Mengatur Potongan Ojek Online

Oleh: Azas Tigor Nainggolan

Hari ini, 20 Mei 2025 ojek online melakukan aksi massal stop beroperasi secara nasional. Para ojek menurut adanya perbaikan masalah antara lain, tingginya potong aplikasi, tarif promo dan status hubungan kerja ojek online. Potongan aplikator sekitar 20%-30% dari tarif per order kepada para pengemudi transportasi online terus menjadi tuntutan untuk diturunkan atau ditiadakan. Potongan oleh aplikator atau perusahaan penyedia aplikasi menjadi salah satu isu penting karena sangat merugikan para pengemudi transportasi online, taksi online dan ojek online. Misalnya saja seorang pengemudi ojek online mendapat order penumpang tarifnya seharga Rp 20.000 jika potongannya 25% maka driver akan dipotong pendapatan tarifnya sebesar: Rp 20.000 X 25/100= Rp 5.000. berarti si driver hanya mendapatkan Rp 20.000 – Rp 5.000 = Rp 15.000. Coba kita hitung kalo saja ada sekitar satu juta pengemudi ojek online bekerja dan kita andaikan rata-rata order harian Rp 200.000 setiap pengemudi. setip pengemudi sehari akan dapat potongan aplikator 25% maka aplikator mendapatkan hasil pemotongan sebesar Rp 50.000. Satu juta pengemudi ojek online dalam sehari memberikan pendapatan pada perusahaan aplikasi per hari sebesar: Rp 50.000 X 1.000.000 = Rp 50.000.000.000 (Rp 50 Milyar per hari). Angka ini hanya 1 juta pengemudi, sementara di Indonesia ada sekitar 6 juta pengemudi maka pendapatan perusahaan aplikasi mendapat hasil pemotongan dari driver Rp 50 milyar X 6= Rp 300 milyar per hari.

Angka fantastis ini baru dihitung dari rata-rata terendah pendapatan pengemudi transportasi online. Jumlah enam juta baru pengemudi ojek online dan taksi online yang pendapatannya lebih besar memberi kepada aplikator dari pada ojek online. Artinya rata-rata pendapatan akan lebih lagi dan menambah pendapatan pemotongan aplikator lebih tinggi lagi. Selain itu ada lagi tuntutan mengemuka dari para pengemudi ojek online yakni tarif promo Rp 5.000 yang dilakukan oleh perusahaan aplikator? Bisa dibayangkan jadi berapa pendapatan para pengemudi yang mengangkut penumpang tarif promo. Pendapatan para pengemudi yang sudah sedikit dipotong oleh perusahaan aplikasi dan dihajar lagi dengan tarif murah, tarif promo. Situasi rendahnya pendapatan inilah yang menjadi masalah penting yang terus menerus dituntut para pengemudi transportasi online di Indonesia. Para pengemudi ojek online menyatakan dirinya telah dieksploitasi dan diperlakukan sewenang-wenang oleh perusahaan aplikasi (aplikator). Hingga hari ini ojek online terus meminta pemerintah agar melindungi dan mengatur para aplikator yang memotong pendapatan hingga 20%-30%, tarif promo dan minim perlindungan. Pemerintah diminta agar bertindak tegas atas pelanggaran atau tindakan sewenang-wenang yang dialami para pengemudi ojek online.

BACA JUGA :   Truk ODOL Terus Dibiarkan Kecelakaan Di Jalan Raya

Semua masalah terus terjadi menjadikan kemarahan para ojek online. Beberapa waktu muncul tuntutan THR (Tunjangan Hari Raya) untuk ojek online. Tuntutan THR ini memunculkan pertanyaan terkait hubungan kerja antara pengemudi ojek online dengan perusahaan aplikator. “Ojek online dengan aplikator hubungannya kemitraan, apa dasarnya menuntut THR. Pemerintah saja sampai sekarang belum diakui status hukumnya ojek online?” pertanyaan terkait tuntutan pemerintah kepada para aplikator. Sampai sekarang pemerintah belum juga mengakui secara hukum keberadaan sepeda motor sebagai alat transportasi umum dan tidak mengakui bisnis transportasi (ojek) online. Hubungan kemitraan ini adalah siasat pemerintah dan perusahaan aplikasi “mendiamkan” keberadaan bisnis ojek online dan taksi online. Hubungan kemitraan ini tidak mewajibkan pemberian THR kepada ojek online. Akhirnya pemerintah, Presiden Prabowo melalui Menteri Tenaga Kerja hanya bisa memberi Bonus Hari Raya (BHR). Hanya memberikan BHR ini bukti bahwa pemerintah tidak bisa mengatur atau mengawasi bisnis transportasi ojek online.

