Oleh: Dr. Azas Tigor Nainggolan, SH, MSi, MH.
Seorang kawan bercerita pengalamannya saat mampir di sebuah resto di daerah Duren Sawit. Saat keluar saya melihat pengguna mobil dan motor memberi uang parkir rata-rata Rp 5.000. saya komentar, “panen pak”.
“Panen kalo setorannya tidak tinggi. Karena parkir dikelola oleh XXX, menyebut sebuah nama ormas. Setoran saat ini untuk hari kerja Rp 200.000/hari. Kalo hari Sabtu dan Minggu Rp 500.000/hari”, jawab si juru parkir liar. Ini baru di satu tempat yang tidak begitu ramai. Jadi kalo potensi parkir di Jakarta sampai triliunan rupiah itu wajar. Perlu belajar ke Kuala Lumpur dimana parkir sudah diintegrasikan dengan pembayaran pajak.
Cerita pengalaman melihat praktek parkir liar di atas disampaikan oleh seorang kawan yang juga aktivis atau penggiat isu transportasi.
Saya katakan kepada kawan itu bahwa ormas bisa mengelola parkir di salah satu titik parkir itu juga atas izin dari UP Perparkiran.
Kami pernah melakukan riset tentang perparkiran di Jakarta dan bukunya berjudul Politik Perparkiran Jakarta. Ada 16.000 satuan ruas parkir (SRP)badan jalan yang dulu ada dan dihapuskan oleh gubernur Jakarta, Fauzi Bowo. Penghapusan itu bagian perbaikan manajemen parkir Jakarta.
Perbaikan manajemen dilakukan membubarkan BP Perparkiran Jakarta yang berada di bawah gubernur menjadi UP Perparkiran Jakarta di bawah dinas perhubungan. Perubahan menunjukkan sikap bahwa parkir adalah sub sistem dari transportasi maka pengelolaannya di bawah dinas Perhubungan. Setelah berganti gubernur ke Jokowi, 16.000 SRP di badan jalan itu hidup kembali dan diberikan kepada ormas yang dianggap sebagai unsur swasta yang boleh mengelola parkir oleh UP Perparkiran.
Jika 16.000 srp badan jalan itu dihitung potensi pendapatannya bisa mencapai setidaknya Rp 500 Milyar atau setengah Trilyun rupiah setiap tahunnya. Sementara parkir liar itu lebih dari 16.000 srp mas. Duit parkir liar itu sangat besar makanya ormas bisa dan rela saling bunuh untuk merebut lokasi titik parkir.
Untuk pajak parkir ada sendiri mas, itu untuk parkir gedung yang dikelola operator parkir swasta. Kalo parkir di badan jalan status pungutannya berdasarkan UU itu Retribusi Parkir bukan Pajak Parkir.
Pajak parkir Jakarta kalo hitungan potensi sekarang bisa memberi masukan bagi PAD Jakarta setidaknya Rp 1 Trilyun per tahunnya. Sejak masa gubernur Jakarta, saat itu pajak parkir langsung online dengan Dinas Pajak sebagai pendapatan pajak daerah. Kalo sekarang, Dinas Pajak audah berganti dengan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jakarta.
Restribusi juga jadi dimasukan ke Bapenda karena sebagai pendapatan daerah. Nah alur inilah yang harus dicermati dan diawasi sebagai kebocoran potensi pendapatan daerah.
Buku Politik Perparkiran Jakarta saya dan teman Forum Warga Kota (FAKTA) Jakarta tulis pada tahun 2008 sebagai buku laporan hasil penelitian advokatif tentang pengawasan pendapatan daerah di Jakarta. Penelitian itu kami, FAKTA Jakarta lakukan pada tahun 2005 bekerja sama dengan Yayasan TIFA.
Awalnya penelitian itu kami lakukan berangkat dari keprihatinan akan kebocoran pendapatan pengelolaan parkir di Jakarta, khususnya dari restribusi parkir yang dikelola oleh Badan Pengelola (BP) Parkir Jakarta. Penelitian ini lahir idenya dari Fauzi Bowo yang saat itu tahun 2005 masih menjadi Wakil Gubernur Jakarta bersama kami, FAKTA Jakarta untuk menata manajemen parkir Jakarta.
Berdasarkan data kami, sampai tahun 2005 sektor pengelolaan perparkiran Jakarta tidak pernah memberikan kontribusi kepada APBD Jakarta. Dalam beberapa tahun, setidaknya sejak tahun 2000 pengelolaan parkir Jakarta bukannya memberi penghasilan uang bagi APBD, justru terus membebani APBD Jakarta dari sisi Belanja Rutinnya.
