Riak LPG 3Kg dan Tafsir ‘Politik Kebijakan’

Oleh: Yakub F. Ismail

Putraindonews.com – Tidak ada hujan dan angin, pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia tiba-tiba membuat keputusan yang seakan menampar amarah publik.

Bagaimana tidak, masyarakat seketika dikejutkan dengan keputusan pengendalian subsidi LPG 3kg melalui penghapusan rantai pengecer ke agen distributor yang benar-benar menimbulkan gejolak sosial yang amat dahsyat.

Di saat bersamaan ketika keputusan itu diambil, antrian panjang pun langsung terjadi di pusat-pusat distributor gas LPG 3kg.

Tak sedikit yang memprotes kebijakan tersebut. Lainnya bahkan mempertanyakan apa dasar pemerintah mengambil keputusan yang begitu menyulitkan bagi masyarakat.

Sebab, bukan rahasia lagi kalau pengguna tabung LPG 3kg ini tidak hanya kalangan menengah bawah, namun juga dinikmati sebagian besar kelompok menengah atas yang didapatkan secara mudah di kios-kios pengecer.

Memang dilematis, sebab di satu sisi, kebijakan subsidi ini seharusnya diperuntukkan bagi kelompok miskin, tapi dalam kenyataannya banyak masyarakat berada yang turut menikmati.

Beberapa contoh kasus belum lama ini, misalnya, terpotret penggunaan gas subsidi ini bahkan dikonsumsi oleh kalangan artis yang notabene memiliki kekayaan melimpah dengan asset yang mentereng.

Namun, pengambilan keputusan yang tergesa-gesa bahkan terkesan gegabah tanpa menimbang efek sosialnya, juga bukan sebuah langkah yang tepat, sebagaimana tercermin dari keputusan yang dibuat Bahlil Lahadalia yang direspons oleh publik dengan penuh amarah.

Miskalkulasi

Tidak mudah bagi seorang pejabat publik atau pengambil kebijakan (policy maker) merancang sebuah produk kebijakan (public policy).

Sebab, ia harus memahami betul dampak yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut. William N. Dunn dalam Public Policy Analysis (1981) menulis, sebuah kebijakan (publik) lahir melalui sebuah proses yang kompleks.

Dengan kata lain, ia dibentuk tidak asal mengedip mata lalu jadi. Akan tetapi, sebuah produk kebijakan hadir sebagai respons terhadap isu, dinamika dan permasalahan publik yang terjadi di masyarakat.

Dengan begitu, sebuah kebijakan muncul berdasarkan kajian dan analisis terhadap sebuah permasalahan tertentu.

Dalam konteks lebih jauh, tidak semua permasalahan bisa dinaikkan menjadi kebijakan publik, terkecuali permasalahan tersebut merupakan refleksi atas persoalan publik dan memiliki dampak terhadap publik.

BACA JUGA :   Siapa Jaksa Agung Pilihan Presiden Baru?

Dengan demikian, rangkaian kebijakan publik akan dimulai dari analisis terhadap masalah sosial/publik, reformulasi atau perumusan kebijakan, implementasi hingga evaluasi.

Menimbang rantai proses kebijakan yang begitu panjang dan kompleks, sebuah kebijakan lahir sebagai hasil dari sebuah pembacaan dan perhitungan yang cermat dan bijaksana.

Kata ‘bijaksana’ ini sangat lekat dengan produk kebijakan. Tanpa kebijaksanaan sebuah kebijakan tidak akan memiliki makna sama sekali, sebagaimana ia berakar dari kata “bijak” itu sendiri.

Karena itu, seorang pembuat kebijakan harus punya sisi kebijaksanaan yang tinggi. Tidak semata-mata memutuskan apa yang menurutnya benar.

Karena kebenaran saja tidak menjamin ketepatan dan kebijaksanaan. Ambil contoh, memangkas rantai distribusi LPG 3kg tanpa melihat relasi dan dimensi sosial di bawahnya jelas sebuah keputusan yang boleh jadi benar (untuk efisiensi), tapi tidak bijaksana dalam memahami dimensi relasional di mana banyak masyarakat miskin yang kesulitan mengakses gas tersebut, sehingga harus rela antri dengan risiko yang begitu besar.

