasi membaca-menulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya.
Dalam beberapa dekade terakhir ini, dunia memang mengalami perubahan yang sangat cepat sebagai akibat dari kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Perubahan ini tidak hanya menyentuh aspek ekonomi, sosial, dan budaya, tetapi juga membawa dampak besar pada dunia pendidikan, khususnya dalam hal literasi. Fenomena yang dikenal sebagai disrupsi literasi muncul sebagai dampak dari perubahan pola konsumsi informasi masyarakat, terutama generasi muda, yang kini lebih akrab dengan gawai ketimbang buku.
Disrupsi literasi merujuk pada perubahan mendasar dalam cara masyarakat membaca, menulis, dan mengakses informasi akibat hadirnya teknologi digital. Istilah “disrupsi” sendiri berarti perubahan yang mengganggu sistem lama dan menghadirkan cara-cara baru yang menggantikannya. Dalam konteks literasi, disrupsi ini mengubah lanskap tradisional –yang dahulu didominasi oleh teks cetak– menjadi era digital di mana informasi tersebar secara instan, masif, dan sering kali tanpa filter.
Penyebab disrupsi literasi antara lain: Pertama, teknologi digital, dimana internet dan media sosial mengubah cara orang mengakses informasi, menggantikan peran media cetak. Kedua, gaya hidup modern, dikarenakan kebutuhan akan informasi cepat dan ringkas mengurangi minat baca mendalam. Ketiga, budaya instan, menyebabkan proses membaca jadi terasa membosankan di tengah budaya serba cepat.
Disrupsi literasi memiliki dampak positif antara lain: adanya akses informasi lebih mudah dan luas, tumbuhnya literasi digital, dan metode belajar makin inovatif dan interaktif. Sedangkan dampak negatifnya antara lain: minat baca tradisional menurun, maraknya disinformasi dan hoaks, dan melemahnya kemampuan berpikir kritis.
Disrupsi literasi tak bisa dihindari, tapi harus dikelola bijak. Di era digital, literasi tak hanya soal membaca dan menulis, tapi juga memahami, menganalisis, dan bersikap kritis sebagai warga digital yang cerdas dan bertanggung jawab.
Memperbaiki Literasi
Dalam mengatasi tantangan dan solusi memperbaiki disrupsi literasi dibutuhkan kerja sama semua pihak, melalui: Pertama, literasi digital di sekolah, dengan mengajarkan kritis berpikir dan memilah informasi digital. Kedua, kampanye literasi, dengan mendorong minat baca lewat gerakan yang menjangkau semua usia. Ketiga, teknologi positif, dengan menggunakan teknologi untuk mendukung, bukan menggantikan, proses belajar.
Literasi bukan sekadar membaca dan menulis, melainkan kunci memahami dunia, membangun kesadaran, dan menghadapi tantangan zaman. Ia adalah fondasi peradaban dan harapan di tengah kompleksitas kehidupan. Oleh karena itu, beberapa langkah-langkah kongkrit sebagai kesadaran baru bagi kita dalam memperbaiki literasi antara lain adalah:
Pertama, Literasi dimaknai sebagai “merangkai kata” sebagai awal dari kesadaran. Karena bahasa adalah alat komunikasi, tetapi literasi adalah kemampuan memahami makna di balik bahasa. Merangkai kata dalam konteks literasi bukan hanya tentang menyusun huruf menjadi kalimat, melainkan juga membangun pemikiran dan menyampaikan ide. Seorang anak yang belajar membaca untuk pertama kalinya sesungguhnya sedang belajar menyusun dunia. Dalam tiap kata yang ia kenali, tersimpan kemungkinan tak terbatas untuk berpikir, bertanya, dan bermimpi.
Di era digital, keterampilan merangkai kata menjadi semakin penting. Informasi yang beredar sangat cepat, dan masyarakat dituntut untuk tidak hanya menjadi pembaca pasif, tetapi juga penulis aktif. Entah itu melalui blog, media sosial, atau forum diskusi, kemampuan menyusun kata yang tepat, jernih, dan bertanggung jawab menjadi penentu kualitas interaksi digital yang sehat.
Kedua, Literasi dimaknai sebagai “membaca dunia”, dimana literasi sebagai lensa sosial. Karena literasi yang hakiki bukan hanya tentang membaca buku, tetapi membaca realitas. Membaca dunia berarti memahami dinamika sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Literasi membentuk cara pandang kita terhadap lingkungan sekitar, memperluas empati, dan menumbuhkan sikap kritis terhadap berbagai peristiwa.
