Oleh: Nendi Gire
Dalam kehidupan sehari-hari belakangan ini, banyak hal positif maupun negatif terjadi di dunia maya. Terkait hal ini, penting bagi semua pengguna medsos untuk memahami apa yang menjadi standar etik dalam penggunaan medsos itu sendiri.
Dengan kata lain, apa pun yang diunggah di beranda atau halaman akun media sosial seharusnya tunduk pada aturan dan norma yang berlaku.
Mari kita sama-sama saling memperbaiki apa yang kurang dari kita, dan harus evaluasi setiap pengalaman penggunaan media sosial secara negatif dan positif.
Hal itu meliputi menjaga etika privasi masing-masing atas apa yang kita konsumsi di media sosial, sebab semua pasti punya pengalaman positif dan negatif yang berbeda – beda.
Dalam melakukan hal tersebut: pertama, setiap orang wajib menghargai privasi orang lain. Ini dapat dilakukan dengan tidak membagikan informasi pribadi tanpa izin, termasuk foto atau video yang menampilkan orang lain tanpa persetujuan mereka.
Kedua, menghindari hoaks dan ujaran kebencian. Informasi harus diverifikasi sebelum dibagikan agar tidak menyesatkan publik atau merugikan individu dan masyarakat.
Ketiga, berkomunikasilah dengan sopan. Interaksi di dunia maya tetap membutuhkan etika. Keempat, menjaga informasi pribadi. Batasi apa yang dibagikan ke ruang publik dan lindungi data diri serta milik orang lain.
Sayangnya, realitas di media sosial berkata lain. Masih banyak yang memposting berita bohong tanpa mengecek fakta terlebih dahulu.
Akibatnya, perselisihan terjadi karena informasi tidak diverifikasi lebih dulu. Tak sedikit juga pengguna yang menyebarkan data pribadi orang lain tanpa izin. Konflik pun merebak.
Fenomena lain yang saya amati, banyak pengguna menggunakan bahasa kasar saat berinteraksi. Bahkan, masalah pribadi ikut dibawa ke media sosial.
Hal-hal yang seharusnya diselesaikan di ruang privat justru dipertontonkan ke publik. Ini kerap menjadi awal dari konflik yang tak berkesudahan.
Sebagai pengguna media sosial, kita seharusnya tidak asal memposting segala hal. Pililah mana yang perlu dibagikan dan mana yang sebaiknya disimpan.
Media sosial mestinya menjadi ruang berbagi hal positif yang bisa ditiru, terutama oleh anak-anak yang baru mengenal dunia digital.
Bijak bermedia sosial, kekeliruan dalam menggunakan media sosial berpotensi membentuk generasi yang salah kaprah. Bukan mustahil, anak-anak pun ikut-ikutan menyebar hoaks, mencaci, bahkan membongkar aib, karena mencontoh apa yang dilihat.
Ini sangat disayangkan. Jika dibiarkan, masalah demi masalah akan terus muncul. Karena itu, saya,sebagai penulis, berharap agar kita semua sebagai pengguna media sosial mulai membiasakan diri untuk bijak dan beretika. Dengan begitu, media sosial bisa menjadi ruang aman, bukan sumber persoalan.
Penulis adalah Ketua Umum Partai Amanat Demokrasi Indonesia (PADI) Provinsi Papua Barat