Maluku Utara Mencari Pemimpin

Oleh: Paman Toor

Putraindonews.com, Tak lama lagi agenda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 akan segera dihelat. Sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota akan siap menggelar pesta demokrasi tersebut.

Menyambut momentum tersebut masing-masing daerah kini disibukkan dengan aneka upaya dan cara untuk menyeleksi siapa sosok pemimpin ideal, yang diharapkan mampu menjawab berbagai permasalahan daerah maupun kebutuhan masyarakat setempat.

Maluku Utara (Malut) sebagai salah satu di antara 37 provinsi yang bakal menggelar Pilkada serentak tahun ini, tak luput dalam kesibukan ini. Sederet figur lokal potensial pun mulai tampil ke publik. Mereka berasal dari berbagai latar sosial yang berbeda baik dari segi wilayah, budaya, etnik, hingga agama.

Maluku Utara sendiri resmi berdiri pada tanggal 4 Oktober 1999, melalui UU RI Nomor 46 Tahun 1999 dan UU RI Nomor 6 Tahun 2003. Sebelum pemekaran, Malut merupakan bagian dari Provinsi Maluku.

Saat ini Provinsi Malut memiliki 10 kabupaten/kota yang terdiri dari 8 kabupaten dan 2 kota. Adapun 8 kabupaten tersebut antara lain, kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Halmahera Tengah (Halteng), Halmahera Utara (Halut), Halmahera Barat (Halbar), Halmahera Timur (Haltim), Kepulauan Sula, Pulau Morotai, dan Pulau Taliabu. Sedangkan, 2 kota lainnya yakni Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan.

Ibu Kota Provinsi Malut kini berada di Sofifi, Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan. Sebelum dipindahkan ke Sofifi, ibu kota Malut sebelumnya terletak di Kota Ternate.

Jumlah populasi yang mendiami wilayah ini sekitar 1.365.091 jiwa pada tahun 2023 dengan mayoritas penganut agam Islam (74,50%) disusul Kristen (25,47%). Sementara penganut agama Hindu, Budha dan Konghucu sekitar 0,01%.

Ada banyak suku yang eksis di wilayah berjuluk bumi Moloku Kieraha ini. Namun, suku Tobelo, Galela, Ternate, Tidore, Makean, dan Kayoa merupakan 6 suku besar yang ada di wilayah ini.

Sebagian besar masyarakat Malut menggantungkan mata pencaharian di sektor pertanian. Merujuk data BPS, jumlah angkatan kerja yang bekerja pada sektor pertanian, sebanyak 158,6 ribu orang atau berkisar 25,73 persen. Sedangkan, sektor industri pengolahan menempati urutan kedua jumlah tenaga kerja di provinsi ini atau sekitar 157,9 ribu orang (25,62%).

Tradisi Kepemimpinan
Seperti halnya beberapa wilayah lainnya di Indonesia yang memiliki legitimasi kultural yang kuat dalam proses suksesi kepemimpinan, maka Malut pun secara sosio-politik memiliki kondisi serupa. Daerah yang dulunya mendapat julukan negeri Jazirah al-Mulk (negeri raja-raja) dari para saudagar Arab ini memang memiliki warisan politik masa lalu yang cukup kental.

Salah satu bukti kuatnya warisan politik masa lalu itu dapat diamati melalui sikap penghormatan yang tulus oleh masyarakat lokal terhadap masing-masing kesultanan yang ada.

BACA JUGA :   Memahami Lingkungan Manajemen Keuangan Syariah

Terdapat empat kesultanan di wilayah ini yang sampai kini masih eksis. Pertama Kesulatanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Bacan dan Kesultanan Jailolo. Masing-masing kesultanan memiliki silsilah dan pengaruhnya sendiri-sendiri dalam peta percaturan kekuasaan di bumi Moloku Kieraha.

Kendati demikian, tanpa mengecilkan peran strategis dua kesultanan lainnya, Tidore dan Ternate adalah dua kesultanan di Malut yang boleh dikatakan memiliki catatan sejarah paling penting terutama di masa kolonial. Ini tak lain karena kedua wilayah merupakan pusat rempah di masanya.

Bukan sesuatu yang asing bahwa tradisi kepemimpinan yang berlaku di setiap kesultanan/kerajaan–tidak hanya di Indonesia, melainkan di belahan dunia manapun–rata-rata mengadopsi pola kepemimpinan yang diwariskan secara turun-temurun dari keluarga raja/sultan.

Di saat yang sama, para pengikut sultan/raja adalah orang-orang yang memiliki loyalitas sangat kuat terhadap kerajaan. Meskipun, dalam perkembangannya di Maluku Utara, sikap loyal ini perlahan mulai memudar. Tentu, kondisi ini perlu diperkuat dengan studi sosiologis guna mendapatkan data yang lebih akurat.

Penyebabnya tentu saja beragam. Mulai dari faktor asimilasi budaya, mobilitas sosial, pergeseran generasi, hingga perubahan pola pikir masyarakat yang salah satunya dipengaruhi oleh sistem politik demokratis yang diterapkan.