Dengan literasi, kita tidak hanya tahu apa yang terjadi, tetapi mengapa itu terjadi, dan bagaimana kita harus bersikap. Literasi yang baik menciptakan warga negara yang aktif, berpikir kritis, dan terlibat dalam perubahan sosial. Membaca dunia juga berarti memahami keberagaman, menghindari prasangka, dan membangun dialog yang bermartabat.
Ketiga, Literasi dimaknai sebagai “merawat asa”, dimana literasi sebagai jalan harapan. Karena di tengah zaman yang kerap kali bising dengan informasi palsu, kekerasan simbolik, dan polarisasi, literasi hadir sebagai alat untuk merawat harapan. Harapan bahwa manusia tetap bisa saling memahami, saling belajar, dan saling memperbaiki. Literasi membuka ruang bagi imajinasi, sastra, dan kreativitas –elemen penting dalam membentuk jiwa yang tahan terhadap keputusasaan.
Bagi anak-anak di pelosok negeri, akses terhadap buku bukan hanya soal pendidikan, tetapi soal masa depan. Di balik setiap lembar buku yang dibaca, ada harapan untuk hidup yang lebih baik, untuk dunia yang lebih adil. Literasi, dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun, mampu menjadi obor yang menuntun mereka keluar dari gelapnya keterbatasan.
Kesimpulan
Literasi telah menjadi perhatian global, kenyataannya masih banyak tantangan yang menghambat kemajuan literasi, terutama di negara berkembang. Ketimpangan akses, rendahnya minat baca, serta arus informasi digital yang belum diimbangi dengan literasi digital yang memadai, menjadi tantangan nyata.
Meskipun Hari Buku Nasional pada 17 Mei 2025 telah berlalu, Hari Lansia 29 Mei 2025 juga telah berlalu, dengan memperbaiki literasi, kita membayangkan ada banyak lansia dan orangtua yang membaca bersama keluarga di Perpustakaan Keluarga, ada banyak lansia dan orang tua di usia pensiunnya justru semakin produktif memproduksi bahan-bahan literasi.
Begitu pula cerita mengesankan dan kisah-kisah yang mengharu biru bagaimana kelompok terpelajar, orang-orang terdidik (educated pepoles) berburu mencari literasi, menciptakan dan menghadirkan literasi terus menyala dan berenergi yang tak pernah terkikis dan terdisrupsi oleh kemajuan Teknologi Informasi Komunikasi secanggih dan sekuat apa pun juga.
Bila ada pertanyaan sudah berapa buku yang Anda baca? Atau sebuah pertanyaan yang lebih mendalam lagi, Sudah berapa buku yang Anda tulis? Atau fasilitas literasi apa yang Anda siapkan? Tentu saja Anda harus memiliki sejumlah koleksi perpustakaan keluarga yang mengkoleksi buku yang Anda tulis, yang ditulis teman dan kolega Anda atau para penulis berkaliber nasional dan internasional.
Anda tentu saja –sebagai kelompok terdidik dan orang-orang terpelajar (educated peoples)– tidak akan pernah tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan itu, terkecuali Anda adalah bagian dari kelompok orang-orang yang tidak terpelajar (uneducated peoples).
Di era serba cepat ini, kita tidak boleh melupakan kekuatan sederhana dari membaca dan menulis. Sebab dari sanalah lahir ide, dialog, peradaban dan harapan. Karena literasi merupakan huruf dan makna, yang menyulam asa di tengah dunia maya, menggabungkan unsur keindahan bahasa dengan konteks literasi digital. Karena literasi tak sekedar aksara, tetapi cahaya di tiap suara, sebagai kekuatan yang menyinari pemikiran, ekspresi, inspirasi dan motivasi bagi siapa saja.
Karena itu, membangun budaya literasi adalah tanggung jawab bersama. Keluarga, sekolah, komunitas, hingga pemerintah perlu bersinergi menciptakan ekosistem yang mendukung literasi. Membiasakan membaca sejak dini, menyediakan ruang diskusi yang sehat, dan mendorong kebiasaan menulis adalah langkah konkret yang bisa dimulai dari rumah dan lingkungan sekitar.
Literasi adalah kekuatan yang menggerakkan. Dengan merangkai kata, kita menyalurkan pikiran dan rasa. Dengan membaca dunia, kita memahami kompleksitas kehidupan. Dan dengan merawat asa, kita menumbuhkan harapan dalam setiap langkah-langkah nyata.
Penulis Adalah Penggiat Literasi, Penulis 9 Buah Buku dan Editor 40 Buku, Founder LEADER Indonesia, CIA Indonesia dan Tenaga Ahli Dekonsentrasi Tugas Pembantuan dan Kerja Sama, Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan, Kementerian Dalam Negeri RI