Pemerintah Bergerak, Wujudkan Pendidikan Bermutu

Oleh: Rahma Akmal

Pendidikan bermutu tidak dapat hanya didefinisikan sebagai capaian administratif atau keberhasilan program-program teknokratis semata. Ia merupakan hasil sinergi yang autentik antara negara dan rakyat dalam mewujudkan hak konstitusional seluruh warga untuk memperoleh pendidikan yang layak.

Amanat Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” kini dijadikan pijakan bersama untuk mendorong gerak maju pendidikan yang inklusif, kontekstual, dan berkeadilan.

Dalam implementasinya, pemerintah tidak lagi berjalan sendiri dari balik institusi pusat. Melalui paradigma baru kolaborasi dan partisipasi semesta, berbagai kebijakan pendidikan kini dirancang dengan mengutamakan keterlibatan publik. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara eksplisit mengakui pentingnya peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Kini, spirit tersebut diterjemahkan dalam bentuk program-program yang mendorong pemberdayaan komunitas, penguatan infrastruktur lokal, dan pengakuan terhadap kontribusi non-negara dalam mendukung pembelajaran.

Historis pendidikan di Indonesia pun menunjukkan bahwa kekuatan rakyat selalu menjadi motor utama dalam menciptakan ruang belajar alternatif yang merespons kebutuhan lokal. Inisiatif seperti Sekolah Rakyat, Madrasah, dan Taman Siswa merupakan bukti bahwa pendidikan lahir dari semangat gotong royong dan kemandirian kolektif.

Pemerintah melalui berbagai program revitalisasi komunitas pendidikan kini membuka ruang seluas-luasnya untuk praktik baik tersebut bertransformasi menjadi gerakan nasional.

Filosofi gotong royong yang berakar pada nilai Pancasila tidak lagi berhenti sebagai narasi moral. Ia menjadi fondasi bagi keterlibatan aktif masyarakat dalam praktik pendidikan sehari-hari—baik melalui kegiatan les gratis, perpustakaan swadaya, maupun program relawan guru.

Dari perspektif sosiologis, hal ini merupakan bentuk rekognisi terhadap masyarakat sebagai pemilik nilai-nilai budaya, bahasa, dan kearifan lokal yang menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional.

Presiden Prabowo Subianto, dalam pidatonya pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025, menegaskan bahwa pendidikan merupakan kunci menuju masa depan emas bangsa.

Pernyataan tersebut tidak hanya menjadi simbol komitmen negara, tetapi juga menjadi ajakan untuk memperluas jangkauan kebijakan ke daerah-daerah pelosok yang selama ini mengalami keterbatasan. Program perbaikan infrastruktur 11 ribu sekolah dalam 30 tahun ke depan merupakan bukti keseriusan negara dalam mengejar ketertinggalan.

BACA JUGA :   Refleksi May Day: Bersatu dan Maju

Program unggulan seperti Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) menjadi bukti nyata pendekatan akseleratif pemerintah dalam menghadirkan fasilitas dan layanan pendidikan yang adaptif terhadap kebutuhan lapangan.

Melalui pendekatan swakelola, birokrasi dipangkas agar masyarakat dapat secara langsung mengelola sarana pendidikan sesuai dengan kondisi dan karakteristik wilayah masing-masing. Digitalisasi pembelajaran melalui Ruang Murid, perangkat papan interaktif, dan pelatihan guru daring menjadi langkah strategis menuju pemerataan kualitas pendidikan berbasis teknologi.

Namun demikian, tantangan tetap diakui secara terbuka. Akses listrik dan jaringan internet di beberapa wilayah masih menjadi hambatan. Oleh karena itu, pemerintah mengutamakan prinsip keadilan distributif dalam mendahulukan daerah tertinggal untuk memperoleh intervensi kebijakan. Upaya pemberian insentif kepada guru non-ASN yang belum tersertifikasi juga menjadi bagian dari strategi menuju kesetaraan dan penguatan profesionalisme tenaga pendidik.

Hasil asesmen internasional seperti PISA 2022 memang menunjukkan perlunya perbaikan sistematis.

