Merintih Di Balik Cengkeraman Kemiskinan

Oleh: Juwaini Husen

Putraindonews.com, Aceh – Di tanah rencong yang dulu berdentum oleh semangat perlawanan, tempat darah para syuhada mengalir demi sebuah harga diri dan kemerdekaan, kini bergema keluhan yang teredam: tangis kemiskinan. Aceh, yang dahulu tegap menantang ketidakadilan, kini terkulai di pelataran negeri sendiri, terjerat dalam lingkaran derita yang tak kunjung terputus.

Ironi itu tampak begitu telanjang ketika dana publik justru digelontorkan untuk memberikan hibah kepada institusi-institusi vertikal seperti TNI, Polri, dan Kejaksaan, lembaga-lembaga negara yang notabene memiliki anggaran tersendiri dari pusat. Sementara itu, rakyat Aceh yang tertatih-tatih mencari nafkah, berjuang di antara hempasan ombak dan sempitnya peluang kerja, justru dibiarkan menggigil dalam sepi.

Angka dan Realita”
Data terakhir dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa Aceh menduduki peringkat tertinggi dalam angka kemiskinan di Sumatra, bahkan termasuk yang 5 provinsi tertinggi secara nasional. Sebuah prestasi kelam yang mencerminkan kegagalan sistemik. Jika alokasi anggaran tak berpihak pada rakyat yang membutuhkan, lalu kepada siapa sesungguhnya pemerintah berpihak?

BACA JUGA :   Tafsir Sosial atas Fenomena '#KaburAjaDulu'

“Mengapa Hibah?”
Pertanyaannya bukan hanya soal besar kecilnya dana hibah, tetapi tentang prioritas dan sensitivitas. Di saat rakyat menjerit karena harga kebutuhan pokok yang melambung, lapangan kerja yang sempit, dan pelayanan kesehatan yang belum merata, bagaimana mungkin dana publik digunakan untuk sesuatu yang tak bersinggungan langsung dengan kesejahteraan masyarakat kecil?

“Suara dari Laut”
Di pesisir Aceh, nelayan masih bertaruh nyawa setiap hari demi sepiring nasi. Tak ada jaminan keselamatan, tak ada subsidi bahan bakar, tak ada proteksi harga. Mereka hidup dalam bayang-bayang kemiskinan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka tak meminta banyak, hanya keadilan dan perhatian.

“Doa yang Tertahan”
Ibu-ibu yang menahan lapar agar anak-anak mereka bisa makan, buruh yang bekerja lebih dari tenaga yang mereka miliki, pemuda-pemuda yang putus asa karena tak punya ruang untuk tumbuh—semua mereka diam, tetapi doa mereka mengguncang langit. Dan doa orang yang terzalimi, kata Nabi, tak pernah tertolak.

BACA JUGA :   UU Jasa Konstruksi No 2 tahun 2017 Amputasi Partisipasi Masyarakat di Daerah dalam bidang Jasa Konstruksi

Sebuah Seruan untuk Keadilan

Duhai para pemimpin Aceh, kekuasaan yang kalian genggam hari ini bukanlah warisan abadi. Ia adalah amanah yang akan ditagih oleh sejarah dan diadili oleh Tuhan. Jangan kotori kursi yang kalian duduki dengan ketidakpekaan dan keputusan yang menyakiti hati rakyat.

Apakah kalian sudah begitu jauh dari suara rakyat hingga tak lagi mendengar rintihannya? Atau hati kalian telah dikeraskan oleh gemerlap kekuasaan hingga lupa bahwa negeri ini berdiri di atas pengorbanan, bukan hibah?

Akhir Kata: Kembalilah pada Nurani

Kembalilah pada cita-cita Aceh yang merdeka—bukan hanya dari penjajahan, tapi juga dari kemiskinan dan ketimpangan. Prioritaskan mereka yang paling membutuhkan. Angkat wajah-wajah muram menjadi senyum yang bermartabat. Karena sejarah akan menulis, dan Tuhan akan mengadili.

Aceh bukan tanah yang layak untuk dilupakan, apalagi dikhianati.

Mari, pulihkan kembali martabatnya, mulai dari keberpihakan pada mereka yang paling terluka.

Penulis adalah Pemerhati Sosial

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!