Menurut studi sejarah perparkiran di Jakarta yang saya lakukan, bahwa dalam perjalanannya pengelolaan parkir di Jakarta sudah ada dan dikenal sejak Jakarta masih dikuasai oleh penjajah VOC Belanda. Ketika itu pengelolaan parkir di Jakarta dengan istilah Jaga Otto.
Sejak masa penjajahan VOC Belanda hingga tahun 1950an pengelolaan parkir di Jakarta dikelola dan dikuasai oleh orang atau kelompok-kelompok tertentu di lapangan. Mereka yang menguasai pengelolaan parkir dikenal sebagai Jawara atau Bang Jago yang diberi kekuasaan mengelola parkir oleh pihak penjajah VOC Belanda.
Para Jawara dan Bang Jago ini diberikan hadiah mengelola parkir karena menjadi mata-mata dan mau menjadi penghianat bangsa Indonesia. Pelaksana di lapangan mereka merekrut dan menempatkan anggotanya atau anak buahnya para Jawara dan Bang Jago menjadi juru parkir (jukir) yang menjaga serta memungut uang parkir jalan-jalan yang dikuasainya. Para jukir itu menyetorkan sebagian pendapatannya kepada para Jawara dan Bang Jago sesuai kesepakatan.
Model pengelolaan parkir Jakarta saat itu adalah bagian permainan kekuasaan penjajah VOC Belanda para preman yakni para Jawara dan Bang Jago sebagai alat, antek atau mata-mata penjajah terhadap rakyat Indonesia. Hasil uang parkir saat itu juga tidak masuk ke kas VOC tetapi berhenti dari jukir, para Jawara dan Bang Jago sebagai kordinator pengelola dan tentara atau tokoh internal penjajah VOC Belanda. Pengelolaan secara premanisme dan koruptif mau dihentikan sekitar tahun 1955 oleh Dinas Pekerjaan Umum Jakarta karena melihat potensi pendapatan parkir jakarta uang dikorupsi dan tidak masuk ke dalam kas kota Jakarta.
Perparkiran Jakarta terus bertambah ramai ditambahkan ada peningkatan ketika Jakarta kali pertama menjadi tuan rumah pelaksanaan Asian Games 1962. Urusan pengelolaan parkir Jakarta masih dikuasai jagoan-jagoan setempat. Misalnya area Kebayoran Baru dan sekitar Blok M dikuasai orang-orang Surabaya di bawah pimpinan Sugiman. Daerah Pasar Baru dikuasai orang-orang Betawi di bawah pimpinan Samid Kicau yang dijuluki Raja Parkir.
Glodok dipegang orang-orang Banten pimpinan Animuar. Area Jakarta Kota pengelolaan parkirnya dipegang oleh jawara bernama Nurmansyah yang memegang kawasan itu. Semua nama di atas dianggap bos parkir karena menguasai pengelolaan parkir di tingkat lokal. Model pengelolaan parkir oleh jawara atau bang jago masa tahun 1960an itu mirip seperti masa penjajahan VOC Belanda.
Model penguasaan parkir oleh orang-orang atau kelompok tertentu itu mulai diperbaiki pada masa gubernur Jakarta, Ali Sadikin. Tahun 1972 gubernur Jakarta Ali Sadikin mendirikan PT Parkir Jaya, yang berfungsi sebagai satu-satunya pengelola parkir di Jakarta. Perusahaan ini wajib menyetor pemasukan parkir ke kas pemda Jakarta.
Selanjutnya pada tahun 1977 PT Parkir Jaya dirubah menjadi Badan Otorita Pengelola Parkir dan kemudian pada tahun 1979 di menjadi Badan Pengelolaan Perparkiran (BP Parkir). Kemudian setelah hasil penelitian parkir Jakarta ini kami serahkan pada Fauzi Bowo yang menjadi gubernur Jakarta, pada tahun 2007 merubah BP Parkir menjadi UPT Perparkiran Jakarta. Mulai pada saat itu, tahun 2007 pengelolaan parkir Jakarta tidak lagi di bawah gubernur tetapi di bawah Dinas Perhubungan Jakarta.