Strategi “Cek Ombak”?

Pada sisi lain, keputusan pemerintah ini merupakan sebuah srtategi, yang dalam perspektif politik elektoral dikenal sebagai istilah ‘testing the water alias cek ombak.

Memang terminologi di atas umumnya digunakan untuk menggambarkan situasi di mana seorang kandidat berusaha mengetahui tingkat keterpilihannya dalam proses elektoral atau kontestasi pemilu/pilkada dengan melempar wacana/isu atau kampanye/sosialisasi untuk mengukur seberapa besar penerimaan dirinya di masyarakat (konstituen/voters).

Strategi mengecek ombak ini sangat penting guna mengetahui seberapa besar seorang figur diterima atau didukung di kalangan pemilih. Dengan begitu, para investor, donatur hingga pengusung bisa lebih mudah memberikan dukungan politik dan finansial.

Kendati hal ini lazim dalam konteks elektoralisme, ia kerap dipakai dalam konteks perumusan kebijakan sosial.

Kebijakan kenaikan BBM dalam beberapa tahun terakhir misalnya, adalah pengaktualisasian dari konsep atau strategi ini.

Jadi, dalam praktiknya, pemerintah memang punya niatan untuk mengubah atau membuat sebuah kebijakan yang secara dampak sudah diprediksi bakal menuai reaksi publik.

BACA JUGA :   Tahun Baru Hijriyah, Kulik Sejarah Peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW

Namun, untuk menakar seberapa dahsyat respons (negatif/positif) masyarakat, pelaku kebijakan umumnya melempar wacana terlebih dahulu.

Dalam kasus tertentu, ia tidak diawali dengan sosialisasi atau penghembusan wacana, namun langsung dalam bentuk pengambilan kebijakan.

Tujuannya jelas, untuk mengukur riak sosial yang timbul setelah kebijakan tersebut diambil. Jika reaksi negatifnya jauh lebih besar dan berdampak serius terhadap kestabilan politik, maka kebijakan tersebut akan direvisi dan disesuaikan dengan tuntutan masyarakat.

Atau, dalam kasus lain, kebijakan tersebut langsung dicabut kembali guna meredam gejolak publik yang semakin masif dan tidak terkendali.

Dalam konteks kebijakan penghapusan pengeceran LPG 3kg, ia lebih menyerupai contoh kasus yang terakhir ini.

Jadi, pemerintah langsung sekejap membuat keputusan menghapus rantai pasok LPG 3kg di tingkat pengecer, yang akhirnya menimbulkan kepanikan luar biasa di tingkat akar rumput.

Alhasil, karena melihat reaksi publik yang cenderung menentang terhadap kebijakan tersebut, pemerintah melalui Presiden RI Prabowo Subianto memerintahkan untuk dicabut kembali kebijakan tersebut.

Alasan Prabowo meminta penarikan kembali kebijakan tersebut sangat mudah dipahami. Ia tentu tidak ingin citra positif di awal masa pemerintahannya rusak hanya karena kebijakan Bahlil Lahadalia yang kurang mencermati dampak sosialnya.

Apalagi, berdasarkan sejumlah hasil survei baru-baru ini, citra kepemimpinan Prabowo sangat positif dan ini menjadi sinyal baik untuk kelangsungan kepemimpinan beliau.

Jika saja reputasi ini hancur hanya karena kebijakan tabung gas LPG yang kurang cermat, tentu hal ini menjadi satu tamparan keras yang tidak bisa ia diamkan begitu saja.

Kekeliruan dan kekurangcermatan yang baru saja menimpa Menteri ESDM ini semoga menjadi bahan refleksi dan evaluasi bagi seluruh kementerian di era Prabowo-Gibran untuk lebih berhati-hati dalam menelurkan setiap kebijakan.

Sebab, salah dalam mengambil langkah, maka ia seperti menebar duri di atas jalan yang dilewati. Suatu ketika, cepat atau lambat, malapetaka akan hadir dan memporak-porandakan seluruh tatanan yang telah dibangun dengan letih.

Penulis Adalah Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!