Namun data tersebut tidak sekadar menjadi kritik, melainkan pijakan untuk melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola pendidikan. Indeks integritas pendidikan berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK 2025 yang berada di kategori “korektif” menunjukkan kesadaran bahwa pembaruan metode dan sistem manajemen adalah langkah mendesak dan harus didasarkan pada asas transparansi serta akuntabilitas publik.

Ironi digital yang terjadi di Buleleng, Bali—di mana anak-anak mahir menggunakan media sosial tetapi mengalami kesulitan membaca—tidak diabaikan.

Pemerintah melalui ANBK 2023 mengidentifikasi bahwa 26% siswa SD belum mencapai kompetensi literasi minimum. Respons terhadap hal ini dilakukan melalui peningkatan literasi dasar, pendampingan komunitas belajar, dan penyediaan bahan ajar kontekstual.

Ketimpangan digital juga menjadi perhatian utama: 65% SD negeri di luar Jawa dan Bali telah mendapatkan intervensi akses internet dengan roadmap peningkatan jangkauan hingga 100% dalam lima tahun ke depan.

Tantangan kualitas tenaga pengajar menjadi perhatian strategis. Data menunjukkan bahwa 13% guru di daerah tertinggal belum S-1 dan 23% belum tersertifikasi.

Pemerintah merespons dengan program beasiswa pendidikan lanjutan dan penguatan pelatihan berbasis kebutuhan riil lapangan, termasuk pendekatan pembinaan emosional dan profesional. Kasus kekerasan guru terhadap siswa menjadi momentum evaluasi, bukan hanya untuk menindak individu, tetapi juga memperkuat sistem pengawasan dan dukungan psikososial bagi pendidik.

BACA JUGA :   Jokowi dan Gibran: Kader Partai atau Kader Bangsa

Selain itu, pengaruh budaya digital turut mendapat perhatian serius. Survei Yayasan Literasi Digital 2024 mencatat 72% siswa mengakses media sosial lebih dari empat jam per hari. Kebijakan pembatasan media sosial bagi anak usia 11–17 tahun dirancang sebagai bagian dari perlindungan anak, namun juga dilengkapi dengan program pendidikan karakter, literasi digital, dan penguatan peran keluarga serta komunitas.

Pendekatan sentralistik yang bersifat top-down kini mulai digantikan oleh model desentralisasi berbasis partisipasi lokal. Pemerintah mendorong penguatan otonomi pendidikan berbasis wilayah dengan melibatkan komunitas adat, tokoh agama, guru lokal, serta pemuda desa.

Dengan lebih dari 270.000 satuan pendidikan, diferensiasi pendekatan menjadi keniscayaan. Model co-creation antara negara dan masyarakat bukan hanya mendorong efisiensi, tetapi juga relevansi pendidikan dengan konteks kehidupan nyata.

Program Hasil Terbaik Cepat berpotensi menjadi model kolaboratif nasional apabila pelibatan masyarakat dilakukan secara sejajar dan berkelanjutan. Kenaikan status guru honorer, perluasan program digitalisasi ke wilayah terluar, dan penyesuaian kurikulum dengan konteks lokal menjadi indikator bahwa pendidikan bukan hanya proyek negara, melainkan juga proses peradaban bersama.

Keterlibatan rakyat bukan sekadar bantuan, melainkan bagian integral dari ketahanan pendidikan. Ketika komunitas diberi ruang untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan, maka yang tumbuh bukan hanya sekolah, melainkan komunitas belajar yang tangguh dan adaptif. Dalam semangat gotong royong, pemerintah dan rakyat tidak lagi berjalan sendiri-sendiri—melainkan saling menopang untuk masa depan bangsa yang lebih bermartabat.

Presiden Prabowo menyebut masa ini sebagai momentum emas pembangunan pendidikan nasional. Pernyataan ini bukan hanya retorika, tetapi ajakan untuk menggali potensi dari seluruh komponen masyarakat.

Pendidikan bermutu tidak dicapai hanya dari instruksi pusat, tetapi dari suara-suara dan aksi nyata di akar rumput. Di situlah terletak fondasi perubahan sejati.

Penulis adalah Mahasiswa & pengamat ekonomi dan pendidikan UIN Saizu

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!