Misteri Pagar Laut, Siapa dan Bagaimana?

Oleh: Yakub F. Ismail

Putraindonews.com, Jakarta – Belum lama ini publik tanah air dihebohkan dengan fenomena pagar laut yang tertancap di kawasan pesisir Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten.

Menariknya, meski kabarnya pagar tersebut telah ada beberapa bulan sebelumnya, sampai detik ini teka-teki mengenai keberadaan pagar laut yang membentang sepanjang 30,16 kilometer dengan menembus 16 desa dan 6 kecamatan belum juga terkuak siapa pelaku utamanya.

Ini sungguh ironis. Bagaimana tidak, menurut beberapa informasi yang beredar luas, kegiatan pemagaran laut ini berlangsung hampir setiap hari dan disaksikan hampir sebagian besar warga pesisir setempat.

Namun, tidak satu pun yang tahu dari mana, oleh siapa dan untuk apa tujuan dari pemagaran ini. Yang lebih lucu lagi, nyaris seluruh lapisan kekuasaan dari desa hingga istana dibuat buram untuk memahami duduk perkara ini. Hebat memang.

Lantas, apa sebenarnya misteri di balik pagar laut ini? Apakah ia ada dengan sendirinya atau memang sengaja dibungkus agar tidak ada yang tahu?

Laporan Warga

Awal mula mencuatnya masalah ini berawal dari laporan yang diterima Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten Pada 14 Agustus 2024. Usai menerima informasi itu, DKP segera melakukan pengecekan lapangan pada 19 Agustus 2024.

Setelah dilakukan pengecekan ternyata benar, pagar setinggi enam meter itu sudah tersusun menyerupai labirin di tengah laut sepanjang puluhan kilometer.

Karena meresahkan warga setempat, DKP Provinsi Banten akhirnya menginstruksikan agar aktivitas pemagaran dihentikan.

Disebabkan aktivitas ini ilegal karena tidak mengantongi izin, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan surat penghentian kegiatan pemagaran yang ditujukan kepada “pemilik” pada 19 Desember 2024 melalui unit Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). Meski hingga kini siapa pemilik/penanggung jawab pemagaran ini masih simpang siur.

Menurut keterangan yang disampaikan warga setempat, sebagaimana dikutip dari Tirto.id (11/1/2025), pagar-pagar itu dibangun oleh warga yang dibayar kurang lebih Rp200 ribu. Ada yang mengerjakan secara individu ada juga yang borongan. Sementara masih menurut pengakuan warga setempat, para pemancang pagar bambu itu adalah bukan masyarakat (asli) setempat.

Masih berdasarkan informasi yang berkembang luas, bahwa perusahaan Agung Sedayu Group adalah pihak di balik aktivitas pemagaran ini. Kendati begitu, sampai kini proses penyelidikan masih coba dilakukan untuk mengungkap siapa pihak bertanggung jawab.

BACA JUGA :   Jaga Harapan Rakyat agar Pilkada Serentak di Fakfak Aman, Damai, dan Demokratis

Sementara itu, beberapa informasi yang coba dihimpun disebutkan bahwa area pagar laut itu telah bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB).

Kabar ini pun belakangan dikonfirmasi Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN Nusron Wahid yang mengakui bahwa pagar laut misterius di Tangerang sudah mengantongi sertifikat Hak Guna Bangunan (CNNIndonesia, 20/1/2025).

Beliau bahkan menyebutkan pihak-pihak yang telah mengantongi sertifikat HGB tersebut antara lain: PT Intan Agung Makmur sebanyak 234 bidang, PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang, perseorangan sebanyak 9 bidang, dan atas nama Surhat Haq sebanyak 17 bidang.

Kendati demikian, Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono baru-baru ini menyatakan bahwa sertifikat HGB di pagar laut tersebut bersifat ilegal.

“Kalau di dasar laut itu tidak boleh ada sertifikat. Jadi itu sudah jelas ilegal juga,” ujar Trenggono di Istana Negara, Jakarta, Senin (20/1).