Perubahan dan pemindahan pengelolaan parkir dengan UPT Perparkiran Jakarta ini adalah juga rekomendasi hasil penelitian parkir Jakarta oleh FAKTA Jakarta dan Yayasan TIFA. Hasil penelitian kami mendapatkan bahwa pengelolaan parkir di Jakarta bisa memiliki tiga fungsi, yakni parkir sebagai: Sub Sistem Transportasi, Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pelayanan Publik.
Sebagai Sub Sistem Transportasi, parkir berfungsi membantu memecahkan masalah transportasi, maka parkir harus diletakan di bawah dinas Perhubungan yang bekerja untuk urusan transportasi. Parkir juga memiliki potensi pendapatan maka bisa menjadi sebagai salah satu sumber PAD Jakarta. Selanjutnya parkir juga memiliki sebagai layanan publik yang harus disediakan oleh Pemda Jakarta.
Sebagai layanan publik maka parkir harus dikelola dengan baik, tidak koruptif dan dikelola oleh Pemda bukan oleh kelompok, jawara atau preman. Perubahan pengelolaan parkir yang dilakukan oleh gubernur Jakarta, Fauzi Bowo ini adalah bagian janji beliau sebagai gubernur yang ingin memperbaiki pengelolaan parkir Jakarta menjadi alat bantu memecahkan kemacetan, memberantas premanisme dan korupsi di pengelolaan parkir serta membuat parkir sebagai layanan publik yang baik bagi warga Jakarta. Melalui pembentukan UPT Perparkiran Jakarta dan menempatkannya di bawah Dinas Perhubungan ketiga tujuan tersebut diharapkan bisa diwujudkan.
Perjalanan selanjutnya Pemda Jakarta merubah kembali pengelolaan parkir Jakarta menjadi Unit Pengelola (UP) perparkiran Jakarta melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Jakarta No.37 Tahun 2016. Masalah kebocoran pendapatan parkir dan premanisme pengelolaan parkir oleh ormas menjadi sorotan anggota DPRD Jakarta dari Fraksi PDIP.
Anggota DPRD Fraksi PDIP mempertanyakan rendahnya target pendapatan UP Perparkiran yang hanya Rp 30 Milyar setahun itu sangat kecil. Juga dipertanyakan maraknya pengelolaan parkir liar oleh ormas yang meresahkan masyarakat. Disimpulkan oleh anggota DPRD bahwa UP Perparkiran Jakarta kinerja sangat buruk. Untuk itu anggota DPRD dari Fraksi PDIP ini meminta UP Perparkiran Jakarta dibubarkan saja dan pengelolaan parkir di Jakarta diserahkan bekerja sama dengan pihak swasta.
Protes dan kritik anggota DPRD Jakarta dari Fraksi PDIP ini membuktikan bahwa pengelolaan parkir oleh UP Perparkiran kembali dikuasai perilaku koruptif dan premanisme. Jika memang demikian faktanya berarti politik parkir Jakarta hingga saat ini masih koruptif dan premanisme.
Kritik anggota DPRD ini masih sejalan dengan kritik Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, Pramono Anung dan Rano Karno terhadap maraknya parkir liar. Maraknya parkir liar yang dikuasai ormas dan oknum aparat pemerintah serta hukum di belakangnya adalah praktek premanisme dan korupsi dalam pengelolaan parkir di Jakarta.
Parkir liar bisa dilihat kasat mata di depan kita dan terlihat siapa saja pelindung di belakangnya. Situasi ini membuktikan bahwa untuk menata ulang manajemen parkir Jakarta lebih dulu membersihkan praktek premanisme yang memelihara perilaku koruptif.
Saya sangat mendukung Pemda Jakarta harus tegas dan berani melakukan penindakan secara hukum memberantas praktek premanisme dan korupsi di pengelolaan parkir di tubuh UP Perparkiran dan Dinas Perhubungan sebagai penanggung jawab UP Perparkiran Jakarta.
Pintu masuknya dapat dengan membongkar tuntas praktek premanisme dan korupsi di tubuh UP Perparkiran Jakarta. Perintah Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, Jakarta Pramono Anung dan Rano Karno untuk membersihkan parkir liar di jakarta adalah pintu masuk untuk memperbaiki manajemen parkir di Jakarta.
Tindakan tegas perbaikan dengan memberantas premanisme dan korupsi dalam manajemen Parkir Jakarta. Agar UP Perparkiran Jakarta dan Dinas Perhubungan dapat membangun kembali manajemen parkir Jakarta yang berfungsi sebagai Sub sistem Transportasi, Sumber PAD Jakarta dan Layanan Publik Jakarta yang baik.
Penulis adalah Analis Kebijakan Transportasi