Berarti masalah utama ojek online sekarang ini adalah belum diakuinya bisnis ojek online oleh sistem hukum Indonesia. Akibatnya pemerintah lemah bahkan tidak didengar oleh para perusahaan aplikasi atau tidak “bergigi” dihadapan perusahaan aplikasi. Jadi apa pun yang dikatakan oleh pemerintah terkait teriakan para ojek online tentang penurunan potongan aplikasi, tarif promo dan kelaikan kendaraan transportasi online tidak akan didengarkan oleh para aplikator. Jadi apa yang dijanjikan oleh pejabat pemerintah terkait tuntutan ojek online tidak akan dituruti para perusahaan aplikasi. Para pengusaha aplikasi (aplikator) melihat bahwa pemerintah tidak memiliki otoritas hukum mengawasi atau menekan bahkan mengancam mereka. Hingga hari ini belum aturan hukum yang mengakui keberadaan ojek online belum memiliki atau belum diatur sebagai bisnis transportasi umum oleh hukum di Indonesia.

Belum adanya pengakuan hukum bisnis transportasi (ojek) online sebagai bisnis transportasi umum adalah masalah utamanya. Kondisi belum diakuinya ojek online ini menunjukkan tidak adanya Kepastian Hukum bisnis ojek online di Indonesia sehingga melemahkan posisi pemerintah di hadapan aplikator dan merugikan masyarakat. Saat ini pemerintah yang hanya mengatur bisnis ojek online pada regulasi hukum tingkat Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) yang tidak memiliki dasar atau hubungan hukum dengan UU LLAJ. Bagaimana bisa tidak malu, membiarkan bisnis ojek online selama 15 tahun dan jumlahnya sudah sekitar 6 juta unit tanpa ada regulasi hukum yang mengakui agar dapat mengawasi bisnis ojek online di Indonesia.

BACA JUGA :   Dunia Pasca Presiden Donald Trump Dilantik

Sekarang ini sedang berjalan proses revisi UU No 22 Tahun 1990 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Proses revisi ini adalah kesempatan pemerintah dan DPR RI membereskan carut marut bisnis ojek online. Pemerintah dan DPR RI dapat memperbaiki dan menyelesaikan masalah ini dengan mengakui serta mengatur bisnis ojek online dengan dan diatur dalam Revisi UU 22/2009. Adanya pengakuan hukum maka akan ada Kepastian Hukum dan perlindungan bisnisnya, penggunanya, pengemudinya juga perusahaan yang berbisnis terkait dengan sistem transportasi online dan ojek online. Adanya kepastian hukum atas bisnis transportasi (ojek) online akan memberikan ruang otoritas kepada pemerintah dan negara hadir secara benar. Negara belum hadir jika hanya omong-omong di publik tentang THR tapi jadinya hanya BHR ojek online, penurunan potongan aplikasi atau hubungan kerja ojek online. Pengakuan ini akan membangun rakyatnya terutama para stakeholder atau pelaku bisnis transportasi online yakni, perusahaan aplikasi, perusahaan angkutan online, pengemudi transportasi online dan pengguna transportasi online. Jadi jika pemerintah benar-benar membantu dan menyelesaikan masalah transportasi ojek online, maka atur dan akui ojek online. Salah satu agenda penting yang harus dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI mengakui serta mengakui transportasi online juga ojek online dalam UU revisi UU LLAJ 22/2009. Pengakuan tersebut akan mengakui secara hukum bisnis transportasi online dan ojek online dan memberi pemenuhan perlindungan kepada seluruh rakyat Indonesia. Secara khusus melindungi para stakeholder yang terlibat dalam bisnis layanan transportasi umum online dan ojek online. Jika ingin melindung ojek online maka mari atur dan akui ojek online dalam Undang-undang Transportasi

Penulis Adalah Analis Kebijakan Transportasi

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!