Beberapa faktor yang disebutkan di atas secara tidak langsung mengubah mindset masyarakat dalam memaknai ulang proses seleksi kepemimpinan dalam konteks kehidupan bernegara yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Khusus untuk DI Yogyakarta, semua wilayah provinsi di Indonesia pemimpin daerahnya (Gubernur dan Wakil Gubernur) dipilih langsung oleh rakyat melalui mekanisme demokrasi. Ini berarti setiap warga negara Indonesia berhak untuk menjadi kepala daerah.

Ini tentu saja menjadi momentum luar biasa bagi siapapun, terlepas ia memiliki silsilah ‘darah biru’, kaya, ataupun miskin, punya kesempatan yang sama dan terbuka untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin daerah, tanpa merasa dihambat oleh apapun dan siapapun.

Termasuk dalam hal ini, siapapun dengan sengaja membatasi ruang politik orang lain dengan niat melakukan rekayasa politik jahat sangat tidak dibenarkan. Sikap saling menghargai keperbedaan harus menjadi prinsip utama yang patut dikedepankan dalam setiap laku politik yang dijalankan. Mayoritas dan minoritas harus mendapatkan tempat yang setara setara dalam mengawal spirit demokrasi.

Tidak ada yang merasa diistimewakan dan tidak perlu itu terjadi. Sebab, semua punya hak dan kesempatan yang sama tanpa peduli dari mana ia berasal. Pasalnya, demokrasi memberikan ruang sebesar-besarnya bagi setiap warga negara untuk mengekspresikan kemerdekaannya tanpa perlu merasa terancam oleh yang lain.

Pemimpin untuk Semua
Sejak wilayah ini dimekarkan, Provinsi Malut tercatat telah melakukan pergantian pemimpin sebanyak lima kali. Sosok kepala daerah (penjabat gubernur) pertama dijabat oleh Surasmin melalui penunjukan langsung oleh Kementerian Dalam Negeri. Masa kepemimpinan Surasmin tidak berlangsung lama setelah digantikan Muhyi Effendie pada tahun 2000. Sama seperti penjabat gubernur sebelumnya, Muhyi Effendie juga tercatat tidak terlalu lama menduduki kursi kepala daerah yang baru berdiri itu.

BACA JUGA :   Perang Badar terhadap Korupsi

Muhyi lalu digantikan Sinyo Harry Sarundajang melalui penunjukan langsung pemerintah pusat hingga gubernur defintif dilantik di akhir 2002. Thaib Armaiyn adalah sosok kepala daerah pertama untuk wilayah Malut yang terpilih melalui mekanisme demokrasi. Pria kelahiran Ternate ini terpilih menjadi gubernur definitif pertama melalui pemilihan di DPRD Provinsi Malut, sekaligus gubernur pertama Malut yang terpilih melalui pemilihan umum secara langsung.

Setelah dua periode (2002-2007/2008-2013) menjabat sebagai gubernur Malut secara demokratis, Thaib Armaiyn akhirnya digantikan Abdul Ghani Kasuba (AGK) yang sempat menjadi wakilnya di masa kepemimpinan periode kedua (2008-2013). Setelah sukses memimpin Malut periode 2014-2019 bersama wakilnya Muhammad Natsir Thaib, AGK kembali terpilih sebagai gubernur Malut untuk periode kedua bersama pasangannya yang baru Al Yasin Ali.

Jika dicermati, posisi kepala daerah provinsi Malut sejak awal berdiri hingga lima kali melakukan pergantian kepemimpinan semuanya berangkat dari latar belakang sosial yang berbeda, meski mayoritas berasal dari kalangan birokrat. Ini menunjukkan bahwa provinsi Malut sejak berdiri dipimpin oleh kalangan profesional yang siap mengabdi untuk masyarakat Malut yang multikultural.

Fakta di atas sekaligus membantah isu dikotomi mayoritas-minoritas dalam suksesi kepemimpinan di Malut. Dengan kata lain, tidak ada bukti bahwa pemimpin Malut adalah mereka yang berasal dari kelompok tertentu yang mendapat legitimasi historis-kultural, atau karena menyandang status sosial tertentu.

Bagi masyarakat Malut, siapapun berhak menjadi pemimpin daerah selama memiliki kemampuan (kecakapan teknis), kualitas leadership, dan sanggup mengayomi seluruh entitas sosial yang ada. Tidak peduli dari keluarga mana ia berasal. Yang dibutuhkan masyarakat Malut adalah pemimpin harus punya komitmen tinggi untuk memajukan daerah.

Karena itu, iklim demokratis yang semakin tumbuh subur di Malut ini harus terus dijaga demi melahirkan pemimpin-pemimpin ke depan yang berkualitas. Kini saatnya Maluku Utara mencari pemimpin. Jangan lagi ada pendikotomian sosial berbasis etnis, agama, ataupun kelompok.

Saatnya seluruh masyarakat Malut duduk dan menatap masa depan bersama. Malut butuh sosok pemimpin visioner yang mampu melampaui sekat-sekat sosial yang ada. Siapapun yang maju sebagai calon gubernur dan wakil gubernur harus mampu mengartikulasikan berbagai tuntutan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

Penulis adalah pemerhati sosial

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!