Menurutnya, berdasarkan peraturan di Indonesia menyatakan bahwa seluruh yang ada di wilayah laut merupakan milik umum.

Jika demikian, bagaimana persoalan ini disikapi? Siapa yang mengeluarkan sertifikat HGB tersebut dan atas dasar apa itu bisa dikeluarkan, jika memang jelas-jelas itu bertentangan dengan regulasi yang ada?

*Asas Manfaat*

Terlepas dari siapa pemilik pagar laut ini, apakah swasta ataupun milik negara, semua harus mempertimbangkan asas kemanfaatan, khususnya bagi warga setempat.

Hal ini penting mengingat wilayah yang hendak dikuasai ini memiliki dampak yang sangat besar bagi masyarakat sekitar, terlebih bagi warga nelayan yang sepenuhnya menggantungkan hidup pada hasil laut.

Negara harus hadir dan memberikan kepastian hukum demi tegaknya keadilan. Amanat dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menyebutkan bahwa kekayaan alam di Indonesia, termasuk bumi dan air, dikuasai negara dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Jika mengacu pada ketentuan konstitusi tersebut, maka tidak ada alasan bagi negara untuk tutup mata apalagi mengabaikan permasalahan krusial ini.

Negara harus benar-benar menjamin hak hidup dan kemaslahatan bersama. Jika memang kegiatan ini murni untuk tujuan bisnis, maka harus dilihat siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.

BACA JUGA :   Memaknai Penghapusan Presidential Treshold

Dengan begitu, negara memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat tanpa tunduk apalagi kalah atas kepentingan kapital.

Besar harapan, masalah ini segera terungkap, dan yang paling penting, negara harus berdiri di atas prinsip keadilan dan keberpihakan terhadap seluruh rakyat Indonesia, bukan pada golongan tertentu.

Di sisi lain, negara juga harus memiliki sikap fairness. Dalam artian, negara harus mampu menempatkan diri di tengah kepentingan bisnis dan sosial.

Kaitannya dengan pagar laut ini, jika benar ini murni kegiatan bisnis dan punya izin resmi maka harus diberi kepastian hukum kepada pelaku usaha yang berkepentingan dalam pengembangan bisnis ini.

Sehingga, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Itulah yang dimaksud dengan prinsip keberimbangan negara dalam menempatkan bisnis, regulasi dan kepentingan publik.

Mengapa ini penting, sebab fenomena reklamasi memang bukan hal yang baru atau tabu dalam dunia modern seperti sekarang.

Bahkan di negara maju pun, kegiatan reklamasi sudah menjadi hal yang biasa. Sebut saja beberapa contoh negara maju yang sukses membangun kota melalui reklamasi yakni Dubai, Korea Selatan, China, Jepang dan negara tetangga Singapura.

Khusus untuk Singapura, negara ini memang terus membangun penataan kota dengan mengandalkan kebijakan reklamasi. Bedanya, kebijakan reklamasi di sana benar-benar dibangun sesuai perencanaan dan didukung oleh kepastian hukum yang kuat.

Jadi, sebetulnya ini merupakan hal yang lumrah, tinggal bagaimana menatanya dengan baik. Jika saja di negara lain itu bisa diwujudkan dengan baik, mengapa di Indonesia tidak bisa?

Poinnya ada pada komitmen negara. Ketika negara benar-benar menegakkan aturan dan menjamin kepastian hukum, maka tidak ada lagi yang perlu disembunyikan. Karena semuanya berjalan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Dan, yang paling penting lagi, apapun jenis dan bentuk pembangunan, semua harus dilihat asas kemanfaatannya. Jangan sampai ada yang paling diuntungkan, sementara lainnya sangat dirugikan.

Fungsi negara adalah bagaimana memastikan asas kemanfaatan ini benar-benar terpenuhi secara adil dan proporsional bagi seluruh kalangan masyarakat.

Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!